(oleh:Ade Nur Cahya)
Pada tahun 2016, Oxford Dictionary telah melantik post-truth sebagai “the word of 2016“.
Frase itu diartikan sebagai keadaan di mana fakta-fakta objektif terpisah dari kesadaran tiap pribadi; fakta telah kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik; emosi dan keyakinan pribadi lebih mengedepan dibandingkan fakta-fakta objektif ( nuun.id ).
Post Truth atau pascakebenaran sudah membiasa dalam keseharian kita. Politik pascakebenaran dengan difasilitasi majunya perkembangan digital, mewarnai beranda kita khususnya di tahun-tahun politik ini.
Buzzer-buzzer bertebaran, perkembangan digital tanpa didukung oleh budaya baca yang kuat melahirkan netizen-netizen yang menelan mentah-mentah isi berita dengan fikiran subjektif ke arah dukungan politiknya. Dilanjutkan dengan menyebarkan isi berita itu tanpa mau melihat kebenaran objektif.
Penulis akan menganalogikannya kedalam sebuah kejadian fiksi.
Hanny tidak suka dengan Bella, karena Bella pacaran dengan mantan Hanny. Rasa tidak suka Hanny terhadap Bella, membuat Hanny berpandangan Subjektif terhadap Bella. Ia hanya melihat kesalahan-kesalahan Bella.
lalu ada laporan dari Femmy ( Teman dekat Hanny ) kepada Hanny kalau Bella Hamil. Karena pandangan subjektif Hanny, ia pun langsung percaya terhadap apa yang dikatakan oleh Femmy. Hal itu juga diperkuat dengan Hanny yang sering melihat Bella makan rujak di sekolah dan badan Bella yang semakin gemuk.
keyakinan Hanny bahwa Bella Hamil semakin kuat. padahal Fakta objektif Bella sedang hamil belum ada.
Seorang kawan saya bernama Alam mencoba mengilustrasikan gejala post truth menggunakan Film Jepang “The Snow White Murder Case”.
The SnowWhite Murders Case(2014) membahas cara kerja jejaring sosial (Twitter) membentuk opini khalayak jagad maya itu. Film dimulai dengan adegan perempuan tak bernyawa yang tubuhnya ditikam secara asal-asalan sebanyak 10 kali lalu dibakar, di lembah Shigure.
Perempuan nestapa itu bernama Noriko Miki. Karena keterbatasan tertentu, polisi kebingungan mencari pelakunya dan media massa hanya bisa mengabarkan kebingungan itu.
Saat meyaksikan berita tentang pembunuhan itu, seorang awak televisi Yuji Akahoshi, menerima telepon dari teman SMA-nya, Risako Karino. Risako ternyata rekan kerja si korban.
Ia yakin betul telah mengetahui siapa pelakunya dan meminta Yuji untuk melakukan investigasi. Yuji yang sebenarnya bukan siapa-siapa dikeredaksian kantornya merasa perlu untuk menerusi permintaan itu. Ini sekaligus menjadi panggung pembuktian atas kemampuannya dalam menghasilkan sebuah karya jurnalistik.
Ia menyampaikan tekad demi tekad pembuktian itu di dalam cuitannya di Twitter, yang dengan segera ditanggapi banyak pengikutnya. Mereka semua penasaran karena seorang Yuji, yang biasanya mencuit seputar tempat makan yang enak di Jepang, kini berbicara tentang upaya menelusuri kasus pembunuhan yang sedang ramai di media.
Dalam keterangan Risako, Yuji mendapatkan informasi bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh rekan kerjanya yang lain, Miki Shirono.
Menurut Risako, alasan pembunuhan Noriko oleh Miki adalah kecemburuan. Keduanya memperebutkan perhatian atasan tampan mereka yang bernama Satosi Shinoyama. Sementara Satosi lebih memilih untuk mendekat kepada Noriko, yang dijuluki The Snow White atau (meminjam terjemahan bebas atas istilah ini yang sudah akrab di Indonesia) “Si Putri Salju”.
Sebagai informasi tambahan, nama Snow White dalam film ini adalah nama merek dagang sabun kecantikan yang diproduksi oleh perusahaan tempat Noriko, Risako, Miki, dan Satosi bekerja.
Sambil bercakap-cakap dengan Risako, Yuji mengambil gambar video sebagai bekal penelusuran investigasi-nya.
Dari percakapan itu, Yuji terus melakukan penelusuran dan perekaman ke dua orang di kantor tersebut, yakni Michan (rekan kerja Miki yang lain) dan si atasan tampan, Satosi.
Beberapa teman kuliah Miki, juga memberikan keterangan tentang kehidupan masa lalu Miki; hingga orang tua dan teman kecil Miki di kampung halamannya.
Hasil laporan tersebut ditayangkan dalam dua episode laporan investigasi di saluran televisi tempat Yuji bekerja. Atasannya senang ketika rating acara itu melonjak. Apalagi Yuji melakukan penyuntingan sedemikian rupa atas video yang diperolehnya sehingga menghadirkan kesan tegang dan membuat penasaran.
Misalnya, wajah semua narasumber yang disamarkan, sorotan dan pengulangan atas beberapa kalimat narasumber yang menyudutkan Miki, dan kemunculan teks dalam video yang memancing opini penonton untuk membenarkan kecurigaan tersebut.
Dalam acara tersebut juga dihadirkan beberapa pakar untuk mengomentari motif-motif pembunuhan. Di ujung film terkuaklah bahwa pelaku sebenarnya atas pembunuhan Si Puteri Salju adalah Risako Karino. Hal itu berdasarkan alasan yang sama yang dituduhkannya kepada Miki dan beberapa alasan lain.
Film ditutup dengan kilas balik pembunuhan sebenarnya oleh Risako terhadap Noriko serta penggambaran Miki yang merasa lega karena terlepas dari tuduhan yang membuatnya hampir bunuh diri itu. Setelah selama dua minggu lebih keasyikan menyumpahi Miki, warganet dengan sangat segera beralih ke sosok lain untuk disumpah serapahi, yakni si apes bernama Yuji.
Diera perkembangan teknologi digital sekarang ini, Post truth sangat cepat berkembang layaknya virus yang datang menghampiri manusia melalui media sosial dan sejenisnya.
Saya menyamakan virus ini seperti covid-19 yang akan menular kepada seseorang yang imun-nya lemah. Imun dalam post-truth adalah akal. Gejala post-truth tidak hanya mengenai orang-orang awam, bahkan seorang profesor pun masih terkena gejala ini.
Akibat sikap subjektifitas kita tanpa mau mencari dan mendalami fakta-fakta obyektif. Virus ini menjangkit siapa saja disetiap kalangan. Ada baiknya kita merenungi surat Al-Hujurat ayat 6
“Hai Orang-orang yang beriman, Jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu“. (Q.S Al-Hujurat : 6).