Oleh:
Raja Faidz El Shidqi
(Kader IMM UMJ)
Setiap 1 Mei dunia merayakan suatu hari bagi kaum Buruh yang lebih kita kenal dengan istilah ‘MayDay’, selalu ada saja tuntutan para Buruh kepada Pemerintah khususnya di Indonesia ini. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, MayDay tahun ini terkesan lebih suram karena sedang berlangsung pula wabah penyakit yang bernama Covid-19 atau Corona Virus ini.
Banyak sekali dari pekerja tetap hingga pekerja harian yang ter-PHK dan dirumahkan, menurut Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Munardo mencatat kurang lebih 1,6jt pekerja yang ter-PHK dan dirumahkan lalu dikonfirmasi pula oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah yang menyebut jumlah yang sama dengan perincian 10% yang ter-PHK dan sisanya ialah pekerja yang dirumahkan.
Tentu 1,6 juta adalah jumlah yang banyak dan tidak menutup kemungkinan akan terus bertambah jumlah pekerja yang ter-PHK dan dirumahkan, terlebih jika jumlah tersebut adalah jumlah yang tercatat secara legal lalu bagaimana dengan kondisi yang sebenarnya? Orang Indonesia juga banyak yang menjadi pekerja harian dan hal ini juga harus diperhatikan. Hal yang sangat disayangkan ketika para Pekerja di Indonesia harus memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup, mencukupi kebutuhan di masa Pandemi Covid-19 ini disaat mereka ter-PHK dan terancam di PHK justru disisi lain DPR RI selaku Wakil Rakyat malah menambah beban mereka dengan meneruskan pembahasan Omnibus Law yang dianggap merugikan masyarakat banyak.
Menurut Ketua PP Muhammadiyah Pak Busyro Muqqodas, Omnibus Law merampas nilai-nilai hak di masyarakat dan bisa menyebabkan melemahnya demokrasi. Hal yang serupa di sampaikan oleh Waketum PBNU Pak M. Maksum Machfoedz bahwa Omnibus Law sarat akan kezaliman dan lebih pro kepada investor-investor besar. Walaupun sebenarnya pembahasan pada RUU Cipta Kerja yang dianggap sangat merugikan ini ditunda mestinya Wakil Rakyat memahami secara penuh keinginan dari masyarakat bahwa mereka menginginkan pembahasan Omnibus Law ini dibatalkan bukan ditunda, ditunda bagi saya hanyalah bahasa politis yang digunakan untuk meredam kontroversi sementara waktu lalu setelah itu tetap hanya ada dua pilihan, yaitu dilanjutkan pengesahannya atau dibatalkan.
Di samping polemik antara Buruh dengan Omnibus Law ini belum berhenti dan terus menerus menghasilkan perlawanan, Pemerintah juga ikut meramaikan situasi kontroversi ini dengan program Kartu Pra Kerja nya pada saat Rapat dengar pendapat Komisi III DPR dan KPK, anggota dewan melaporkan terkait Program Kartu Pra Kerja ini yang dianggap ada banyak ketidakwajaran dan dinilai bahwa dana pelatihan 5,6 Triliun rawan permainan. Bahkan Habiburokhman, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra berpendapat, “Saya bingung pelatihan bikin Pempek Rp. 600 ribu, di YouTube itu gratis.” begitu banyak polemik terjadi ditengah-tengah masyarakat disaat masa Pandemi Covid-19 ini berlangsung bukan hanya berasal dari Kebijakan Pemerintah melalui Kartu Pra Kerjanya dan Sikap DPR yang tetap membahas Omnibus Law, Pemerintah melalui Presiden RI Bapak Joko Widodo pun melakukan kegiatan yang sama nya menjadi polemik dengan membagi-bagikan sembako di Jl. Cilincing Raya pada hari Selasa, 21 April 2020 dan video pada saat pembagian sembako tersebut menjadi viral di media sosial.
Saya fikir ditengah situasi yang memburuk seperti ini kita, seluruh masyarakat Indonesia mulai dari pejabat negara hingga rakyat kelas bawah harus bersama-sama membangun kekuatan untuk melawan wabah penyakit ini dengan betul-betul menerapkan konsep Social Distancing dan para pejabat eksekutif, legislatif berhenti membuat kontroversi yang justru akan menambah buruk situasi yang ada. Jika kita semua serius menangani masalah wabah ini dan segera berakhir maka masalah seperti para Pekerja yang ter-PHK dan terancam di PHK pun dapat diatasi dan kita dapat segera membangun kembali perekonomian yang ada di Indonesia ini.