Politik uang atau money politics adalah hal yang dianggap menjadi budaya oleh masyarakat Indonesia, bahkan berdasarkan data LSI, menyebut misalnya politik uang yang terjadi pada Pileg 2014 mencapai 30% dan pada tahun 2019 naik menjadi 33,1%. Muhtadi dalam riset (BRIN, 2021) jika angka 33,1% adalah akumulasi dari total DPT sebanyak 192 juta orang, maka ada sekitar 63,5 juta orang yang terkena paparan politik uang. Jadi apakah ini sudah menjadi budaya atau penyakit yang mengotori demokrasi? Apa yang perlu dibenahi dari maraknya politik uang yang masih sering terjadi di Indonesia, bahkan dari range besar sampai terkecil seperti lingkup pemilihan Kepala Desa tak luput dari money politics. Budaya sendiri adalah hal yang lahir dimasyarakat kemudian tumbuh dan dipelihara, diakui dan menjadi ciri dari suatu etnis, kelompok, suku atau bahkan bangsa, lantas apakah kita setuju jika money politics dikatakan sebagai budaya bangsa? Tentu saja tidak. Tutur Arif Nur Alam pada Rabu, 29 Maret 2023 dalam live streaming diakun Youtube Bawaslu RI dan Zoom meeting dengan seluruh jajaran Penyelenggara Pemilu Bawaslu dari tingkat Provinsi Jawa Barat, Bawaslu Kabupaten, Panwaslu Kecamatan sampai Pengawas Kelurahan/Desa.
Money Politcs ditujukan untuk banyak hal, salah satunya untuk vote buying atau membeli suara, bahkan secara extreme bisa menghilangkan hak pilih peserta pemilu. Tanpa sadar ancaman dari politik uang seakan membangun demokrasi, padahal suara partisipatif kita sebagai WNI yang memiliki hak pilih akan terpasung, menyandera negara dengan pemimpin yang kita tidak ketahui secara pasti kredibilitasnya. Praktik politik uang yang disertai dengan logika transaksional marak klientelisme dan makin tingginya para broker. Namun hal ini dapat dicegah dengan pengawasan partisipatif yang dilakukan secara aktif oleh penyelenggara pemilu. Pengawasan partisipatif dapat dilakukan contohnya dengan membangun diskusi forum warga, pemberdayaan komunitas, sosialisasi kominitas digital jarimu awasi, pembentukan desa anti politik uang, kampung pengawasan, dan dari sisi akademisi dan perguruan tinggi dapat membuat KKN Tematik salah satunya mengenai ancaman dan strategi pencegahan money politics di masyarakat.
Jika Masyarakat sudah realistis dan mendapatkan literasi informasi yang cukup, maka Bawaslu mengharapakan upaya pencegahan bukan hanya dilakukan oleh penyelenggara pemilu, melainkan semua elemen dan kompenen masyarakat yang ikut mendorong kesembuhan demokrasi di Indonesia, karena kita tidak akan bisa terbebas dari money politics jika logika berpikir kita tetap menjadikannya sebagai bagian dari budaya. Intensitas upaya pencegahan kepada parpol melalui lisan dan tulisan, tatap muka atau pertemuan terbatas terkait potensi yang bisa dilanggar, sanksi dan larangan peserta pemilu, serta keterbukaan informasi yang digalakkan penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu, agar publik bisa muncul dan merespon serta mengawal proses demokrasi, adalah upaya dan strategi baru yang dapat diterapkan oleh penyelenggara pemilu dan peserta pemilu, tutur Zaki Hilmi selaku Koordinator Pengawasan dan Hubungan Internal Bawaslu Provinsi Jawa Barat.
Harapan dari koordinasi dengan seluruh pengawas pemilu hingga tingkat desa kemarin, Bawaslu Provinsi Jawa Barat ingin menumbuhkan semangat pengawasan yang partisipatif dan inovatif di masyarakat, kegiatan yang implementatif dan dapat memperkuat regulasi pemilu serentak 2024 nantinya, dengan kompetensi yang lebih dinamis, peran pengawasan harus lebih diperkuat.
Biodata Penulis
Nama: Devi Ulviah
Aktivitas: Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Panwaslu Kecamatan Tirtamulya, Freelancer penulis
Minat: Digital campaign, Communication social responsility, Sejarah