BOGOR, VISINEWS.Net – “… Islam adalah agama yang saat ini sedang mengalami krisis di seluruh dunia. Kami tidak hanya melihatnya di negara kami, ini adalah dalam hal yang mendalam yang terkait dengan antara interaksi antara bentuk-bentuk fundamentalisme, khususnya proyek- proyek keagamaan dan politik yang, seperti yang kami lihat di setiap wilayah di dunia, mengarah pada pengerasan yang sangat kuat, termasuk di negara-negara dimana Islam menjadi agama yang hebat. “
Pidato diatas merupakan cuplikan singkat dari pidato panjang immanuel macron yang berujung kecaman dari berbagai negara. Salah satunya Turki.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada Sabtu (24/10/2020) mengecam Presiden Perancis Emmanuel Macron, atas kebijakannya terhadap Muslim dan menyatakan bahwa dia perlu ‘periksa mental’.
“Apa yang bisa dikatakan tentang seorang kepala negara yang memperlakukan jutaan anggota dari kelompok agama yang berbeda ini. Pertama-tama, lakukan seperti pemeriksaan mental,” kata Erdogan dalam pidato yang ditampilkan televisi seperti yang dilansir dari AFP pada Sabtu (24/10/2020) )).
Berikut, Visinews merangkum Awal Mula polemik pernyataan berujung pemboikotan ini, juga lensa pandang beberapa tokoh terhadap pidato kontroversial tersebut.
Awal Mula
Gejolak pernyataan pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, karena menghina Islam menimbulkan kecaman dari sejumlah pihak.
Polemik itu dimulai sejak awal Oktober. Saat itu Macron menyampaikan pernyataan tentang ancaman kelompok radikal Muslim yang ingin mengubah nilai-nilai liberalisme dan sekulerisme di Prancis.
“Ada kelompok radikal Islam, sebuah organisasi yang mempunyai organisasi untuk membentuk hukum Republik dan menciptakan masyarakat secara paralel untuk membangun nilai-nilai yang lain,” kata Macron saat itu.
Tidak lama setelah pernyataan tertulis itu, sebuah tragedi terjadi pada 16 Oktober. Seorang guru sejarah di Prancis, Samuel Paty (47), dipenggal di daerah Eragny oleh seorang pemuda pendatang dari Chechnya, Abdoullakh Abouyezidovitch (18).
Pemicunya adalah dia sempat membahas tentang kartun Nabi Muhammad SAW, di dalam kelas yang kemudian menuai kontroversi. Di awal, dia kelas sudah sejumlah besar Muslim untuk keluar jika pelajar tidak sepakat dengan materi yang dia bahas.
Setelah kejadian itu, Macron langsung mendatangi lokasi. Dia bertindak sebagai pelaku adalah seorang Muslim radikal. Dia menyebut Paty sebagai martir karena mengajarkan kebebasan berpendapat. Dia juga lulus sekumpulan organisasi yang mewakili organisasi Muslim, dan menutup sejumlah masjid yang diduga paham radikal.
Tak lama usai kasus pembantaian Samuel Paty, tepatnya pada 29 Oktober 2020, terjadi penusukan tiga warga Perancis di gereja basilika Notre-Dame di Nice, Perancis.
D kutipan dari AP News, serangan itu diduga dilakukan oleh Brahim Aioussaoi (21), pemuda asal Tunisia. Inisation Tragedi merupakan reaksi atas penunjukan kartun Nabi Muhammad SAW.
Tiga korban yang terbunuh karena penyerangan tersebut adalah perempuan tua (60) yang nyaris terpenggal kepalanya, staf laki-laki penjaga kebersihan gereja (55), dan seorang perempuan setengah baya (44) yang sempat dilarikan diri ke kafe dekat basilika sebelum meninggal dunia.
Berselang dua hari kemudian, pada 31 Oktober 2020, serang kembali terjadi di Perancis, dikutip dari BBC. Kali ini serangan terhadap seorang pendeta Ortodoks Yunani. Ia terluka parah di dalam penembakan di kota Lyon, Perancis.
Pernyataan Pemicu Polemik
Macron memantik. Setelah pernyataan pernyataan pada Jumat (23/10), pekan lalu. Dia mengatakan
“Islam adalah agama yang mengalami krisis di seluruh dunia”.
“Sekulerisme adalah pengikat persatuan Prancis. Jangan biarkan kita masuk ke dalam perangkap yang dipersiapkan oleh kelompok ekstremis, yang bertujuan melakukan stigmatisasi terhadap seluruh Muslim,” ujar Macron.
Macron bahkan berencana mengajukan rancangan undang-undang yang akan mewajibkan seluruh sekolah, baik negeri maupun swasta, menerapkan konsep sekuler. Sebab menurut dia, jika pemerintah gagal membina muda-mudi Muslim dalam kerangka masyarakat sekuler, maka kelompok radikal akan mengambil alih peran itu.
Respon Indonesia
Presiden Jokowi, Indonesia mengecam Presiden Perancis Emmanuel Macron. Dia menyampaikan hal itu, sekaligus mengecam kekerasan yang terjadi di Kota Nice di Paris.
“Indonesia juga pernyataan keras Presiden Perancis yang menghina agama Islam yang telah melukai perasaan umat Islam di seluruh dunia,” kata Jokowi mengecam persnya yang dilihat langsung melalui akun Youtube Sekretariat Presiden, Sabtu (31/10/2020).
Pernyataan Marcon, kata Jokowi, bisa mengurus pemecahan masalah antar umat beragama di dunia. Dan menurutnya, umat ini umat kebutuhan persatuan untuk menghadapi pandemi COVID-19.
Beragam tanggapan di Indonesia
Terkait hal ini, Sekretaris Umum Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), Nasyirul Falah Amru sepakat apa yang dilakukan Presiden Jokowi. Bahkan, dia meminta maaf kepada Macron meminta maaf kepada umat Muslim.
Pernyataan dan sikap Presiden Macron itu telah membuat hati umat Islam sedunia sakit. Kami Kedekatan Pemerintah Prancis untuk meminta maaf kepada umat Islam, “kata pria karib disapa Gus Falah ini lewat siaran persnya, Minggu (1/10/2020).
Jika Presiden Macron tidak mau meminta maaf, Bamusi menyerukan agar pemerintahan Jokowi, bisa menghentikan hubungan diplomatik sementara dengan Prancis.
Mahmud Syaltout mengatakan sebagai ‘orang tengah’, Macron sama sekali tidak anti Islam. Apa yang dia sampaikan dalam pidato 2 Oktober 2020 justru dalam rangka belanja dan melindungi kaum muslim dari pihak-pihak yang tidak dan berperilaku radikal dengan mengatasnamakan Islam.
“Wacana untuk membuat UU yang mengubah radikalisme itu sendiri datang dari sejumlah pengurus masjid dan imam saat bertemu Macron pada 25 September,” kata Mahmud, doktor bidang Hukum, Manajemen, dan Hubungan Internasional lulusan Universitas Sorbonne, Prancis dikutip dari detik.com, Minggu ( 11/1/2020).
Tabloid terkait Charlie Hebdo, Mahmud Syaltout yang pernah 6 tahun tinggal di Paris menyebut target sindiran tak cuma Islam, tapi agama-agama lain dan para tokoh publik.
Masyarakat kebanyakan di sana sudah terlalu mempedulikan berbagai pemberitaan Charlie Hebdo karena kerap sensasi dan provokasi.
“Karena itu ketika media pertama kali memuat kembali karikatur Nabi, sebetulnya tak ada reaksi dari publik. Reaksi baru muncul sekitar tiga pekan kemudian karena ada yang ‘menggoreng’nya,” kata dosen Politik Prancis di Universitas Indonesia itu.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu) pernyataan mengecam pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Prancis, Emmanuel Macron, yang menyudutkan agama Islam dan menerbitkan ulang karikatur Nabi Muhammad SAW, oleh majalah satir Charlie Hebdo.
Kemenlu turut memanggil Duta Besar Prancis di Jakarta, Olivier Chambard, untuk menyampaikan kecaman itu.
Kementerian Luar Negeri memanggil Duta Besar Prancis di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Kementerian Luar Negeri menyampaikan kecaman pada pernyataan yang disampaikan Presiden Prancis, “kata Juru Bicara Kemenlu RI, Teuku Faizasyah, dikutip dari CNNIndonesia.com, Selasa (27/10/2020).
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Muhyiddin Junaidi mengatakan bahwa sebagai Presiden, Emmanuel Macron harus belajar banyak dalam ucapan pernyataan.
“Pertama, Macron tidak paham ajaran islam secara menyeluruh. Ibarat seperti orang yang disuruh melihat gajah, ia tidak akan tahu. Kedua, jangan sampai kebebasan berpendapat akan membawa harta karun. Terakhir, ia harus banyak belajar. Sebagai apapun yang ia ucapkan. Berpengaruh besar. “. Ucapnya saat di hubungi oleh Visinews.net pada Selasa, (03/11/2020).
Unjuk rasa
Aksi unjuk rasa atas pernyataan Macron yang terus dilakukan oleh Mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Salah satunya Mahasiswa STIKOM EL-Rahma Bogor yang Mengadakan Aksi Unjuk Rasa sebagai bentuk ketidakterimaan atas pernyataan Macron.
“Kami Mengecam Keras Pernyataan Presiden Prancis Itu Asrama Mengecam Pernyataan Priseden Macron Itu Kami Juga Menyarankan Agar Memboikot Produk-Produk Dari Prancis.” Ucap salah satu mahasiswa, Rifqy kepada Visinews.Net (02/11/2020).
Boikot Produk Perancis
Negara-negara Islam mengutuk pernyataan Macron dan kalikatur Nabi Muhammad SAW tersebut. Negara Islam menyerukan pemboikotan barang-barang Perancis.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyerukan kepada rakyatnya untuk memboikot produk-produk Prancis yang terkait dengan apa yang disebutnya sikap bermusuhan terhadap Muslim yang ditunjukkan oleh pemimpin Prancis.
“Sekarang saya menyerukan kepada bangsa kita, orang-orang yang telah terjadi di Prancis untuk tidak membeli-merek Turki, maka saya menyerukan kepada bangsa saya di sini dan mulai sekarang: jangan laporan barang-barang berlabel Prancis, jangan beli barang-barang itu, tegas Erdogan dalam pidato di televisi pada Senin (26/10/2020).
Di Indonesia, yang ditunjukkan oleh segelintir orang dengan cara membeli produk yang menurutnya asal lalu dirusak dan dibuang.
Dilansir dari detik.com, Sebuah minimarket di Jakarta menarik produk buatan Francis dari daftar jual. Hal itu dilakukan sebagai buntut kekecewaan atas pernyataan Presiden Prancis.
Ketua MUI Kecamatan Cibungbulang mengatakan pemboikotan tersebut merupakan hak pribadi masyarakat.
“Boikot itu hak pribadi. Kalau betul-betul presiden Prancis tidak mengindahkan, dan menolak minta maaf, maka umat Islam punya hak bersifat final adalah dengan memboikot produk Prancis sebagai bentuk kekecewaan atas pernyataan yang melukai hati umat muslim.” Ucapnya saat dihubungi Visinews. Net, Kamis (05/11/2020).
Serangkaian Teror
Selain ujaran kebencian dan boikot, Presiden Perancis Emmanuel Macron mengatakan pada Kamis (5/11/2020) bahwa tanggapan tanggapannya setelah mengalami serangan beberapa pekan terakhir.
Macron secara khusus mengacu pada serangan ekstremis Islam di Gereja Notre-Dame, kota Nice, Perancis yang menewaskan 3 orang pekan lalu. Serangan itu adalah yang ketiga sejak Charlie Hebdo menerbitkan ulang karikatur Nabi Muhammad, Nabi Besar Umat Islam pada September lalu.
Kontrol yang lebih ketat diperlukan untuk mengekang imigrasi klandestin, kata Macron, dikutip dari Reuters, 6 November 2020. Menurut Macron geng kriminal yang secara ilegal memperdagangkan migran ke Eropa sering memakai jaringan teror.
“Saya mendukung perombakan dalam Schengen untuk menilai kembali organisasinya dan untuk perbatasan perbatasan bersama kami dengan pasukan perbatasan yang tepat,” kata Macron dalam kunjungan ke perbatasan Prancis-Spanyol.
Klarifikasi Emmanuel Macron
Presiden Prancis Emmanuel Macron merilis surat klarifikasi atas tudingan yang disebut anti-Islam. Ia negaranya anti-separatisme dan anti-terorisme, bukan anti agama tertentu.
Presiden Macron menyebut kelompok tertentu di Prancis yang menyebarluaskan ajaran radikal.
Mereka menyerang yang dikecam Macron sebagai separatis.
“Di beberapa distrik dan internet, ada kelompok-kelompok Islam yang ajaran ajaran ajaran kepada anak-anak untuk menghubungkan Republik, mengajak agar tidak menghormati undang-undang. Itulah yang saya panggil ‘separatisme’ dalam pidato saya,” tulis Presiden Macron di situs kepresidenan Elysee, Kamis (5/11/2020).
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan negaranya sedang memperbaiki ‘separatisme Islam, bukan Islam’.
Hal itu lamaran Macron untuk sebuah artikel di Inggris. Macron mengklaim Financial Times salah mengutip pernyataannya dan sejak itu, artikel tersebut telah menghapus situs surat kabar tersebut.
Pada Rabu, dalam sebuah surat yang ditujukan kepada editor surat kabar itu, Macron mengatakan surat kabar Inggris itu menuduhnya ‘menstigmatisasi’ Muslim Prancis untuk tujuan pemilihan dan menumbuhkan iklim ketakutan dan kecurigaan terhadap mereka.
“Saya tidak akan mendukung siapa pun untuk mengklaim bahwa Prancis atau pemerintahnya, mendorong rasisme terhadap Muslim,” ujar Macron seperti dikutip dari AFP, Kamis (04/11/2020).
Sebuah artikel opini yang ditulis oleh seorang koresponden Financial Times yang diterbitkan Selasa menuduh bahwa kecaman Macron atas ‘separatisme Islam’ berisiko mendorong lingkungan yang tidak bersahabat bagi Muslim Prancis.
Artikel itu kemudian dihapus dari situs web surat kabar itu dan diganti dengan pemberitahuan bahwa artikel itu ‘mengandung kesalahan faktual’.
Presiden Macron menjelaskan ada orang-orang yang bertindak sesuai dengan nilai-nilai Prancis. Contoh di beberapa daerah ada yang menyuruh anak-anak balita memakai voile integral (cadar atau niqab). Mereka juga anak laki-laki dan perempuan.
Otoritas daerah setempat mengupayakan dialog dengan kelompok tersebut, namun mereka risau terhadap ancaman serangan pisau.
Melawan hal yang menghancurkan, hari ini Prancis berjuangan. Melawan proyek-proyek kebencian dan kematian yang mengancam anak-anak kita. Tidak pernah melawan Islam, ”ujar Macron.
“Melawan tipu daya, melawan fanatisme, melawan ekstremis berbahaya. Bukan agama,” pungkasnya.
Presiden Prancis pernyataan negaranya menjadi target teroris karena isu kebebasan. Terkait hal itu, Macron drive tidak akan mundur untuk mempertahankan nilai-nilai yang dianut Prancis.
Macron pernyataan hak untuk kebebasan sudah tertera di Deklarasi HAM Prancis sejak 1789.
Presiden Macron PBB sudah lebih dari 300 rakyat Prancis menjadi korban serangan radikal sejak 2015. Korbannya mulai dari polisi, guru, jurnalis, hingga rakyat sipil. Ia menyebut pelakunya adalah teroris yang ‘membawa-bawa nama Islam’.
Namun, ia mengkritik pihak-pihak yang menyebut Prancis anti terhadap Muslim. Daerah Prancis adalah agama sekuler yang tidak ikut campur urusan agama individu.
“Saya tak akan mengklaim bahwa, atau pemerintahnya, sedang menyebar rasisme terhadap umat Muslim. Prancis, kami diserang karena ini, merupakan sekuler bagi umat Muslim seperti juga untuk umat Kristen, umat Yahudi, umat Buddha, dan semua kepercayaan.
“Netralitas negara, yang tak pernah mengintervensi urusan agama, menjamin kebebasan ibadah. Pasukan penegak hukum kita sama-sama melindungi masjid, gereja, dan sinagoge, ”ujar Presiden Macron.
Dalam suratnya, Macron turut mengapresiasi pengetahuan dari dunia Muslim, seperti dalam bidang matematika, sains, dan arsitektur.
Macron turut mengkritik pihak-pihak yang datang memelintir omongannya. Ia lantas mengutip ucapan Ibnu Sina tentang kebencian.
“Ditulis oleh Ibnu Sina: ketidaktahuan ketakutan, ketakutan yang menyebabkan kebencian, dan kebencian menyebabkan kekerasan.”
Oleh sebab itu, Macron meminta agar tak ada lagi orang yang tidak paham dan malah menimbulkan kebencian pada pemimpin Prancis, karena hal demikian sudah jelas mengarah ke mana.
Macron menutup suratnya dengan meminta agar semua pihak berpikir jernih dan bijaksana.
(Sumber: Dari berbagai sumber)