Oleh:
Afifah Alkarimah
Indonesia akan menggelar pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak pada tahun 2024 mendatang. Meskipun penundaan pemilu masih sekedar wacana, akan tetapi belum ada kepastian konkret yang menjamin penolakannya. Malahan, terus bergulir semakin kencang kian harinya. Padahal, gagasan ini merupakan gagasan berbahaya yang berpotensi mengangkangi konstitusi dan mengingkari kedaulatan rakyat. Jika gagasan ini sampai terjadi, maka yang menjadi permasalahan utamanya ialah, nilai etis dan potensi dipinggirkannya azas konstitusionalisme. Tidak sedikit pasal dan ketentuan di dalam UUD 1945 yang akan ditabrak oleh gagasan ini. Di antaranya, pasal 1 ayat (2) dan (3) yang menekankan terhadap azas supremasi konstitusi dan negara hukum. Kedua, pasal 22E yang menyebutkan dengan tegas pemilu dilaksanakan selama 5 tahun sekali. Jika wacana tersebut terealisasi, maka penundaan pemilu akan menjadi semacam hadiah perpanjangan jabatan yang diberikan secara cuma-cuma tanpa harus bertarung dalam pemilu. Wacana ini tentu saja betul-betul mencederai azas demokrasi konstitusional yang menempatkan pemilu sebagai instrumen bagi pejabat publik untuk mendapatkan mandat secara langsung dari rakyat.
Anggaran pemilu serentak 2024 berada di kisaran Rp86 sampai dengan 110 triliun. Kebutuhan biaya tinggi karena terdapat pelaksanaan pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah pada tahun yang sama. Presiden merinci bahwa anggaran tersebut akan dialokasikan untuk KPU sebesar Rp 76,6 triliun dan Bawaslu Rp 33,8 triliun. Meski sudah disepakati dalam rapat konsinyering, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda mengatakan hal itu sifatnya masih belum mengikat. Komisi II DPR perlu menggelar RDP dengan Menteri Dalam Negeri, KPU dan Bawaslu untuk mengesahkan keputusan tersebut. Ia menuturkan konsinyering sifatnya merupakan kesepahaman. Sehingga belum ada kesepakatan yang diputuskan dalam rapat tersebut.
Keinginan atas pemilu serentak dalam rangka penguatan sistem presidensil merupakan bagian dari proses menuju kelembagaan demokrasi yang semakin terkonsolidasi. Ini menjadi upaya menumbuhkan partisipasi masyarakat yang tidak saja sebatas pada penggunaan hak pilih dalam tahapan pemungutan suara pemilu, tetapi juga peran kritisnya terhadap kebijakan pemerintahan. Sebaliknya, dalam konteks pemilu serentak yang memisahkan skema pemilu nasional dan pemilu lokal, pemerintah dalam menjalankan kewenangannya semakin dituntut akuntabel bagi pemenuhan aspirasi masyarakat.
Adapun potensi permasalahan dalam Pemilu Serentak 2024 sebagai berikut:
- Pandemi Covid 19 yang masih berlangsung.
- Adanya perbedaan pengaturan penegakan hukum yang berbeda antara Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah, hal ini akan membingungkan pencari keadilan.
- Beban kerja penyelenggara pemilu yang tinggi, khususnya penyelenggara di tingkat TPS. Ini dapat berdampak pada keengganan masyarakat untuk menjadi penyelenggara.
- Pemilih kesulitan dalam menggunakan hak pilih mengingat banyaknya surat suara.
- Adanya irisan tahapan penyelenggaraan yang akan berjalan bersamaan antara Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah.
- Pemutakhiran data pemilih akan menjadi tidak efektif dan menambah beban penyelenggara jika tidak tetap dilakukan dari proses awal untuk keduanya, karena penyelenggaraan waktunya sangat berdekatan.
- Penyelenggaraan ad hoc pada pemilu apakah secara otomatis menjadi penyelenggara Pemilihan? Jika tidak, maka membutuhkan waktu dan anggaran untuk melakukan rekrutmen yang berbeda.
Selain potensi permasalah di atas, tantangan pengawasan menjadi masalah lain, yakni dengan mendorong adanya penyederhanaan surat suara yang mungkin memberi kemudahan bagi pemilih serta kemudahan pengadministrasian bagi penyelenggara pemilu. Mendorong adanya harmonisasi antara UU Pemilu dengan UU pemilihan Kepala Daerah, khususnya mengenai tugas dan wewenang penyelenggara pemilu dan penegakan hukum. Peningkatan kemampuan penggunaan sistem informasi dalam setiap proses pengawasan penting dilakukan mengingat KPU telah mempersiapkan sistem informasi yang akan digunakan pada setiap tahapan. Tantangan pengawasan lain yaitu meningkatkan pelayananan, profesionalitas, dan tertib administrasi dalam penyelesaian sengketa pemilu maupun penanganan pelanggaran pemilu.
Pemilihan umum di Indonesia masih dilakukan secara manual, yaitu warga yang mempunyai hak pilih datang ke tempat pemungutan suara pada saat hari pemilihan berlangsung. Mereka mencoblos atau mencontreng kertas suara kemudian memasukkan ke dalam kotak suara. Setelah proses pemungutan suara selesai, kemudian dilakukan proses penghitungan suara. Proses pemungutan suara di Indonesia masih dilakukan dengan metode konvensional yaitu menggunakan media kertas suara. Begitupun dengan metode penghitungannya, masih dilakukan secara konvensional dengan membuka kembali kertas suara dan menghitung satu persatu.
Pemilu serentak 2024, namun dengan sistem e-voting akan menghasilkan pemilu yang lebih efisien dari segi anggaran, waktu, serta kemudahan prosesnya. Pemilu yang lebih efisien akan berlangsung dengan jujur karena semakin majunya sistem yang digunakan demi meminimalisir kecurangan dan adil karena semua warga yang memiliki e-KTP dapat memilih dalam pemilu tanpa ada lagi kekacauan daftar pemilih tetap (DPT).
Saran untuk pemilu serentak 2024:
- Diharapkan kepada pemerintah segera mengeluarkan peraturan pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 dengan sistem e-voting serta melengkapai sarana dan prasarana pemilu serentak 2024 dengan sistem e-voting.
- Diharapkan kepada pihak KPU segera mempersiapkan sumber daya manusia yang menunjang pelaksanaan pemilu serentak 2024 dan dengan segera melakukan koordinasi dengan kemenkinfo dan BPPT maupun lembaga-lembaga terkait dalam rangka persiapan dan pelaksanaan pemilu serentak 2024.