Oleh : Naufal Abdul Afif
(Ketua Umum IMM UIKA 2018-2020)
Dulu saya pernah membaca kalimat ini, tapi dimana, entah, lupakan saja. Namun secara pribadi saya sangat setuju dengan kalimat diatas. Dalam benak saya, pastilah orang yang menuliskan dan menjadikan kalimat ini jargon akan sangat berpihak kepada rakyat. Dalam ungkapan bahasa Jawa, “Merakyat”, peduli dengan wong cilik dan mendengar aspirasi masyarakat. Karena memang entah Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Desa, atau bahkan presiden hakikatnya adalah pelayan rakyat. Pelayan artinya melayani, dan itu mandat yang kapanpun bisa dicabut oleh tuannya.
Semakin kesini, tuan yang memberi mandat dirasa semakin tidak diurus, bahkan terkesan diacuhkan dan dikesampingkan. Tak jarang sang tuan dibikin takut dan was-was akan keadaan rumah mereka. Kapanpun bisa terjadi, rumah ataupun tanah tuan dirampas. Dalam sistem demokrasi, pemegang kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Namun hal demikian itu dirasa hanya berhenti dalam narasi-narasi saja.
Kasus penolakan warga terhadap tambang batu andesit yang ada di desa Wadas. Direspon dengan dikerahkan ribuan aparat yang masuk mengunakan mobil, jalan kaki, dan membawa senjata lengkap. Demikian pula dengan Demontrasi Menolak Tambang di Parigi Moutong, Sulawesi tengah, mengakibatkan Satu orang Tewas Tertembak dan 59 warga diamankan.
Pembangunan harusnya diarahkan untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat, diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang partisipatoris, namun yang terjadi justru dengan pembangunan menyebabkan kerugian bagi masyarakat, dampak yang kemudian sudah dirasakan adalah represifitas aparat kepada warga, dampak sosial yang akan menjadikan warga akan kehilangan banyak mata pencaharian.
Teringat kisah Umar bin Abdul Aziz dahulu yang menolak mandat, karena sadar betapa berat tanggung jawab yang harus diembannya ketika menjadi pemimpin. Ia pun meminta kepada masyarakat bermusyawarah kembali untuk menentukan Pemimpin selain dirinya. Umar bin Abdul Aziz berkata, “Sungguh, aku telah melepaskan bai’at yang ada di pundak kalian untukku. Selanjutnya pilihlah dari kalangan kalian sendiri seorang untuk menjadi pemimpin yang kalian ridhoi.”
Seorang pemimpin tidak hanya bertanggung jawab kepada masyarakat yang dipimpinnya saja, ia juga bertanggung jawab kepada Allah atas segala kebijakan yang diambilnya. Namun demikian, wajib bagi kita mendoakan kebaikan dan menasihati mereka agar senantiasa menjalankan pemerintahan dengan adil dan takut kepada Allah. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “seandainya aku diberikan satu doa yang mustajab maka aku akan mendoakan (kebaikan) bagi para penguasa“.
Dalam menjalankan pemerintahan, seorang pemimpin haruslah mempertimbangkan kemaslahatan semua rakyatnya, bukan hanya untuk golongan tertentu atau bahkan kepentingan segelintir orang. Maka tidaklah benar seorang pemimpin dikatakan sebagai petugas partai, karena partai hanyalah sebuah sarat kendaraan politik untuk mendaftar calon. Setelah ia menjadi pemimpin maka dia menjadi pemimpin untuk seluruh rakyat yang dipimpinnya.
Seorang pemimpin juga tidak boleh menyalahgunakan wewenang kebijakan yang dimilikinya untuk memperkaya diri, siap menjadi pemimpin artinya siap menderita untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat. Sebagaimana dicontohkan Umar bin Abdul Aziz ketika menerima anaknya yang tiba-tiba datang ke kantor. Ketika tahu bahwa sang anak ingin membicarakan masalah keluarga, Umar memadamkan lampu yang ia gunakan, keduanya pun berbincang dalam kegelapan.
Mungkin hari ini tidak harus sebersih itu, namun kisah-kisah inspiratif seperti itu haruslah diajarkan dan diketahui para pejabat agar tidak dengan mudah menyalah gunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Apalagi fasilitas yang cukup banyak menguras kantong negara. Bangsa ini membutuhkan restorasi dengan para pemimpin yang jujur dan adil.
Dalam bukunya Mencintai Bangsa dan Negara Pegangan dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara di Indonesia (2008), Ary Ginanjar mengatakan, “demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Maka dari itu sistem demokrasi berbeda dengan oligarki
Dalam pemerintahan oligarki, kekuasaan dipegang oleh beberapa orang. Jika hal itu terjadi akan sangat berbahaya. Oligarki akan menyetir atau mengatur wakil rakyat untuk semakin menindas rakyat, upah buruh ditekan semakin murah, mengeksploitasi sumber daya alam. Akhirnya kesenjangan akan semakin lebar, orang yang kaya akan semakin kaya, orang yang miskin akan semakin sengsara. Harta kekayaan hanya berputar dalam lingkaran orang-orang yang kaya saja, dan mereka akan semakin menumpuk kekayaan.
Prof Salim Said mengibaratkan pemerintahan Indonesia hari ini seperti sedang ditagih Debt Collector. Semua yang memberi hutang sedang beramai-ramai menagih presiden dengan apa yang sudah mereka berikan untuk modal dahulu ketika mencalonkan diri sebagai presiden. Sehingga pada hakikatnya pemerintah hari ini tidak sedang memikirkan nasib rakyat, mereka sedang memikirkan nasib para pemodal itu bagaimana dapat disenangkan.
Masyarakat sudah sangat muak menyaksikan penegakan hukum di republik ini yang tidak jalan. Hukum akan tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Terjadi sandiwara dan mafia peradilan di satu pihak, serta anarki massa di pihak lain. Kompleksitas masalah di negri ini semakin sulit untuk didiagnosa. Solusi pelaksanaan ajaran agama, mungkin bisa menjadi terobosan, bila dikelola secara bertanggung jawab.
Penerapan ajaran agama dalam kehidupan masyarakat sudah saatnya mendapatkan tempat, karena menjalankan agama tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Keadilan patut diberikan bagi semua pemeluk agama. Tidak ada tempat bagi mereka yang tidak beragama atau yang memusuhi agama. Karena negeri ini dibebaskan dari belenggu penjajahan dengan modal utama spirit keagamaan.
Negeri ini juga dimakmurkan dan disejahterakan dengan pengamalan nilai-nilai spiritual keagamaan. Nilai-nilai Agama Islam harus lebih banyak lagi dituangkan dalam Undang-undang sehingga kita mempunyai Undang-undang yang sungguh reformis, adil, dan mengokohkan integrasi kita sebagai bangsa dan negara. Sebagaimana masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Ia membuat kebijakan yang dapat melindungi rakyat kecil. Pada masanya orang-orang kaya membayar zakat sehingga kemakmuran benar-benar terwujud. Konon, saat itu sulit menemukan para penerima zakat lantaran kemakmuran begitu merata.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
اَلْيَوْمَ يَىِٕسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ دِيْنِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِۗ اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ
“….Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Q.S. Al-Maa-idah/5: 3]
Semoga jargon-jargon semacam “TUANKU YA RAKYAT, GUBERNUR CUMA MANDAT” dapat diaplikasikan dengan kebijakan yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Bukan malah dijadikan pencitraan untuk menarik simpati belaka. Memang rakyat kita sangat mudah memaafkan perilaku para pejabat. Namun jika kebrutalan dan kesewenang-wenangan terus dipertontonkan, maka bukan tidak mungkin rakyat meninggalkan dan tidak akan memilihnya kembali. Rakyat mulai pintar dan berfikir, siapa sebenarnya yang benar-benar mewakili nya dan siapa yang hanya menjadi kaki tangan oligarki.