Oleh:
Ade Nur Cahya
Hubungan sosial yang dinamis, berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan individu tak bisa terhidari dalam kehidupan manusia.
Manusia sudah sulit untuk menaklukan realitasnya di zaman yang segalanya sudah mulai kabur dan abu-abu. Dunia sudah dipenuhi citra dan penuh tanda atas segala peristiwa.
Jean Baudrillard menyebutnya sebagai dunia simulakra, merujuk pada sebuah hal tampak, baik real maupun khayal, salinan realitas atau entitas yang telah hilang atau bahkan tidak memiliki dasar realitas asal apapun. Dalam artian lain, representasi yang tampak bersumber atau berdasar pada hal yang secara ontologis palsu atau tidak tulen sehingga keberadaannya hanya absah berdasar pada status realitasnya sendiri. Konsep ini adalah salah satu bagian kuat penyusun diskursus pascamodernisme dan umumnya bertautan dengan ekspresi kritis atas realitas yang dinilai hubungan representatif antara tanda dan maknanya terganggu.
Salah satu contoh umum dari diskursus simulakrum adalah meruahnya bangunan dan model yang diadakan dan disajikan kepada publik di berbagai tempat di dunia dibuat, menurut Jean Baudrillard, sebagai hasil dari kebutuhan tak terkendali untuk menghasilkan imitasi demi kenikmatan massa belaka. (Wikipedia)
Ketulusan dalam silaturahim ditutupi dengan menunggu momentum politik. Interaksi sosial kita dikabuti dengan cara membangun citra dan menempatkan tanda diri untuk kepentingan pribadi. Simulakra banyak ditemui disekitar kita.
Saat hadir ke dalam kondangan, seorang bupati dan lurah akan cenderung didekati dengan ramah, interaksi sosial dengan berbagai macam motif yang tersimpan dibalik tindak dan geraknya.
Kita bisa menemukan itu di keseharian kita, di tempat kerja, dalam hubungan bertetangga, saat menjenguk orang sakit dan saat melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Kesadaran manusia yang dipenuhi kepentingan-kepentingan pribadi menyatu dengan realitas hidup yang dihadapi.
Dunia dipenuhi dengan peristiwa manusia yang mengkampanyekan diri secara diam-diam dengan kontribusi yang ia perbuat lalu muncul perebutan penafsiran terhadap sesuatu hal untuk sekedar pengakuan atas dirinya untuk diakui banyak orang.
Calon-calon bupati dan lurah yang mengucapkan selamat milad kepada suatu organisasi besar, belasungkawa musibah, selamat hari ini itu dengan memasang foto dirinya yang senyum terbiasa dalam pandangan kita. Kita semua paham maksudnya apa.
Kepala sekolah SMP yang mengucapkan selamat atas wisuda SD ini itu begitu pun Kepala SMA dan SMK kepada wisuda SMP dan rektor kampus swasta kepada wisuda SMK dan SMA dan kita semua mengerti itu maksudnya apa.
Semesta post-modern, menyulap peristiwa menjadi simulacrum. Kenyataan diterima sebagai simulasi. Melalui iklan calon bupati, masyarakat hanya mengenal siapa-dia. Bukan untuk-siapa-dia. Sebab masyarakat hanya disuguhi raut senyum polesan si calon pembantu rakyat.
Masyarakat, dipaksa untuk mengkonsumsi citra mulus dan senyum teduh calon pemimpin. Sementara pengalaman-pengalaman masyarakat tentang malasnya para pembantu bupati misalnya, pemborosan anggaran dan lainnya, dihapus melalui senyuman dalam iklan. (Amin Roman).
Permainan citra dan makna menjadi kebutuhan manusia mempertahankan eksistensi nya, bukan lagi berdasarkan pengalaman.
Interaksi sosial kita sudah jauh dari kata ketulusan hati. Dan inilah dunia baru dalam interaksi sosial kita yaitu dunia simulakra