Oleh:
Deni Gunawan M. Fil. I
Direktur Lembaga Studi Visi Nusantara
“Bangsa itu adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal ihwal yang telah dijalani oleh rakyat itu,” ~Otto Bauer
Sebagai sebuah negara-bangsa (nation-state), Indonesia bukanlah negara yang ditujukan untuk dihuni oleh satu suku, agama, keyakinan, dan kebudayaan tertentu. Namun, di dalamnya hidup bermacam entitas kebudayaan, keagamaan, keyakinan, dan kesukuan dalam satu bangsa. Oleh karena itu, tidak ada satu orang pun, di republik ini, bisa mengklaim paling berhak dan merasa paling mewarisi Indonesia.
Siapa pun ia, apa pun latar belakangnya, pribumi bukan pribumi, selama ia ber-NIK Indonesia, maka ia adalah warga negara sah republik ini. Konsekuensinya, mereka memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dengan yang lain berdasarkan amanat konstitusi negara.
Kesadaran seperti ini, pertama-tama harus diterima, lalu dipahami secara insyaf oleh seluruh warga negara Indonesia. Berindonesia berarti, terlahir dari suku Bali, tapi pada saat yang sama kita merasa bagian dari kesuluruhan suku-suku. Dengan demikian, kesadaran bahwa kita adalah suku Bali mengharuskan kita juga mengakui dan menaruh hati pada suku Jawa, Sunda, Bugis, dst., yang juga eksis di Indonesia.
Kesadaran Eksistensial Berbangsa
Indonesia adalah sebuah negara yang ditinggali oleh penduduk yang tidak tunggal. Kemerdekaan yang direbut meniscayakan bahwa kita memiliki luas wilayah yang tidak kecil. Semua orang, dari berbagai latar belakang, mayoritas-minoritas, besar-kecil, tercatat atau tidak dalam buku sejarah bangsa, ikut berkontribusi dalam terciptanya kemerdekaan sebuah negara, Indonesia. Sejak awal, para pendiri bangsa sudah memiliki kekhawatiran untuk mendirikan negara sebesar Indonesia, kekhawatiran itu adalah timbulnya perpecahan, di mana sumber utamanya adalah kegagalan mengelola keragaman.
Indonesia bukanlah sebuah bangsa dari entitas suku tertentu. Dia juga tidak didirikan dari keyakinan agama tertentu, selain itu dia juga tidak hanya ditopang oleh akar kebudayaan yang sama. Akan tetapi, Indonesia didasarkan pada campuran berbagai elemen keragaman, dari warga negara berkulit kuning langsat, sawo matang, hingga gelap hitam. Agamanya pun beragam, ada yang monoteis, politeis, hingga yang percaya pada roh leluhur. Kebudayaannya pun tidak sama, setiap daerah hampir memiliki ciri khas kehidupan sosial yang unik dan ditopang oleh bahasa lokal yang identik.
Luas wilayah yang luas, terdiri dari pecahan-pecahan daratan yang membentuk gugusan-gugusan pulau, baik kecil dan besar, dan dijembatani lautan, membuat negara ini secara geografis dan demografis tidak seragam. Meski tidak seragam, dia satu. Satu dalam keragaman dan beragam dalam kesatuan.
Keragaman itu tampak dari kekayaan identitas sosial, budaya, agama, dan ras yang meliputinya, sementara kesatuan itu tampak pada komitmen politik untuk hidup bersama-sama dalam naungan sebuah komunitas besar bernama Indonesia. Komitmen besar itu ditujukan untuk mencapai tujuan bersama yakni suatu komunitas bangsa yang adil dan beradab. Bukan komunitas golongan yang mendominasi dan merasa paling beradab atas yang lain.
Konsep bangsa dengan karagaman entitas ini sesungguhnya memiliki kerangka dasar pikiran filosofisnya. Sebuah bangsa tidak harus dibentuk atas dasar kesamaan suku yang ini berarti basis argumentasinya adalah faham biologis. Namun, sebuah bangsa justru bisa dibangun atas dasar paham sosiologis sebagai ilmu pergaulan hidup.
Argumentasi konsep bangsa berdasarkan paham sosiologis inilah yang dikembangkan oleh para Bapak Bangsa. Soekarno, mengutip penjelasan filosof dan pujangga Perancis, Ernest Renan, mengatakan, “Bangsa itu menurut pujangga ini ada suatu nyawa, suatu asas akal, yang terjadi dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani satu riwayat; kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan tubuh, bukannya pula batas-batas negeri yang menjadikan bangsa itu.”
Dua syarat itu sesungguhnya dimiliki rakyat Indonesia sejak awal perjuangan. Oleh sebab itu, maka kehadiran bangsa Indonesia di tengah-tengah bangsa dunia menjadi sesuatu yang niscaya, realistis, dan rasional; bukannya suatu yang dibuat-buat apalagi mengada-ada. Argumentasi inilah yang dahulu digunakan Bapak Bangsa untuk menyanggah Belanda yang kala itu menolak penyatuan Papua ke Indonesia atas dasar argumentasi bahwa orang Papua berbeda sama sekali secara ras dengan orang-orang Indonesia umumnya.
Keakraban Berwarga Negara
Setelah kita memahami bahwa Indonesia bukanlah sebuah bangsa dengan identitas tunggal, maka kita harus insyaf bahwa berindonesia adalah kesediaan untuk menerima semua orang yang berbeda dan beragam untuk hidup bersama-sama dalam pelataran negara yang kita sebut Indonesia. Sejauh bahwa orang itu memiliki komitmen untuk berbangsa dan bernegara, maka sejauh itu pula kita mesti memberikan penghargaan penuh pada mereka sebagai warga negara.
Namun, sejauh hanya berbeda cara menafsirkan dan memahami bangsa, maka seseorang tidak boleh diintimidasi, dikucilkan, apalagi dinegasikan dengan menarasikan mereka sebagai anti Indonesia.
Dalam sebuah negara-bangsa, keakraban itu harus tumbuh dalam suasana dialog bukan intimidasi. Dia harus tumbuh dalam suasana saling memberikan koreksi pandangan satu sama lain tanpa perlu menegasi.
Konsekuensi dari sebuah negara bangsa adalah keharusan untuk menghilangkan logika mayoritas-minoritas, dan kemauan untuk dikoreksi dan mengoreksi. Tidak ada lagi penglihatan tentang keistimewaan warga negara berdasarkan klasifikasi kelas, ras, kebudayaan, kelompok dan keyakinan. Semua kelas, ras, kebudayaan, dan keyakinan dipandang setara sejauh orang tersebut kemudian memiliki prestasi capaian yang patut diistimewakan, seperti keilmuan, keahlian, dan pengabdiannya kepada bangsa dan orang lain.
Semua identitas bawaan yang melekat pada setiap orang adalah pemberian yang tidak bisa dielakkan dan tidak pula patut untuk diagungkan secara berlebihan sembari disertai sikap pongah dengan merendahkan identitas entitas yang lain. Orang (hanya) diukur berdasarkan pada apa yang diusahakannya, bukan atas apa yang hadir dari takdir bawaannya.
Merasa besar hanya (bisa) tumbuh dari sikap yang kurang percaya diri. Kebesaran hadir dalam jiwa yang mengayomi dan melihat semua orang setara dengan potensinya masing-masing. Kecintaan pada Indonesia adalah kecintaan pada semua keragaman manusia yang ada di dalamnya. Pengecualian sebagiannya hanyalah kecintaan semu yang didasarkan kecintaan golongan yang dibalut seolah-olah atas dasar nasionalisme. Dalam negara-bangsa, tidak ada pewaris tunggal atas Republik Indonesia. Tidak aku, tidak kamu, tidak pula kelompokmu.