Oleh: Agung Firmansyah
Seandainya film ini bukan origin story tentang Joker, orang dengan pembawaan dan pengalaman seperti Arthur Fleck mungkin akan bisa menjadi apapun kecuali Joker. Ia bisa menjadi politikus, pengusaha, gelandangan, atau malah mati muda. Dendam dan kekecewaan yang ia tanggung terhadap sistem dan masyarakat, terutama terhadap orang-orang yang semula dikaguminya, dapat mendorong Arthur menjadi apa saja untuk memenuhi perasaan itu, baik dalam pengertian positif maupun negatif.
Apa yang membuat Arthur menjadi Joker tak lain adalah momentum, ekosistem dan tokoh pengiring yang dikonstruk sesuai dengan semesta Joker berada. Di sana ada Gotham, keluarga Wayne, Arkham, yang adalah nama-nama ikonik di semesta Joker, sebagai villain bebuyutan Batman.
Film origin selalu tentang transformasi tokoh utama dari bukan siapa-siapa menjadi figur yang dimaksud sebagaimana adanya. Sejak awal penonton mafhum bahwa tokoh utama itu akan menjadi Joker. Bukan yang lain. Tuntutan yang dibebankan kepada Todd Phillips sebagai penulis cerita sekaligus sutradara adalah memberikan alasan yang masuk akal kenapa dan bagaimana Arthur Fleck menjadi Joker. Todd perlu menghadirkan plot yang membumi, relevan dengan kehidupan sesungguhnya. Dan ia memenuhi tuntutan itu dengan sangat baik, bahkan dengan twist yang bakal membuat penonton tercengang.
Tidak dipungkiri, Joker versi Todd Phillips sangat gelap dan murung. Sisi-sisi kemanusiaan pada diri badut pembunuh ini diekspos dengan cara yang apik. Sebelum terlalu jauh, perlu disadari bahwa film origin tak ubahnya biopic -kecuali bahwa film origin Joker berdasarkan tokoh rekaan, sebagai film yang menyuguhkan asal-mula suatu tokoh, film origin tidak bermaksud untuk meminta pemakluman kepada penonton atas sisi buruk yang timbul pada diri tokoh. Premis dan motif yang melatarbelakangi penciptaan karakter itu tak lain adalah sebuah pemaparan proses.
Oleh sebab itu, kesan keren hanya pantas disematkan kepada Joaquin Phoenix selaku pemerannya, bukan kepada tokoh Joker. Sekularisasi ini penting agar pentonton tidak mewajarkan tindakan kriminal sebagai pembalasan atas perlakuan jahat orang atau masyarakat. Atau yang paling ringan, terobsesi dengan kutipan tokoh villain ini sehingga berpeluang mencederai moralitas.
Kekhawatiran di atas mungkin dianggap berlebihan bagi sebagian orang. Namun kenyataannya, film ini diprotes oleh keluarga korban peristiwa nahas mass shooting Aurora Theatre, Colorado pada 2012 lalu. Penembakan massal ketika pemutaran screening film The Dark Night Rises itu menimbulkan trauma bagi keluarga korban. Atas reaksi itu, LAPD sampai memperketat penjagaan saat screening Joker dan melarang pengunjung berkostum seperti Joker, untuk menghindari copycat penembakan massal 7 tahun silam.
Tokoh dan kisah rekaan terbukti paralel dengan kehidupan nyata. Keduanya saling mempengaruhi. Contoh yang populer ialah topeng Guy Fawkes. Vigilante bertopeng pada film “V for Vendetta” itu menjadi inspirasi di dunia nyata hingga saat ini untuk gerakan-gerakan bawah tanah dan pembebasan. Sementara topeng tersebut pada film terinspirasi dari tokoh nyata di Inggris bernama Guy Fawkes.