Visinews.net – Konflik antara organisasi eskternal dan internal di lingkungan kampus merupakan fenomena yang sering terjadi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Organisasi kemahasiswaan sering kali terpecah antara yang berafiliss dengan kelompok atau partai politik tertentu di luar kampus (eksternal) dan yang berdiri secara independen atau dikelola langsung oleh lembaga pendidikan (internal). Konflik ini tidak jarang membawa dampak negative bagi dinamika dan romantic kehidupan kampus, mulai dari polarisasi di kalangan mahasiswa hingga terganggunya proses akademik.
Salah satu masalah utama dalam konflik ini adalah pertanyaan tentang kemandirian organisasi mahasiswa. Organisasi internal sering kali dianggap netral dan berfokus pada kepentingan akademis serta kegiatan kemahasiswaan yang positif. Di sisi lain, organisasi eksternal yang berafiliasi dengan kelompok tertentu sering kali dituding membawa agenda politik ke dalam kampus. Hal ini dapat mengganggu focus utama dari eksistensi organisasi mahasiswa, yaitu sebagai wadah pengembangan diri dan partisipasi aktif dalam kegiatan.
Kehadiran organisasi eksternal di kampus tidak selalu membawa dampak negative, bahkan tidak sama sekali bagi mahasiswa yang memahami organisasi behaviour secara konperhensif. Dalam beberapa kasus, organisasi ini dapat memberikan prespektif yang lebih luas kepada mahasiswa tentang isu-isu nasional dan global. Mereka juga bissa menjadi saluran bagi mahasiswa untuk terlibat langsung dalam kegiatan social dan politik di luar kampus. Namun, jarang sekali mahasiswa, dosen, serta structural memperhatikan dinamika dan romantic di kampus, bahwa kehadiran organisasi eksternal selain memberikan prespektif yang lebih luas, organisasi eksternal juga membangun kemajuan kampus itu sendiri baik dari segi akademis maupun kepemimpinan individual (leadership).
Selain itu, perlu kita ketahui bahwa hadirnya organisasi eksternal di lingkungan kampus juga dianggap penting oleh negara karena untuk menghalau paham radikalisme dan sebagai wadah pengembangan intelektualitas, etikabilitas, dan elektabilitas mahasiswa. Kemudian, organisasi eksternal juga di lindungi oleh Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 2012 dan Permenristekdikti No. 55 Tahun 2018. Jadi, pihak kampus tidak memiliki wewenang untuk mengatur dan membatasi kebebasan organisasi eksternal yang sudah di atur oleh UU diatas.
Polariasi antara pendukung organisasi eksternal dan internal dapat menyebabkaan peepecahan di kalangan mahasiswa. Ini bisa berujung pada terganggunya harmoni dan kolaborasi di lingkungan kampus. Dalam beberapa kasus ekstrem, polarasi ini bahkan dapat berujung pada tindakan kekerasan dan intimidasi dari pihak internal. Mahasiwa yang terlibat dalam konflik ini juga berpotensi kehilangan focus pada tujuan utama mereka di kampus, yaitu mengasah kemampuan softskill dan hardskill atau berkembang secara akademis.
Pihak kampus memiliki peran penting dalam mengelola konflik ini. Administrasi dan structural kampus mesti bersikap tegas namun adil dalam menangani prselisihan antara organisasi mahasiswa. Kampus mesti memastikan bahwa semua organisasi, baik internal mau pun eksternal, dapat beroprasi secara sehat dan konstruktif tanpa menggangu proses belajar-mengajar dan kehidupan kampus secara menyeluruh. Pihak kampus juga perlu menyediakan forum dialog yang terbuka dan inklusif agar semua pihak dapat menyampaikan pandangan dan pendapatnya.
Kemajuan suatu perguruan tinggi itu bukan hanya di lihat dari sebagus apa Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiwa yang di peroleh, tetapi yang tidak kalah penting adalah sejauh mana mahasiswa memahami bahasa kosmologi (ruang dan waktu), dan landasan berpikir (epistimologi, antologi, dan aksiologi). Justru ini yang menjadikan mahasiswa mampu berpikir secara kritis dan analitis dalam menghadapi isu-isu yang sifatnya kontroversial.
Mahasiwa intelektual dinyatakan sebagai orang yang berpikir (thinking person). Namun, mahasiswa sekarang mengalami monoprespektif sehingga mengalami kejumukan berpikir dan stagnasi metodologi. Contohnya seperti, mahasiswa hukum hanya boleh berbicara hukum, mahasiswa ekonomi hanya boleh berbicara ekonomi, mahasiwa sastra hanya boleh berbicara sastra dan lain sebagainya. Yang menyebabkan mahasiswa seperti itu adalah budaya dan regulasi (kode etik) yang di bangun oleh pihak kampus. Ini adalah fenomena yang terjadi pada perguruan tinggi di Indonesia.
Solusi jangka panjang untuk konlfik ini adalah dengan mempromosikan budaya dialog yang berujung adanya dialetika dan kerjasama di kalangan mahasiswa agar tercapai cita-cita tri dharma perguruan tinggi. Kampus harus mendorong terciptanya lingkungan yang mendukung perbedaan pendapaat dan keberagaman tanpa harus didorong untuk lebih focus pada pengembangan diri dan kontribusi positif bagi masyarakat, baik di dalam maupun di luar kampus.
Kehidupan kampus yang sehat adalah yang mampu menampung berbagai aspirasi dan pandangan tanpa harus terjebak dalam konlfik dan polarisasi. Organisasi mahasiswa, baik internal maupun eksternal, harus bisa berkolaborasi dan bersinergi untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, kampus bisa menjadi tempat yang lebih kondusif untuk belajar, bertukaran pikiran, dan mempersiapkan generasi muda Indonesia yang lebih baik di masa depan.
Ikhsan Harris Fadillah