Dalam era di mana keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial menjadi perhatian utama, munculnya fenomena perguruan tinggi yang mengajukan izin usaha tambang memunculkan perdebatan yang mendalam. Sebagai institusi yang seharusnya menjadi pilar ilmu pengetahuan, penjaga moral, dan penggerak perubahan sosial, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar daripada sekadar mencari keuntungan ekonomi. Namun, ketika lembaga pendidikan tinggi mulai mengalihkan perhatian dan sumber daya mereka ke sektor tambang, muncul berbagai pertanyaan mendasar. Apakah langkah ini sesuai dengan misi perguruan tinggi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Apakah keterlibatan dalam usaha tambang yang sering menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik sosial sejalan dengan nilai-nilai keberlanjutan dan kemanusiaan yang mereka perjuangkan?
Tambang, sebagai salah satu sektor yang paling kontroversial, kerap dikaitkan dengan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran, pencemaran lingkungan, dan dampak negatif terhadap masyarakat adat serta komunitas lokal khususnya di Kalimantan Selatan. Jika perguruan tinggi turut terlibat dalam industri ini, ada risiko besar bahwa mereka tidak hanya mencederai kredibilitasnya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga kehilangan perannya sebagai pelopor inovasi dan advokasi terhadap keberlanjutan.
Kalimantan Selatan, salah satu provinsi yang kaya akan sumber daya alam di Indonesia, telah lama dikenal sebagai pusat kegiatan pertambangan, terutama batu bara. Dengan luas wilayah yang dihiasi oleh pegunungan, sungai, dan hutan tropis, Kalimantan Selatan memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Namun, eksploitasi sumber daya tambang yang masif selama puluhan tahun telah mengubah wajah provinsi ini secara drastis. Kekayaan alam yang seharusnya menjadi anugerah berubah menjadi bencana lingkungan, sosial, dan ekonomi yang mengancam kehidupan masyarakat setempat dan ekosistem yang ada.
Seperti diketahui, Rancangan Undang-Undang (RUU) atas Perubahan Ketiga Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk mendapat izin mengelola tambang mineral logam. Tentu dengan hal ini mengaminkan bahwa perguruan tinggi juga ikut terlibat dalam kerusakan lingkungan. Berdasarkan data Walhi Kalsel, deforestasi di provinsi ini mencapai sekitar 16.067 hektar pada 2023, dan angka ini terus meningkat akibat alih fungsi lahan untuk tambang.
Kita perlu bertanya, di mana posisi perguruan tinggi dalam menjaga keseimbangan antara kemajuan ilmu pengetahuan dan kelestarian alam? Apakah mereka akan tetap menjadi penjaga moral dan agen perubahan sosial, atau justru larut dalam arus kepentingan ekonomi yang mengesampingkan etik.
Keterlibatan dalam usaha tambang dapat mencederai kredibilitas akademik perguruan tinggi. Konflik kepentingan antara tujuan bisnis dan misi pendidikan dapat mengganggu independensi penelitian dan menciptakan bias dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi pelopor perubahan untuk masa depan justru berisiko terseret dalam arus ekonomi jangka pendek yang mengesampingkan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Tambang juga membawa dampak buruk yang luas, seperti pencemaran air dan udara, deforestasi, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Jika perguruan tinggi terlibat, mereka tidak hanya berkontribusi pada kerusakan ini, tetapi juga mengirimkan pesan yang salah kepada mahasiswa bahwa keuntungan ekonomi lebih penting daripada keberlanjutan dan keadilan sosial. Generasi muda, yang dididik untuk menjadi pemimpin masa depan, membutuhkan teladan yang menjunjung tinggi prinsip keberlanjutan, bukan eksploitasi.
Penolakan terhadap izin tambang bagi perguruan tinggi adalah langkah yang diperlukan untuk menjaga integritas lembaga pendidikan dan melindungi lingkungan serta masyarakat. Perguruan tinggi harus fokus pada tugas utamanya: menciptakan generasi yang cerdas, kritis, dan beretika, serta mengembangkan teknologi yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Dengan menolak keterlibatan dalam tambang, perguruan tinggi dapat tetap menjadi mercusuar moral dan ilmiah yang mendukung masa depan yang lebih baik bagi semua. Sebuah langkah maju tidak selalu tentang menggali lebih dalam, tetapi tentang berdiri teguh pada prinsip untuk melindungi apa yang benar-benar penting bagi kehidupan manusia dan planet ini.
Penulis: Pinky Manarul Alam (Anggota LS Vinus Kalimantan Selatan)