Setelah sekian banyak capaian-capaian dari perjuangan perempuan di seluruh dunia, perjuangan pembebasan perempuan masih harus dilanjutkan. Bagaimana mungkin bisa perjuangan perempuan berhenti, setelah kenyataan yang menghampiri masyarakat kita, bahwa pekerja perempuan masih menjadi tenaga yang terhisap dan tertindas, meskipun penghisapan itu berlangsung juga bagi pekerja bukan perempuan. Terlebih penghisapan tersebut dilakukan oleh pemilik modal berwatak kapitalistik yang mengalienasi manusia satu dengan manusia lainnya.
Parahnya lagi, kini, secara terang-terangan pemerintah menjadi kawan baik pemilik modal (kapitalisme), melalui upaya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, yang sebelumnya bernama RUU Cipta Lapangan Kerja. Proses pembuatan RUU tersebutpun memantik perlawanan pekerja dan serikat pekerja, sebab dinilai tidak memiliki keberpihakan kepada kelas pekerja, melainkan semata-mata berpihak pada pemilik modal yang berwatak keji, yaitu mendapat untung sebesar-besarnya dengan penghisapan agar mencapai keuntungan sebanyak mungkin. Pemerintah begitu takut jika pemilik modal hengkang dari tanah air, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya pemilik modal tidak bisa mendapatkan keuntungan jika tidak memiliki alat produksi, yaitu manusia.
Tanpa menimbang nasib pekerja, pemerintah dan pemilik modal terus mengupayakan kemudahan investasi, serta mengenyampingkan dampaknya. Dampak-dampak dari watak serakah yang terwujud dalam RUU Cipta Kerja dan RUU lainnya yang terangkum dalam Omnibus Law, adalah pemiskinan manusia secara terstruktur, kesejahteraan menurun, daya beli rendah, hingga kerusakan lingkungan. Pemerintah dan pemilik modal seakan menampik hal tersebut.
Omnibus Law selanjutnya diperparah dengan upaya pengesahan RUU Ketahanan Keluarga. RUU tersebut adalah RUU yang menghambat dan bahkan menarik mundur perjuangan perempuan, bahwa tugas-tugas domestik tak berbayar wajib hukumnya menjadi tanggung jawab perempuan. Hari ini ketika perempuan bekerja saja, dan memiliki akses atas produksi, masih mengalami diskriminasi dan tidak terpenuhinya ruang publik yang setara bagi perempuan. Bahkan, kekerasan terhadap perempuan yang berakar pada ekonomi yang tidak setara masih terjadi pada perempuan, kali ini malah hendak diperparah dengan adanya RUU Ketahanan Keluarga. Apakah pemerintah di satu sisi hendak menampik dampak kapitalisme, namun di satu sisi menyadari bahwa tidak mampu menjamin kesejahteraan bagi warga negara sehingga memasrahkan urusan kesejahteraan warga menjadi tanggung jawab pribadi keluarga, dan terkhusus perempuan?
Bukannya bergegas mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Pekerja Rumah Tangga, sebagaimana telah didesak dalam berbagai aksi massa, pemerintah malah memilih mementingkan kepentingan pemilik modal. Soal perempuan, pekerja, dan kesejahteraan diabaikan. Pemerintah seperti menutup mata dari berbagai catatan pelecehan dan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan. Atau bahkan, memilih diam dan bungkam pada budaya masyarakat kita yang juga masih diskriminatif terhadap kelompok-kelompok tertentu, dan terkhusus kelompok minoritas.
Pemerintah juga tidak memiliki ketegasan sikap atas keberpihakannya pada perjuangan rakyat di berbagai wilayah. Isu lingkungan, perampasan lahan, penggusuran, seakan tidak menjadi soal penting bagi pemerintah. Padahal mereka mendapat mandat atas nama rakyat, yang daripadanya terdapat rakyat-rakyat yang dengan sengaja dimanfaatkan suaranya ketika pemilihan umum, namun dicampakkan ketika menagih janji-janji atas kesejahteraan rakyat.
Atas kenyataan yang terjadi di masyarakat kita tersebut, maka bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Sedunia atau yang dikenal dengan International Women’s Day (IWD) Kota Solo tahun 2020, tedapat pernyataan sikap berupa tuntutan sebagai berikut:
- Menolak Omnibus Law dan RUU Ketahanan Keluarga, yang melanggengkan budaya patriarki dalam ranah privat hingga publik, dan menarik mundur perjuangan perempuan semakin jauh ke belakang.
- Mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Pekerja Rumah Tangga, yang sangat dibutuhkan bagi jaminan perlindungan korban kekerasan dan pekerja rumah tangga yang masih belum memiliki perlindungan secara jelas dan tegas.
- Mendukung dan bersolidaritas kepada seluruh korban kekerasan, serta mendesak negara menjamin keamanan bagi korban dalam setiap penyelesaian kasus kekerasan, serta memberikan efek jera bagi setiap pelaku kekerasan.
- Hentikan mempekerjakan buruh hamil pada jam malam, dan menjamin pemenuhan hak-hak perempuan atas cuti haid, cuti hamil, dan lain sebagainya.
- Menjamin ruang publik yang aman dan setara bagi perempuan.
- Mendukung penuh tercapainya perjuangan Gender Equality, sehingga terdapat kesetaraan dalam akses terhadap ekonomi, sosial, dan politik.
- Hentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
- Hentikan diskriminasi terhadap perempuan dan berbagai kelompok minoritas, termasuk dalam hal orientasi seksual.
- Mendesak pemerintah agar memberikan perhatian dan jaminan ruang publik yang berpihak kepada kelompok difabel.
- Mendukung penuh terhadap perjuangan seluruh perempuan di wilayah konflik di manapun berada.
- Menolak perusakan lingkungan yang dilakukan oleh pemilik modal yang bekerjasama dengan pemerintah, sehingga mengenyampingkan dampak kerusakan lingkungan bagi masyarakat. 12. Menuntut para pengambil keputusan di seluruh dunia untuk bertanggung jawab dan menyelesaikan kerusakan lingkungan, termasuk krisis iklim, yang terjadi saat ini.
- Hentikan perampasan tanah, wujudkan reforma agraria sejati.
Demikian pernyataan sikap dan tuntutan IWD Solo 2020.
8 Maret 2020, CFD Slamet Riyadi
Cp: 0858-7086-1316