Oleh : Asep Saepuddin (Komisioner KPAD Kabupaten Bogor)
Miris, begitulah yang saya rasakan saat membaca berita di Visinews.Net tentang peristiwa tawuran yang bermula dari budaya permainan perang sarung yang dilakukan kelompok anak remaja di salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor ini.
Baca juga https://visinews.net/budaya-perang-sarung-beralih-menjadi-tawuran-antar-kampung/
Sebenarnya, budaya perang sarung ini sudah cukup lama ada di nusantara dan termasuk kategori permainan tradisional yang sudah turun temurun.
Permainan ini pun ternyata tersebar di berbagai daerah di Indonesia dengan nama dan istilah yang berbeda-beda. Namun alat pokoknya sama, Sarung.
Permainan “Sarung War” atau yang biasa disebut dengan “Perang Sarung“, merupakan permainan tradisional dengan menggunakan sarung. Sarung tersebut menjadi senjata utama untuk menyerang lawan.
Mulanya, sarung dibentuk seperti menyerupai pecut kuda. Sarung tersebut digulung, kemudian di bagian ujungnya diikat, hingga membentuk gumpalan untuk memukul lawan.
Bagian ikatan sarung yang membentuk gumpalan inilah yang akan diarahkan kepada lawan, karena bagian ini sangat menyakitkan jika mengenai badan. Tak heran jika permainan ini terkadang berakhir dengan perkelahian.
Permainan ini hadir di tengah-tengah masyarakat kita sudah cukup lama. Walau di beberapa wilayah lainnya sudah mulai pudar dan terlupakan.
Permainan ini terbilang asik dan menarik bagi kalangan anak-anak remaja. Apalagi di Bulan Ramadhan seperti saat ini.
Mungkin di tiap daerah akan berbeda-beda waktu pelaksanaannya. Ada yang dilakukan sore hari selepas ashar hingga jelang berbuka puasa, ada yang dilakukan selepas tarawih dan bahkan ada pula yang dilakukan dini hari menjelang makan sahur. Atau mungkin bisa jadi di luar waktu tersebut.
Di Kalimantan Barat misalnya, seperti yang diberitakan situs https://kumparan.com, hi!pontianak, permainan tersebut dinamakan “Sembat“. Permainan ini dilakukan untuk sekadar mengisi waktu luang bagi anak-anak. Namun tidak jarang yang berujung tawuran dan menyulut api dendam di antara para pelakunya.
Yang namanya permainan, pastinya ada menang-kalah. Tak jarang, membuat nilai-nilai budayanya bergeser jauh. Di sinilah terjadi pergeseran nilai dan degradasi budaya. Yang semula permainan tersebut bertujuan sekadar hiburan pengisi waktu luang yang sarat akan makna kebersamaan dan keakraban, kini berubah anarkis dan perkelahian yang tidak jarang sampai memakan korban.
Hal tersebut dikarenakan sarung alat yang digunakan bukan lagi sarung kosong semata, tetapi sudah diisi dengan benda-benda berbahaya. Seperti batu dan benda lainnya yang apabila terkena kepala, bisa mengakibatkan luka parah.
Saya berharap agar hal ini menjadi perhatian kita bersama. Tidak saja hanya mengandalkan aparat berwajib, melainkan semua pihak terutama orang tua agar tidak lalai dalam memerhatikan anak-anaknya.
Diusia remaja inilah, anak-anak rentan terbawa arus pergaulan bebas. Sehingga peran orang tua sangatlah penting. Jangan sampai moment Ramadhan ini ternoda oleh ulah-ulah negatif yang akan menghancurkan masa depan anak.