Oleh : Firmawati, S.H., M.Hum
(Dewan Pembina Democracy and Elektoral Empowement Partnership (Deep) kabupaten Pangandaran, Ketua PD Nasyiatul Aisyiyah Kab. Pangandran)
Pada era normal maupun new normal pelaksanaan pesta demokrasi dihadapkan pada kerawanan politik transaksional diantaranya adalah money politik dan mahar politik. Kedua kerawanan tersebut adalah problem moral yang fatal mencederai reputasi demokrasi. Disamping itu biaya pilkada yang sangat mahal nyatanya hanya akan melahirkan demokrasi yang cacat dari segi proses maupun hasil.
Adanya investor pilkada membuka peluang bagi peserta pilkada mewarnai pilkada dengan demokrasi yang pragmatis. Politik transaksional lahir dari suport dana para investor politik yang dikemudian hari akan meminta imbalan kebijakan-kebijakan yang pro kapitalis. Meskipun dampaknya nyata, para mafia politik dalam pilkada keberadaannya sulit dibuktikan dan sulit dijangkau oleh hukum.
Formulasi hukum pilkada hari ini tidak mengakomodir keadaan faktual dilapangan. Adapun transparansi dana dalam proses pilkada hanya diatur dalam dana kampanye. Sementara penggunaan dana pra dan pasca kampanye seperti kegiatan konsolidasi, sosialisasi dan biaya saksi di TPS tak diatur untuk dilaporkan.
Problem politik transaksional harus ditangani dengan serius melalui formulasi hukum yang progresif agar mampu memberikan efek jera. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh lembaga non pemerintahan memberikan rekomendasi sanksi administratif sebagai solusi tepat diberikan untuk membenahi masalah moral peserta pilkada.
Selaras dengan itu sumber daya penegak hukum pilkada harus memiliki performa yang tegas, independent dan berani. Di ranah preventif pencegahannya pun harus digaungkan bukan hanya ketika tahun pilkada berlangsung, tapi juga harus didorong menjadi diskursus keseharian yang ada di masyarakat.
Bagi penulis selaku insan hukum yang juga pemerhati demokrasi dan pemilu, kebijakan pembentukkan satgas ini melahirkan ambiguitas. Di satu sisi menjadi kabar gembira dimana akan lahir pranata baru yang turut aktif mengawal proses pemilu dari bahaya money politik dan mafia pilkada. Di sisi lainnya kebijakan pembentukkan satgas terindikasi akan menimbulkan problem baru.
Problem-problem tersebut yaitu akan ada kerentanan perbedaan interpretasi hukum dalam persoalan money politic antara satgas dan pengawas pemilihan dilapangan. Kemudian juga akan ada kerentanan kebingungan publik dalam alur koordinasi dan konsultasi persoalan money politic. Selain itu tupoksi dari satgas harus jelas apakah akan mengerjakan sosialisasi, mengerjakan pemantauan atau pengawasan, atau mengerjakan pelaporan dan bermuara dimana?. Dan kemudian pertanyaan selanjutnya apakah satgas ini berbasis anggaran atau sukarelawan?.
Perlu juga diperhatikan siapa saja yang akan dilibatkan dalam komposisi satgas dan kedudukan subjek tersebut dimata hukum. Mengingat dalam Pasal 134 ayat (2) menyebutkan subjek yang dapat menyampaikan laporan adalah pemilih, pemantau pemilihan dan peserta pemilihan. Dengan demikian orang-orang yang tidak memiliki hak pilih seperti TNI, Polri, dan masyarakat lainnya yang tak memiliki hak pilih tidak memiliki kapasitas untuk membuat laporan pelanggaran pemilihan baik itu pelanggaran administrasi pemilihan, kode etik penyelenggara pemilu, maupun pelanggaran pidana pemilihan.
Jika dalam komposisi satgas akan melibatkan unsur pemda dan pemdes maka harus ada jaminan pelayanan publik tidak terganggu dan tidak menghalangi kewajiban utamanya dalam bekerja. Selain itu peran ASN dalam satgas tidak boleh keluar dari asas dan prnsip yang diatur dalam regulasi baik UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN, UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, UU 10 tahun 2010 tentang Pilkada dan produk hukum lainnya.
Mafia politik melahirkan Politik transaksional yang menjelma menjadi money politic dan mahar politik merupakan kejahatan pemilihan yang bersifat TSM (terstruktur, sisitematis, dan masif). Kini praktek demikian dapat dikategorikan masuk dalam daftar Kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime). Politik transaksional membentuk moral peserta pilkada dan pemilih yang koruptif. Dampak besarnya dikemudian hari akan melahirkan korupsi kebijakan yang eksesnya akan merugikan kehidupan masyarakat.
Kebijakan pembentukkan satgas anti money politic dan mafia pilkada harus dipertimbangkan dengan matang dalam konteks tupoksi, komposisi berlandaskan pada urgensi dan regulasi. Selain itu suatu kebijakan yang dibuat mestinya melibatkan aspirasi masyarakat dan sentuhan akademis. Sehingga menghindari kebijakan spontan yang terkesan terburu-buru. Selain itu dalam pilkada gerakan sipil berbasis mayrakat dan perguruan tinggilah yang lebih tepat mengisi kontrol sosial dengan nafas independent.
Kejahatan dalam pemilihan diatur dalam undang-undang pemilihan, sesuai asas hukum Lex specialis derogat legi generali yang artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Maka kehadiran satgas ini harus lebih mengindahkan norma yang ada dalam regulasi pemilihan. Dari mulai perekrutan, pelaksanaan tugas, dan pertanggung jawaban.
Adapun pembentukkan satgas harus sebagai wujud partisipasi masyarakat yang bertujuan memperkuat penyelenggara pemilu yaitu KPU dan Bawaslu. Di tengah arus pragmatisme masyarakat upaya ekstra untuk memerangi politik transaksional memang diperlukan. Aktor politik didaerah harus hadir dengan kebijakan yang pro bagi masyarakat. Mengembalikan kemurnian demokrasi dengan berkompetisi beradu gagasan, program dan kebijakan sebagai sarana pendidikan politik yang bermartabat.