Marhaban yaa Ramadhan, marhaban yaa syahrush Shiam. Alhamdulillah kita kaum muslimin dipertemukan kembali oleh Allah dengan Bulan Suci Ramadhan, bulan yang penuh keutamaan dan kemuliaan. Bulan Ramadhan sering disebut dengan bulan berkah, di mana kaum muslimin berlomba-lomba berburu keberkahan dengan berbagai motif dan cara tersendiri sesuai dengan pemahamannya masing-masing. Maka sangat penting bagi kaum muslimin untuk menyatukan persepsi, bagaimana memahami cara mengambil berkah dan keutamaan Bulan Ramadhan ini. Karena beribadah tanpa ilmu akan keliru, beramal tanpa dasar akan sasar.
Mungkin sebagian dari kita kaum muslimin, memahami ngalap berkah dari Bulan Ramadhan ini dengan cara bagaimana mendapatkan bingkisan dari sejumlah pihak sebanyak-banyaknya, sehingga ke sana ke mari meminta agar mendapat bingkisan Ramadhan. Ada juga yang memanfaatkan momentum Ramadhan dengan meminta sumbangan dengan penampilan lusuh dan memprihatinkan agar mendapat belas kasihan banyak orang, baik dengan cara keliling komplek perumahan, di tempat-tempat keramaian, di lampu merah peresimpangan jalan maupun di kendaraan umum dengan berbagai modus, yang tidak jarang didapati dari mereka sesungguhnya mereka orang yang sehat secara fisik dan berkemampuan untuk bekerja dan beusaha secara layak, tetapi lebih memilih cara yang instan dan hasil yang menjanjikan. Bahkan di banyak kasus, diketahui di antara mereka sesungguhnya berkecukupan, tetapi menjadikan meminta-minta itu sebagai profesi. Bisa kita saksikan di keramaian di saat-saat ramadhan seperti ini apalagi jelang lebahan nanti, kehadiran mereka bertambah banyak. Tentu ini harus menjadi perhatian kita semua, mulai dari aparat berwenang dan kita sebagai masyarakat untuk mengedukasi dan memberikan pemahan serta memberikan solusi terbaik atas fenomena ini.
Adanya lembaga-lembaga resmi yang berwenang dalam menerima, mengelola dan menyalurkan zakat, infak dan sedekah menjadi salah satu solusi dalam berbagi agar tepat sasaran. Tentu dibutuhkan sosialisasi yang masif agar keberadaan lembaga-lembaga tersebut dapat dijangkau seluruh masyarakat, apalagi di era digital saat ini. Berbagi melalui aplikasi menjadi cara yang paling praktis.
Keberkahan Ramadhan juga difahami sebagai momentum untuk peluang usaha, terutama usaha kuliner, jajanan menu berbuka, pernak pernik dan asesoris Ramadhan dan Idul Fitri, kue dan bingkisan lebaran bahkan yang tak kalah ramai juga berbagai usaha jualan busana lebaran. Karena momentum idul fitri identik juga dengan suasana serba baru, seperti penataan cat rumah dengan suasana dan warna baru, pakaian baru dan hal-hal baru lainnya sebagai wujud kegembiraan datangnya hari nan fitri.
Namun sangat disayangkan, kebanyakan dari kita hanya fokus kepada hal-hal yang sifatnya duniawi saja seperti yang penulis sampaikan di atas. Bahkan, Ramadhannya belum mulai, sebagian kita sudah memikirkan, untuk lebaran nanti mau membuat kue apa ya?, pakai baju model apa?, bahkan mau liburan ke mana, ya?
Dan berbagai rencana-rencana yang sifatnya dunia belaka. Tidak sepenuhnya salah memang, hanya pembagian forsinya saja yang perlu diseimbangkan agar forsi akhirat tidak kalah oleh forsi dunia. Jadi bukan memikirkan yang sifatnya kebutuhan fisik dan dunia saja, melainkan juga kebutuhan ukhrowi yang sifatnya rohani juga harus terpenuhi, yaitu bagaimana agar puasa Ramadhan itu dapat dijalani secara khusuk dan penuh makna, bagaimana agar ibadah kita menjadi ibadah yang maqbul, yang diterima sebagai amal saleh di sisi Allah. Bagaimana kita berfikir dan merencanakan agar Ramadhan ini menjadikan kita sebagai pribadi yang saleh secara individu juga saleh secara sosial dengan semakin gemar berbagi, berinfak dan besedekah kepada sesama dengan berbagai kebaikan yang dijalani secara kontinue dan konsisten. Kita lupa akan makna Ramadhan yang sesungguhnya, bahkan tidak memahami sama sekali melainkan hanya rutinitas seremonial ibadah ritual belaka. Tidak memahami tujuan diperintahkannya ibadah puasa Ramadhan, tidak tahu hal-hal apa saja yang harus dihindari saat berpuasa dan bahkan tidak tau juga ibadah-ibadah yang menyertainya sebagai rangkaian yang mengikat menjadi satu kesatuan yang padu dan sempurna jika kesemuanya tertunaikan dengan penuh keimanan.
Jangan sampai momentum Ramadhan ini berlalu tanpa raihan pahala di sisi Allah melainkan hanya sedikit saja, bahkan bisa jadi tidak dapat pahala sama sekali kecuali hanya berlelah-lelah untuk urusan dunia saja. Ramadan ini jangan membuat kita menjadi manusia spons. Ungkapan “manusia spon” dalam konteks momentum Ramadan bisa diartikan sebagai seseorang yang hanya menerima tanpa memberi, atau lebih tepatnya, orang yang hanya mengambil energi atau manfaat dari situasi tanpa memberikan kontribusi apa pun. Spon (atau spons) sendiri menggambarkan sesuatu yang menyerap, tapi tidak memberikan kembali.
Dalam konteks Ramadan, ini bisa berarti seseorang yang hanya mendapatkan pahala sekedarnya saja dari ibadah tanpa berusaha meningkatkan kualitas diri, berbagi dengan orang lain, atau menjalani Ramadan dengan cara yang lebih bermakna, misalnya dengan memperbaiki amalan agar sesuai tuntunan syariat atau membantu sesama dengan segala daya dan upaya yang kita mampu semaksimal mungkin, bukan sekedarnya saja.
Jadi, “jangan jadi manusia spon” mengajak kita untuk tidak hanya menyerap manfaat duniawi saja dari Ramadan ini, tetapi juga bagaimana untuk dapat berkontribusi lebih, baik dalam bentuk ibadah, perbuatan baik atau memberi kepada orang yang membutuhkan secara luas dan berkesinambungan sepanjang masa. Jadi bukan hanya sebatas saat momentum Bulan Ramadhan saja. Tetapi kebaikan-kebaikan yang dijalankan selama Ramadhan terus berlanjut dan semakin meningkat dan istuqomah menjadi kebiasaan baik sepanjang waktu sampai akhir hayat. Inilah hakikat takwa dari tujuan diperintahkannya puasa Ramadhan, yaitu agar dapat menggapai derajat takwa setinggi-tingginya dan Allah tidak mengharapkan dari akhir kehidupan hambanya melainkan akhir hayat yang baik. Sebagai manya yang Allah firmankan; ” Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan muslim”. (Q.S. Ali Imran; 102).
Dengan demikian, untuk menggapai derajat takwa tersebut, maka dibutuhkan bekal ilmu, sehingga kita dapat menjalani serangkaian ibadah tersebut dengan penuh keikhlasan, kesabaran, kesungguhan, kekhusukan dan konsistensi tinggi. Dengan bekal ilmu, kita dapat memedomani syarat dan rukunnya, mengetahui benar atau salahnya, memahami cara mengamalkannya, apa saja yang membatalkan atau menggugurkan pahalanya, perbuatan apa yang dapat merusaknya dan hikmah apa yang diperoleh dari serangkaian ibadah tersebut. Kemudian hal yang paling penting dari itu semua adalah bahwa serangkaian ibadah yang kita lakukan semata-mata atas dasar keimanan kita kepada Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah Muhammad SAW. Kita beribadah seakan-akan bahwa kita akan mati esok hari, sehingga tumbuh keseriusan, kekhusukan dan tidak ingin terlewatkan sedikitpun dari waktu kita kecuali kita isi dengan aktivitas ibadah terbaik karena kita beribadah yang disaksikan oleh Allah Robbul’alaamiin.
Oleh: Asep Saepudin (Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Bogor)