Oleh: Daniel Zuchron
Siapa yang tidak tahu sampah?
Sampah adalah sisa dari aktivitas produksi karena sudah tidak terpakai, cacat produksi atau residu akhir produksi. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) memberikan penjelasan sampah adalah barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi dan sebagainya, atau kotoran seperti daun, kertas dan sebagainya. Sehingga sampah identik dengan hal yang kotor, hina, mengganggu atau menjijikkan.
Terdapat hukum kekekalan massanya Lavoisier bahwa massa itu keadaannya tetap baik sebelum atau setelah produksi yang mengubahnya. Ahli hukum fisika Italia abad 18 menguji reaksi cairan merkuri dengan oksigen dalam wadah tertutup . Reaksi keduanya menghasilkan senyawa baru dalam jumlah yang sama ketika dipanaskan. Dari sana muncul hukum kekekalan materi, materi tidak bisa diciptakan dan tidak bisa dimusnahkan.
Hal ini menarik jika kita kaitkan dengan sampah. Produksi apapun yang bersifat material hanya akan mengubahnya tetapi tidak dapat menghilangkannya. Sampah baik yang dihasilkan individu, rumah tangga, atau kelas pabrikan tetap berdampak pada lingkungan yang disekitarnya. Kita membayangkannya pada lingkup komunitas atau level kawasan seperti kota, misalnya. Wajar ketika soal polusi udara yang menimpa suatu wilayah merupakan hasil aktivitas manusia di dalam wilayah tersebut. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di kawasan Sumatera dan Kalimantan yang menghebat akhir-akhir ini membuktikan adanya sampah, polusi asap! Sebabnya jelas kotor dan menganggu.
Sebenarnya asap itu konsep netral dan logis. Maka muncul istilah ‘ada asap pasti ada api’. Beberapa sabana di Afrika, Australia dan Amerika sering terjadi kebakaran yang alamiah. Mengingat musim kemarau yang panjang dan sebab percikan entah listrik petir atau panas matahari pada dahan kering merupakan siklus alami. Hingga tiba hujan pada musim berikutnya kembali menyuburkan dan menumbuhkan lahan kebakaran kemarin. Alam menyediakan jalan dan metodenya sendiri. Tidak ada yang terbuang sia-sia dari setiap proses alam. Bangkaipun menjadi harapan bagi sepasukan semut sebagai penyedia protein kelompoknya. Kotoran hewan menjadi rabuk yang menyuburkan pohon-pohon hutan.
Perlu disadari bahwa keberadaan manusia memang menjadi unik. Meskipun dia bagian dari alam namun kemudian dia mulai mengendalikan alam. Menurut perhitungan ahli fisika, alam ini sudah ada sejak milyaran tahun yang lalu. Alam membangun sistemnya sendiri. Sejak saat itu pula makna residu atau sisa produksi alam tidak ada yang dinilai tidak berguna. Semuanya saling mengisi dan membutuhkan. Mata rantai kehidupan berputar alami mulai dari predator puncak hingga mikroba pengurai bangkai. Ikan salmon di daerah utara mengakhiri hidupnya menjadi bangkai di daerah asal kelahirannya setelah mengarungi ribuan kilometer pada masa dewasanya. Bangkainya pun membentuk ekosistem dan siklus yang menyuburkan daerah yang dilaluinya hingga kuburan terakhirnya. Dan kita tidak menyebutnya sebagai sampah karena itulah kenapa alam bekerja. Hingga dunia menjadi sibuk sejak manusia hadir.
Menjadi jelas kiranya bahwa konsep sampah muncul pada aktivitas manusia. Tepatnya peradaban manusia. Sampah menjadi bagian tidak terpisah dengan kehidupan manusia. Semakin berkembangnya teknik produksi dan meningkatnya populasi manusia, semakin terasa menumpuknya masalah sampah. Mestinya sebagai bagian dari alam, manusia terikat dengan hukum alam pula. Setelah era industri dan sekarang masuk revolusi yang ke 4.0 malah persoalan sampah mulai mengancam alam sebagai induk semangnya manusia. Laut mulai tercemar limbah plastik, hutan dibakar untuk digantikan budi daya kelapa sawit. Kitab suci sudah menyitirnya ribuan tahun lalu bahwa telah nampak kerusakan di daratan dan lautan disebabkan aktivitas tangan-tangan manusia.
Itu baru sampah material. Bagaimana dengan sampah immaterial?
Kita sering mendengar ungkapan “sampah masyarakat”. Maksudnya tentu bukan denotatif, tetapi konotatif yang dimaksud adalah manusia yang tidak berguna. Adakah manusia yang tidak berguna?
Di sini sudah muncul gagasan tentang kegunaan atau fungsi dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia jika ditilik dari eksistensinya terhubung dengan kemanfaatan. Sabda Nabi SAW yang masyhur “sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” kiranya sangat cocok dengan ungkapan sarkas tersebut. Jadi manusia yang tidak memberikan manfaat bagi yang lainnya dapat disebut dengan sampah masyarakat!
Namun kembali pada hukum kekekalan materi, manusia yang tidak berguna tetap ada manfaatnya. Menjadi pengingat manusia bahwa pernah ada orang yang hidup dan tidak berguna, don’t try this at home! Hanya saja ada jalan keluar dari persoalan ini khusus manusia. Jalan taubat!
Salah satunya mempelajari mengapa ia tidak berguna padahal dia makhluk yang paling berdaya mengendalikan alam. Ia harus mulai sadar bahwa sampah masyarakat pun akan dihitung bernilai guna jika kembali kepada derajatnya semula, makhluk yang berdaya. Memiliki daya mengubah dirinya dari yang tidak berguna menjadi berguna kembali sebelum menjadi bangkai semata. Artinya alam memiliki hukum yang ajek siapa yang memberikan kemanfaatan hidup akan terhindar menjadi sampah masyarakat. Bukankah sampah ada gunanya?
Hal begini ini perlu menjadi landasan berpikir yang sederhana. Tidak ada suatu aktivitas yang tidak meninggalkan sampah!
Daniel Zuchron, pria kelahiran Jakarta 18 april 1976 yang tinggal di Bogor. Sekarang aktif sebagai pengajar filsafat di UNUSIA, peneliti senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Wakil Ketua Lakpesdam PBNU dan Dewan Pembina Yayasan Visi Nusantara Maju.