Kami menyadari bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu tulang punggung ekonomi Indonesia. Oleh karena itu Kami selalu mendukung segala bentuk penguatan BUMN, selama masih dalam prinsip dan kaidah-kaidah Ekonomi Pancasila. Akan tetapi tak semua BUMN dikelola dengan prinsip dan kaidah tersebut. Inilah yang Kami kritik keras. Setidaknya terdapat empat persoalan yang harus disoroti:
Pertama, Utang. Di atas kertas, selama periode pertama pemerintahan Jokowi, BUMN memang mencatatkan peningkatan laba bersih setiap tahunnya: Rp 154 triliun (2014); Rp 149 triliun (2015); Rp 174 triliun (2016); Rp 186 triliun (2017); dan Rp 188 triliun (2018). Akan tetapi dibalik angka-angka tersebut, utang BUMN juga meningkat setiap tahunnya: Rp 3.448 triliun (2014); Rp 3.769 triliun (2015); Rp 4.216 triliun (2016); Rp 4.825 triliun (2017); Rp 5.613 triliun (2018). Timpangnya rasio laba dengan utang ini tentu bertentangan dengan prinsip “Berdiri Di Atas Kaki Sendiri (Berdikari)” dalam Ekonomi Pancasila.
Kedua, “Merekayasa” Laporan Keuangan. Selama ini BUMN lebih dinilai indikator “keuntungan”-nya. Sudah menjadi rahasia umum juga, oknum-oknum di BUMN seringkali “memoles” laporan keuangannya agar terlihat “untung” di depan publik. Persoalan ini seperti “Gunung Es”, publik hanya mengetahui beberapa BUMN yang diduga “Memoles” laporan keuangannya, bisa jadi lebih banyak BUMN yang melakukannya. Ditinjau dari aspek peraturan perundang-undangan, kebijakan ini marak terjadi karena BUMN didirikan dengan tujuan salah satunya untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Padahal dalam prinsip dan kaidah Ekonomi Pancasila, dimana keuntungan bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk tujuan lebih besar: Kesejahteraan Rakyat.
Ketiga, Investasi “Bodong”. Tuntutan mencari keuntungan sebesar-besarnya seringkali membuat BUMN terjerat investasi bodong. Kasus Jiwasraya dan Asabri (2019) hanya satu dari sekian banyak yg muncul ke publik.
Keempat, Praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di BUMN. Ditengah kondisi di atas, sangat disayangkan ketika BUMN malah menjadi sarang bagi oknum-oknum pejabat, pengusaha dan politisi korup. Kami mencatat BUMN seringkali terjerat kasus korupsi, mulai dari suap proyek (Krakatau Steel pada 2019 atau PLN pada 2019) dan rekayasa proyek (Waskita Karya pada 2018), pengadaan (PT Berdikari pada 2016), penyelundupan barang impor (Garuda Indonesia pada 2017 dan 2019), pencucian uang (Jiwasraya dan Asabri pada 2019), sampai dengan praktik “mafia” yang melakukan impor komoditas/produk demi keuntungan segelintir orang dan/atau kelompoknya (PT Garam pada 2017). Praktik-praktik KKN ini semakin menegaskan bahwa BUMN belum berorientasi sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Kelima, “Memoles” Reputasi. Alih-alih berusaha sekuat tenaga membenahi persoalan yang esensial, BUMN lebih suka “memoles” reputasinya dengan membayar konsultan-konsultan publik relation dan media massa ketika skandalnya terkuak ke ruang publik. Tak heran, perhatian publik terpecah dalam melihat persoalan BUMN. Hari ini kita bisa terfokus pada TVRI, Jiwasraya dan Asabri serta kemarin Garuda Indonesia. Padahal beberapa bulan yang lalu, BUMN lain terbuka bobroknya -bahkan lebih parah. Secara sederhana, praktik-praktik “mengecoh” persepsi publik semacam ini hanya lazim di negara liberalisme kapitalisme, bukan di negara Pancasila seperti di Indonesia!
Dari keempat persoalan di atas, dapat disimpulkan bahwa bobroknya pengelolaan BUMN di era pemerintahan Jokowi lebih kepada aspek filosofis-ideologis, lupa dengan Ekonomi Pancasila, lupa dengan Pasal 33 Konstitusi. Serta aspek teknis, terutama profesionalisme dan transparansi dalam pengelolaan BUMN.
Menyambut 100 Hari Jokowi-Ma’ruf Amin, DPP GMNI menyatakan sikap dalam bobroknya pengelolaan BUMN ini:
1. Menuntut agar pengelolaan BUMN kembali pada prinsip dan kaidah-kaidah yang tertuang dalam Ekonomi Pancasila dan Pasal 33 Konstitusi UUD 1945. Dalam praktiknya, seharusnya BUMN tak lagi berorientasi ke luar (investor asing), tapi berubah ke dalam dengan memberdayakan BUMD, BUMDes, Koperasi dan UKM.
2. Menuntut agar BUMN tak lagi menambah utangnya. Selama BUMN masih menjadi “sapi perah” bagi oknum-oknum di lingkaran penguasa, berikut oligarknya, menambah utang BUMN hanya akan menjadi masalah di kemudian hari.
3. Menuntut agar pengelolaan BUMN lebih profesional untuk merakyat. Profesional merakyat berarti BUMN dikelola secara profesional untuk tujuan mencapai kesejahteraan rakyat, bukan untuk mencari keuntungan saja.
4. Menuntut agar pengelolaan BUMN lebih transparan. Ungkap segala bobrok di dalam BUMN, hapus segala rekayasa dalam laporannya, berantas segala praktik KKN dalam birokrasinya! Transparansi hanya bisa dicapai melalui sinergi, dengan kata lain BUMN bukan hanya diawasi Dewan Pengawas atau Komisarisnya, bukan hanya diawasi KPK atau OJK, namun oleh masyarakat sipil.
5. Menuntut agar BUMN lebih terfokus menyelesaikan persoalan esensial ketika skandal atau bobroknya terbuka. Bukan menghambur – hamburkan uang rakyat dan utang untuk kepentingan menjaga reputasi semata. Dan segera mengganti kerugian masyarakat akibat persoalan tersebut.
6. Menghimbau agar pemerintah dan DPR segera membuat aturan hukum untuk mencegah kesalahan investasi yang terindikasi disengaja. Misalnya yang mengatur bahwa BUMN harus kembali ke “core business” dan spesialisasinya masing-masing.
Imanuel Cahyadi
Ketua Umum (085320230521)
Sujahri Somar
Sekretaris Jendral (082238557789)