Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD)
Tepat 28 Januari 2020 pemerintahan Jokowi- Maruf Amin telah memasuki 100
hari kerja. Seperti yang kita ketahui masa jabatan Presiden saat ini merupakan periode yang kedua, artinya Presiden sudah menjalani 5 tahun kepemimpinan sebelumnya. Pada masa 100 hari kerja Jokowi- Ma’ruf Amin terdapat banyak hal yang yang sudah dijalani dan penting untuk dikritisi. Beberapa peristiwa di dalamnya tidak dapat dipandang sebagai peristiwa biasa. Bahkan bisa disebut sebagai peristiwa yang sangat menentukan masa depan bangsa ini. Sebut saja soal pemberlakuan UU KPK hasil revisi, Kasus Jiwasraya dan masuknya RUU Omnibus Law dalam Prolegnas, pada lain hal isu amandemen GBHN, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR, serta sistem Pilkada kembali tertutup.
Selain kasus tersebut, banyak peristiwa yang memiliki makna untuk dikritisi apakah masa depan pemerintahan Jokowi- Makruf Amin ini menunjukan trend positif atau sebaliknya, khususnya terkait dengan pemberantasan korupsi, penegakan HAM, dan juga penguatan demokrasi. Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) melaksanakan diskusi yang dilaksanakan di Kabupaten Bogor, Kantor DEEP Indonesia, yang dilaksanakan pada tanggal 2 Februari 2020.
Dalam proses diskusi GIAD memberikan beberapa catatan penting, mulai dari kebijaka Pemerentah untuk melakukan perampingan birokrasi, kenaikan tarif BJPS, Omnibus Law, skandal jiwasraya, asabri, dan pengelolaan APBN serta keinginan pemindahan ibu kota yang terburu-buru. Sebagai bentuk evaluasi atas kondisi tersebut Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) memberikan beberapa catatan sebagai berikut:
- Antara 20 Oktober 2019 hingga 28 Januari 2020, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf telah berusia 100 hari dan selama masa pendek tersebut demokrasi Indonesia telah mengalami kemunduran signifikan. Ironisnya, institusi negara dengan pemerintahan di dalamnya adalah kontributor utama kemunduran tersebut; demokrasi telah dikorupsi.
- Pada pengujung periode terdahulu, pemerintahan Jokowi bersekongkol dengan DPR untuk memperlemah KPK, terutama melalui revisi UU KPK dan pemilihan komisioner yang kontroversial. Bersama beberapa rancangan lain, legislasi bersama DPR dan pemerintah menghasilkan ancaman bagi pemberantasan korupsi dan kebebasan sipil.
- Sementara korupsi politik dan inefisiensi berkelanjutan, pelemahan KPK telah memberi pukulan telak pemberantasan korupsi. Perubahan yang konon dimaksudkan untuk mempermudah investasi pun tidak terbukti. Beberapa indikator ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi dan investasi, nilai tukar rupiah, serta neraca perdagangan menunjukkan kecenderungan stagnasi, jika bukan malah menurun.
- Kebebasan sipil berada dalam ancaman serius terdampak sejumlah penangkapan dan intimidasi yang dialami para aktivis. Protes massa dihadapai dengan kekerasan, kritik dihadapi dengan ancaman pemidanaan, dan gerakan mahasiswa dirundung dengan penggembosan. Inilah salah satu titik nadir kebebasan sipil dua dekade terakhir.
- Intoleransi berlanjut; alih-alih memiliki itikad politik untuk mengatasinya, sejumlah kekuatan politik justru mengeksploitasinya dan negara tampak abai karena mereka malah menikmatinya. Polarisasi antar-umat tersebab bukan hanya oleh minimnya kesepahaman silang dan buruknya keadilan sosial, tetapi juga agitasi politik yang memanfaatkan sentimen keagamaan untuk pemenangan kontestasi elektoral.
- Pengabaian hak asasi berlangsung terang benderang. Pemerintah tidak saja gagal memberi penghormatan dan perlindungan memadai terhadap HAM, mereka bahkan menjadi salah satu aktor pelanggar HAM lewat ancaman kebebasan sipil. Pelanggaran HAM masa lalu semakin jauh dari penyelesaian, bahkan terdapat kecenderungan untuk mengingkarinya secara ironis lewat tindakan-tindakan hukum.
- Dengan situasi tersebut, kita membutuhkan suatu perubahan besar dalam pemerintahan. Kekuasaan yang terlalu besar dan memusat di sektor-sektor politik dan ekonomi melahirkan oligarkisme, yang kian sulit untuk ditaklukkan. Selain revolusi mental dalam ruang-ruang kekuasaan, penguatan civil society menjadi kemendesakan bersama revitalisasi peran media massa. Sementara partai-partai politik menjadi bagian pembusukan demokrasi, perlu kekuatan penyeimbang yang dapat memberi energi perubahan menuju konsolidasi demokrasi.
Bogor, 2 Februari 2020
Alwan Ola Riantoby (Kornas JPPR)
Arif Susanto (Exposit Strategic)
Badi’ul Hadi (Seknas Fitra)
Kaka Suminta (KIPP Indonesia)
Ajeng Kusumaningrum (Aktivis Demokrasi)
Yusfitriadi (DEEP Indonesia)
Ray Rangkuti (LIMA Indonesia)
Jeirry Sumampow (TePI Indonesia)
Lucius Karus (Formappi)
Farida Laela (Alinea)