Oleh: Ade Nur Cahya (Guru Multimedia SMK Muhammadiyah 1 Cileungsi)
Hakikat di dalam Pendidikan adalah untuk membentuk individu manusia yang yang baik dan beradab, seperti dalam bunyi konstitusi kita undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang sistem pendidikan Nasional.
Tujuan pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, Berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Ukuran negara maju bukan hanya dilihat dari kemajuan infrastrukturnya saja.
Tetapi, dari sumber daya manusia-nya yang tidak hanya cakap, tetapi beriman dan berakhlak seperti pada tujuan pendidikan kita.
Dukungan pemerintah dalam memperbaiki kualitas pendidikan kita sangat diperlukan, karena maju-mundurnya sebuah negara tergantung bagaimana kualitas pendidikan di negara tersebut.
Salah satu penopang berjalan-nya pendidikan itu sendiri tidak lepas dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang dialokasikan untuk sektor pendidikan.
Tahun 2020 ini anggaran pendidikan mencapai 508,8 Triliun, angka ini meningkat 2,7 % dari tahun sebelumnya yang sebesar 492,5 triliun (databoks.katadata.co.id).
Seluruh penggiat pendidikan sangat berharap APBN mampu mengurangi bahkan sampai meniadakan jumlah anak-anak Indonesia yang putus sekolah akibat masalah ekonomi mereka.
Kemendikbud sendiri mengeluarkan data di tahun 2019-2020 ini masih banyak anak-anak Indonesia yang putus sekolah.
Kemendikbud merilis di tahun 2020 ini sekitar 159.075 anak dari berbagai jenjang harus meninggalkan bangku sekolah. Siswa SD berjumlah 59.443 anak, SMP berjumlah 38.464 anak, SMA berjumlah 26.864 anak, SMK berjumlah 32.395 anak, dan PLB berjumlah 1.909 anak. Data itu tentu akan bisa bertambah lagi.
Masalah kesenjangan ekonomi ini adalah bukan hal baru untuk bangsa kita, kesenjangan ekonomi memicu kesenjangan dalam berbagai sektor termasuk pendidikan. Tentu semua pihak berharap ada perbaikan dalam mutu pendidikan kita yang dimulai dari perbaikan mutu sumber daya manusianya.
Ketika Nadiem Makarim diangkat menjadi menteri pendidikan, presiden RI Joko Widodo berharap beliau bisa mentransformasi pendidikan di Indonesia menyusul suksesnya beliau menciptakan perusahaan milik sendiri yang kemudian dikenal dengan nama GO-JEK atau pesan ojek secara online.
Namun permasalahan tidak sesederhana itu karena kalau melihat data tingkat anak putus sekolah yang tinggi. Kesenjangan ekonomi mempengaruhi kesenjangan pendidikan dan banyak orang tua yang masih berharap sekolah murah untuk anak mereka.
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu bentuknya adalah dengan mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesuai dengan amanat undang-undang.
Untuk tahun 2019, anggaran fungsi pendidikan dialokasikan sebesar Rp 429,5 triliun yang tersebar di 19 kementerian/lembaga. Terbesar ada di transfer daerah yakni Rp 308,38 triliun atau 62,62% dari total alokasi (Detik News.com).
Meskipun nilainya besar, tetapi pemanfaatannya dinilai belum optimal karena tingginya anak-anak yang putus sekolah. Survei Sosial Ekonomi Nasional 2018, dalam profil Anak Indonesia 2019 ; Diolah Litbang Kompas/RFC,DDY menyimpulkan Alasan anak usia 7-17 Tahun tidak melanjutkan pendidikan, Tidak ada biaya: 36,52 % Laki-laki, 35,33 % dan Perempuan; Bekerja/ Mencari nafkah: 16,18% Laki-laki dan 13,34% perempuan.
Hal ini membuktikan alasan terkuat mengapa anak-anak putus sekolah adalah faktor ekonomi.
Harapan Yang Selalu Ada Untuk APBN
Anggaran yang dikeluarkan negara untuk sektor pendidikan sudah sangat baik, walaupun pengalokasiannya di sektor pendidikan belum optimal.
Saya berharap ada evaluasi dalam pengalokasian dana-dana pendidikan. Agar anak-anak yang tak mampu bisa mengenyam pendidikan yang sama. Saya juga berharap APBN dapat memutus kesenjangan pendidikan di negeri ini.
Di dalam konstitusi, kita semua sepakat bahwa melalui pendidikanlah kemajuan sebuah negara di mulai. Dari pendidikan yang baik akan lahir calon pemimpin yang baik, tidak KKN, mempunyai semangat juang untuk membela bangsa dan negaranya.
Amanat Pengalokasian APBN sendiri di sektor pendidikan ini sudah termaktub di UUD 1945 pasal 31 ayat 4, yang diperkokoh dengan UU Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 49 ayat 1 yang intinya 20% dari APBN dialokasikan untuk sektor pendidikan, Jika mengacu pada Tim Riset CNBC Indonesia mengacu pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), angka IPM Indonesia naik berkesinambungan dari 66,53 (2010) ke 71,39 (2018). IPM mengukur keberhasilan pembangunan kualitas hidup manusia untuk mengakses pendidikan.
Bersamaan dengan itu, Harapan Lama Sekolah (HLS) naik 1,7% per tahun yang mengindikasikan makin banyak WNI yang bersekolah.
Pada 2018, HLS mencapai 12,91 tahun. Artinya, anak-anak usia 7 tahun berpeluang menamatkan pendidikan mereka hingga lulus SMA atau D1 kedepan. Sementara itu, rata-rata lama sekolah warga dewasa (25 tahun ke atas) tumbuh 1,14% per tahun.
Pada 2018, secara rata-rata penduduk Indonesia usia dewasa tersebut mencapai 8,17 tahun, atau telah menyelesaikan pendidikan hingga kelas IX (pendidikan dasar), itu yang dikatakan oleh BPS(CNBCindonesia.com).
Tentunya data BPS itu membuat kita semakin optimis terhadap peran APBN dalam penyaluran anggarannya pada sektor pendidikan, walaupun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara terbuka menyayangkan program pendidikan yang belum mencapai sasaran meski APBN telah mengalokasi anggarannya 20% ke sektor ini.
Beliau mengutip laporan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Co-operation and Development/OECD) tentang Program for International Student Assessment (PISA).
Di sana, negara kita berada di level 62 dari 70 negara, alias peringkat ke-9 dari bawah.
Kebijakan pemerintah terkait 20% APBN untuk dialokasikan disektor pendidikan sangatlah tepat, World Economic Forum (WEF) telah merilis laporan tahunan “The Organization for Economic Cooperation and Development” (OECD) (25/10/2018) terkait bidang pendidikan dari 36 negara anggota.
Di antara tolak ukur dalam penilaian tersebut adalah eksplorasi berapa banyak uang yang dihabiskan untuk pendidikan oleh masing-masing negara ini.
Negara kita berada diatas Chili yang mengeluarkan anggaran pendidikan 16% dan Selandia baru 19% dan hanya kalah dengan kostarika yang mengeluarkan anggaran pendidikan 30% (OECD).
Melihat anggaran yang dikeluarkan menandakan pemerintah sangat peduli dan serius terkait masa depan bangsa dan negara.
Pemerintah melihat bonus demografi adalah potensi besar untuk Indonesia menjadi negara maju, karena ukuran negara maju dilihat dari kualitas sumber daya manusia-nya dan kualitas itu lahir dari sektor pendidikan.
Walaupun pemanfaatannya di nilai belum optimal tetapi perbaikan demi perbaikan akan tercipta bersamaan dengan perbaikan mutu pendidikan kita.