Oleh:
Halin Syahwalia
(Siswa Multimedia SMK Muhammadiyah 1 Cileungsi)
Menurut Wikipedia, Perempuan adalah manusia berjenis kelamin betina. Berbeda dari wanita, istilah “perempuan” dapat merujuk kepada orang yang telah dewasa maupun yang masih anak-anak. Sedangkan, wanita adalah sebutan yang digunakan untuk manusia yang berjenis kelamin atau bergender perempuan. Merupakan sapaan yang biasa digunakan kepada para ibu yang sudah memiliki anak karena dianggap lebih sopan.
Para ilmuan seperti Plato, mengatakan bahwa perempuan ditinjau dari segi kekuatan fisik maupun spiritual, mental perempuan lebih lemah dari laki‑laki, tetapi perbedaan tersebut tidak menyebabkan adanya perbedaan dalam bakatnya. Sedangkan gambaran tentang perempuan menurut pandangan yang didasarkan pada kajian medis, psikologis, dan sosial, terbagi atas dua faktor, yaitu faktor fisik dan psikis.
Secara biologis dari segi fisik, perempuan dibedakan atas perempuan lebih kecil dari laki‑laki, suaranya lebih halus, perkembangan tubuh perempuan terjadi lebih dini, kekuatan perempuan tidak sekuat laki‑laki dan sebagainya. Perempuan mempunyai sikap pembawaan yang kalem, perasaan perempuan lebih cepat menangis dan bahkan pingsan apabila menghadapi persoalan berat.
Seorang tokoh feminis, Mansour Fakih mengatakan bahwa manusia baik laki‑laki maupun perempuan diciptakan memiliki ciri-ciri biologis (kodrati) tertentu. Ciri-ciri yang dimiliki pria adalah memiliki penis, jakun juga memproduksi sperma. Sedangkan, perempuan memiliki ciri biologis seperti rahim, saluran melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui (payudara).
Dalam konsep gendernya dikatakan, bahwa perbedaan suatu sifat yang melekat baik pada kaum laki‑laki maupun perempuan merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, kasih sayang, anggun, cantik, sopan, emosional atau keibuan, dan perlu perlindungan. Sementara laki‑laki dianggap kuat, keras, rasional, jantan, perkasa, galak, dan melindungi. Padahal sifat‑sifat yang dimaksudkan tadi adalah sifat yang dapat dengan mudah dipertukarkan. Berangkat dari asumsi inilah kemudian muncul berbagai ketimpangan diantara laki‑laki dan perempuan.
Konstruksi sosial yang membentuk pembedaan antara laki‑laki dan perempuan itu pada kenyataannya tanpa kita sadari dapat mengakibatkan ketidakadilan terhadap perempuan. Pembedaan peran, status, wilayah, dan sifat mengakibatkan. Perempuan tidak otonom. Perempuan tidak memiliki kebebasan untuk memilih dan membuat keputusan baik untuk pribadinya maupun lingkungan karena adanya pembedaan‑pembedaan tersebut.
“Senyum dikit dong, Neng!”
Kalimat di atas merupakan salah satu dari kalimat yang seringkali dilontarkan dan terdengar di masyarakat. Bukan tanpa alasan, melainkan image seorang perempuan yang telah mengakar dari nenek buyut kita, bahwa seorang perempuan haruslah murah senyum, senantiasa bersikap ramah, dan masih banyak lagi. Tanpa kita sadari kriteria yang dibentuk dari zaman dahulu ini, mengakibatkan standar tertentu untuk menjadi seorang perempuan. Tidak salah memang, tetapi ini menjadi patokan tersendiri bagi para perempuan. Tidak semua perempuan bisa ditempatkan pada kriteria yang sama. Karena, pada dasarnya setiap manusia diciptakan berbeda entah itu fisik, sifat, karakter, bahkan kebiasaan sekalipun. Begitupun dengan perempuan, setiap perempuan yang dilahirkan jelas memiliki sifat dan kepribadiannya masing-masing. Dengan standar yang dibentuk oleh masyarakat kita sendiri, mengakibatkan adanya batasan dalam setiap wanita untuk mengekspresikan dirinya. Tidak setiap perempuan nyaman untuk senantiasa tersenyum kepada orang lain, perempuan akan tersenyum jika ia ingin. Tidak setiap perempuan bisa bersikap anggun lemah gemulai layaknya seorang putri, mungkin tegas dan sedikit keras adalah pilihannya. Tidak setiap wanita harus bersikap ramah pada semua orang, bisa jadi ia selalu bersikap waspada akan orang disekitarnya. Selama ini perempuan dituntut untuk selalu bersikap layaknya seorang ‘putri kerajaan’ nyatanya tidak setiap perempuan mampu.
Menjadi seorang perempuan adalah karunia dari Allah Swt. Menjadi seorang ibu nantinya, juga merupakan karunia pemberian yang sangat indah dari Allah Swt. Dan generasi penerus yang akan melanjutkan bangsa ini kedepannya pun juga lahir dari rahim seorang perempuan. Menjadi sosok perempuan yang tumbuh besar dengan keadaan dan wejangan-wejangan dari para pendahulu yang mengatakan bahwa perempuan layaknya seperti ini, perempuan harusnya seperti itu, jangan melakukan ini, jangan melakukan itu dan masih banyak rangkaian wejangan yang lain. Bukan tanpa alasan, pasti semuanya diucapkan berdasarkan tujuan dan demi kebaikan si perempuan sendiri. Namun, jika terlalu membatasi ruang gerak perempuan bukan tidak mungkin dapat menimbulkan rasa tertekan bagi setiap wanita. Dengan semua itu, tanpa kita sadari membuat perempuan terlihat sebagai makhluk yang ‘serba salah’ juga ‘rumit.’ Alhasil memang seperti itulah yang sekarang terjadi di masyarakat sekitar, walaupun tidak semua tetapi tidak sedikit juga atau bahkan bisa dianggap mayoritas masyarakat yang beranggapan seperti itu tak terkecuali perempuan sekalipun.
Andai kata perempuan yang tumbuh besar dengan keadaan masyarakat yang seperti itu kelak menjadi seorang ibu dan anaknya seorang perempuan. Apakah ia akan melakukan hal yang sama ? Hal yang membuat ruang gerak anaknya terbatas yang dulu ia rasakan, yang lama-kelamaan timbul rasa tertekan. Tanpa kita sadari dengan keadaan seperti itu dapat membentuk jati diri tanpa si anak berusaha mencarinya. Jati diri seorang anak perempuan tanpa disadari dapat terbentuk dari lingkungannya. Walaupun si anak tidak berusaha mencarinya bahkan tidak ada waktu untuknya mencari jati diri karena ruang lingkupnya terbatas akan hal-hal yang sudah mengakar dari zaman dahulu. Begitu dengan perempuan, lantas bagaimana dengan laki-laki?
Rentan sekali terjadi di masyarakat rentetan kata yang terlontar dari mulut laki-laki jail, seperti “Cemberut aja Neng,” “Senyum dikit, lah” “Senyum dong, nanti cantiknya hilang.” beberapa kata seperti ini, mungkin menurut sebagian orang tidaklah dianggap serius dan tidak memiliki maksud tertentu. Namun, bukan berarti juga tidak berdampak pada si perempuan yang bersangkutan, stop mengatakan yang seperti ini lebay atau berlebihan. Setiap perempuan pasti punya perasaan tidak nyaman setiap kali ‘digoda’ oleh orang-orang jail yang tidak bertanggung jawab. Stop mengatakan kalau yang seperti ini bercanda, apakah perasaan dan dampak yang dirasakan oleh perempuan yang bersangkutan sebercanda itu?
Tidak semua perempuan di belahan bumi ini bisa mengatasi hal seperti ini. Mungkin sebagian bisa mengacuhkannya, namun bagaimana dengan sisanya? Pasti ada secuil rasa ketakutan atau trauma yang makin lama menumpuk dalam diri perempuan bahkan mungkin saja timbul rasa muak untuk bersosialisasi karena selalu diperlakukan seperti itu. Siapa yang bisa menjamin? Jelas bahwa setiap perempuan bahkan setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini memiliki sifat dan kepribadian yang berbeda. Beda kepala, beda juga keinginannya. Beda pikiran, beda juga pandangannya.
Nasihat-nasihat yang senantiasa mengalir dari zaman ke zaman ini tidaklah salah. Setiap perempuan hendaknya bersikap ramah, murah senyum, anggun dan masih banyak lagi. Tetapi, bukan berarti sikap seperti ini bisa diumbar di mana saja, dinikmati siapa saja bahkan para lelaki yan dimaksud tadi. Semua jelas ada tempat dan porsinya. Ada kalanya perempuan mengatakan ‘tidak sekarang’ ada kalanya perempuan menegaskan ‘tidak untuk kamu, dia dan mereka’ . Namun, jika hal seperti ini dibiarkan begitu saja tanpa adanya Batasan, bukan tidak mungkin perempuan tengah berdiri di ujung jurang yang ia kehendaki sendiri. Bukan tidak mungkin sikap yang dimaksudkan baik oleh perempuan tersebut malah dianggap sebagai ‘sinyal menguntungkan’ bagi si laki-laki yang ‘menggoda-’nya.
Bagaimana jika kejadiannya terus berlanjut sampai pada kejadian yang sangat merugikan pihak wanita? Siapa yang akan disalahkan? Oh tentu tidak sepenuhnya setiap kesalahan akan ditimpakan pada pihak laki-laki. “Toh perempuannya juga yang gatel” “Memang perempuannya juga yang memancing” “Bukan sekali dua kali, perempuannya seolah-olah ngasih sinyal toh.” Jelas yang seperti ini, juga tidak sekali dua kali terjadi dan kerap kali terngiang didalam masyarakat kita. Nyatanya, bukan perempuan yang rumit. Tetapi, pola pikir kebanyakan masyarakatlah yang membuatnya menjadi rumit.
Seperti salah satu kasus yang terjadi di New Zealand yaitu seorang Pria Malaysia yang menguntit seorang wanita asal New Zealand karena wanita tersebut tersenyum ramah kepada sang pria. Senyum disini hanya menggambarkan senyum kemanusiaan yang sewajarnya saja. Namun, kabarnya di Malaysia sendiri pria menganggap bahwa jika seorang perempuan tersenyum kepadanya itu dianggap bahwa perempuan tersebut memiliki ketertarikan lebih dan ingin kenal lebih dalam kepada laki-laki tersebut. Sesuai dengan penjelasan berikut.
“In Malaysian custom, if a woman smiles at a man it is deemed that they are happy to know that person,” Rizalman said.
Burston then asked Rizalman if a woman’s smile was an invitation to follow them home.
At this, he replied: “It is an invitation to follow. It wouldn’t necessarily mean you go into their house.”
Pola pikir bahwa perempuan hendaklah murah senyum pada siapa saja, bersikap ramah tanpa pandang bulu yang mengakar dari zaman ke zaman ini, tanpa sadar membuat ruang gerak lingkup perempuan menjadi sempit. Perempuan tidak seharusnya melakukan ini dan melakukan itu yang dapat menimbulkan gosip di kalangan masyarakat sekitar. Oke, katakanlah bahwa tidak peduli. Tak acuh pada pandangan dan omongan masyarakat tentang perempuan walaupun sebenarnya yang perempuan itu sendiri lakukan adalah sesuatu hal yang positif. Tetapi, bagaimana dengan keluarga yang bersangkutan? Teman dan juga orang terdekat? tentu bersikap egois bukanlah solusi yang tepat. Bersikap tak acuh seolah tidak peduli juga bukan sebuah jalan keluar dari setiap permasalahan.
Bagaimana jika keadaannya di balik, seorang laki-laki hendaklah bersikap jantan, maskulin, tegap, patut disegani dan lain-lain. Lantas, bagaimana dengan laki-laki yang berprofesi sebagai koki? Jelas memasak adalah urusan dapur. Dapur identik dengan wanita. Pernah terdengar kalimat seperti “Wanita itu urusannya Dapur, Sumur, Kasur.” Lalu, bagaimana dengan laki-laki yang berprofesi sebagai resepsionis sebuah hotel? Bahkan anak berusia 7 tahun pun tahu bahwa hendaknya, seorang pegawai receptionis hendaklah senantiasa tersenyum ramah kepada setiap tamunya. Dan, yaitu bagian dari Hospitality. Bagaimana dengan perancang gaun? Perawat? Sekretaris? Sampai saat ini pun, hanya sedikit yang mempermasalahkannya atau bahkan mungkin saja tidak ada sama sekali yang mempermasalahkan itu. Persoalan seperti ini biasa dianggap sebagai persoalan sepele. Namun, jelas dampak yang ditimbulkan tidak bisa dianggap sepele.
Lantas bagaimana? Tindakan tepat yang perlu dilakukan adalah mulai dari diri kita sendiri. Apakah kita termasuk orang yang berpikiran bahwa perempuan itu rumit? Beranggapan bahwa Perempuan memang ada standar tertentu dalam masyarakat atau termasuk kepada opsi kedua yaitu, perempuan tidaklah rumit melainkan pola pikir kita sendirilah yang membuat perempuan termasuk kedalam golongan rumit.
Bersikap murah senyum dan ramah bukan suatu hal yang salah apalagi membuat dosa. Jelas tidak! Tetapi sebagai perempuan tentu harus tahu waktu dan tempatnya. Perempuan akan tersenyum jika ia ingin. Tersenyumnya seorang perempuan bukan dorongan dari siapapun atau atas dasar tertentu. Perempuan akan bersikap ramah jika memang itulah saatnya. Sebagai perempuan haruslah cerdas menempatkan dirinya. Berdiri sendiri. Berdiri bukan karena tuntutan seseorang apalagi standar tertentu, menjadi versi terbaik dari diri sendiri lebih penting.
Begitupun dengan masyarakat. Mulailah berpikiran terbuka terhadap hal seperti ini. Berpikir lebih maju dan sadar bahwa zaman dahulu jelas berbeda jauh dengan zaman sekarang dan zaman yang akan datang. Bersikap yang tidak perlu dapat dengan mudah memicu terjadinya kejahatan. Dan, menanggapi atau menyimpulkan sesuatu secara berlebihan apalagi hanya berdasarkan satu sudut pandang saja, jelas bukan pilihan yeng tepat.
Sangat disayangkan pola pikir seperti ini masih ada bahkan dilanjtkan oleh masyarakat kita sekarang, tanpa berpikir panjang bahwa ‘tuntutan -tuntutan’ yang tanpa kita sadari dapat membuat ruang gerak perempuan terbatas dan sebagai perempuan, kita menjadi mengalami keterbatasan dalam mengekspresikan diri. Di zaman yang semakin maju ini, bukan hanya perkembangan teknologi tetapi pola pikir kita juga harus mulai berubah sedikit demi sedikit labih maju untuk meneyeimbangi zaman yang semakin modern ini.
Terlepas dari bagaimana harusnya perempuan bersikap, isu lainnya yang sangat menganggu di era modern ini adalah tak lain soal profesi yang digeluti perempuan. Banyak pro kontra mengenai hal tersebut. Bagaimana pendapat anda tentang montir perempuan? Sesuai dengan yang diberitakan seorang perempuan bernama Nor Sakira Awee (20 tahun) asal Kampung Batangan, Marang, Malaysia. Biasa dipanggil Sakira, perempuan berusia 20 tahun ini bahkan sampai mengikuti kursus universal centre education traning employment (UNECETE) di Chendering, Malaysia. Bukankah hal tersebut aneh? Di saat banyak kesempatan yang terbuka bagi perempuan untuk menjadi guru, perawat, pegawai negri sipil dan masih banyak lagi.
Sakira sendiri menyatakn bahwa dirinya menjadi bahan omongan warga karena pilihannya yang mengambil profesi montir. “Walaupun terpaksa berlumuran dengan oli hitam dan mendapat sindiran dari orang, saya tetap senang dengan pekerjaan itu,” katanya. Disaat dunia otomotif lebih digemari oleh kaum laki-laki, Sakira hadir sebagai salah satu perempuan dari sekian banyaknya perempuan di dunia ini yang berani menekuni minat bakatnya terlepas dari pandangan kebanyakan masyarakat yang mengharuskan perempuan layaknya seperti apa.
Begitu yang terjadi pada perempuan, salah satu contoh yang dapat kita ambil dari kisah Sakira perempuan 20 tahun asal Malaysia. Sakira membuktikan bahwa menjadi perempuan bukan berarti hanya bisa mengurusi soal kasur, dapur, dan sumur juga menjadi seorang perempuan harus selalu bersikap anggun, dan bersikap lemah lembut layaknya seorang putri. Selama tidak menyalahi kodrat manusia dan menyangkut hal positif tidak ada salahnya kita menekuninya dengan sungguh hati terlepas dari siapa kita, dan gender dari masing-masing diri kita.
Sampai saat ini isu mengenai perempuan sangatlah sensitif di tengah masyarakat kita, banyak pro dan kontra mengenai bagaimana selayaknya seorang perempuan bersikap. Lantas, bagaimana jika keadaannya dibalik. Sebagai seorang laki-laki haruslah bersikap maskulin dan jantan juga berekepribadian layak seorang laki-laki yang patut disegani. Lalu, bagaimana dengan laki-laki yang berprofesi sebagai tukang masak di restaurant atau bahkan koki terkenal. Apakah ‘maskulin’ laki-laki tersebut hilang? Nyatanya berprofesi sebagai apapun bukan tolak ukur kemaskulinan seorang laki-laki. Begitupun dengan perempuan, seorang perempuan yang bekerja sebagai montir bahkan pengemudi ojek online sekalipun setelah dirumah ia akan menjadi perempuan pada mestinya. Melakukan tugas yang memang sudah kewajibannya. Tentu ia tidak akan melupakan kalau sejatinya ia adalah seorang perempuan.
Di era modern sekarang ini, profesi bukanlah sesuatu hal yang harus dipermasalahkan. Bidang yang biasannya digeluti oleh laki-laki bisa juga ditekuni perempuan. Begitupun sebaliknya, bidang yang biasanya dikuasai oleh perempuan, kini bisa ditekuni oleh laki-laki. Profesi seseorang tidak menentukan maskulin atau seberapa feminim nya seseorang. Sebagai masyarakat yang hidup di era global nan modern seperti sekarang bukan hanya teknologi yang semakin canggih, bukan hanya fasilitas yang semakin memadai dan memudah kan namun, untuk mengimbangi itu semua diperlukan juga pola pikir yang maju.
Stereotip masyarakat tentang perempuan terlanjur mengalir dan dibiarkan begitu saja sampai saat ini. Contohnya stereotip bahwa setiap perempuan haruslah berpakaian sopan, rapi saat berada di ruang publik agar tidak menggoda nafsu birahi seorang laki-laki. Seperti yang kita tahu, cara seseorang untuk mengekspresikan diri adalah salah satunya melalui pakaian yang ia kenakan. Perempuan bisa saja bebas mengenakan apa yang ia ingin kenakan sebagai salah satu bentuk mengekspresikan diri. Terlepas dari agama apapun, pasti setiap agama mengajarkan hal yang baik salah satunya adalah berperilaku sopan. Dibandingkan repot mengurusi apa yang harus dikenakan Perempuan, kenapa masyarakat tidak fokus saja kepada laki-laki yang harus menjaga pandangannya.
Dan bagaimana dengan perempuan muslim? Saya yakin betul bahwasanya setiap perempuan muslim tahu betul apa yang harus dikenakan salah satunya adalah perintah menggunakan hijab dan pakaian tertutup. Sebagai perempuan baik seorang muslim, kristiani ataupun agama yang lainnya mengenakan pakaian yang sopan bukanlah hal yang harus dikoar-koarkan masyarakat. Perempuan sadar betul apa yang dia kenakan saat itu. Dan, tidak mungkin seseorang baik itu perempuan maupun laki-laki menempatkan dirinya sendiri ke dalam bahaya.
Koalisi masyarakat sipil melakukan survei nasional dengan tajuk kekerasan seksual di ruang publik. Mereka yang ambil bagian dalam survei ini antara lain, Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta, dan change.org Indonesia. Hasil survei yang didapat, di antaranya adalah pakaian terbuka bukan penyebab utama pelecehan seksual di ruang terbuka. Mayoritas perempuan yang menjadi korban menggunakan pakaian tertutup saat kejadian. Hasil survei koalisi masyarakat sipil ini juga membantah anggapan bahwa pelecehan seksual yang terjadi di ruang terbuka disebabkan oleh perempuan yang mengenakan pakaian terbuka.
Survei koalisi masyarakat sipil sendiri dilakukan kepada 62.224 responden dari berbagai latar belakang. Rastra, Peneliti Lentera Sintas Indonesia, memberikan penjelasan. “Top 3 baju yang mereka (perempuan) pakai adalah ada rok/celana panjang (18%), baju lengan panjang (16%). Ini membantah sama sekali (ucapan), “Salah sendiri nggak pakai baju sopan.” Kita punya data sendiri, 17% itu korbannya memakai hijab, ini sama sekali bukan masalah baju,” kata Rastra seperti dikutip oleh Detik.
Sangat sering sekali terjadi jika terjadinya kasus pelecehan seksual masyarakat sekitar dengan mudahnya menyalahkan pihak perempuan juga. Hal pertama yang mereka bahas adalah mengenai pakaian si perempuan yang menjadi korban, disaat korban pelecehan seksual seharusnya mendapat perhatian lebih dan dukungan karena ia sendiri pastinya mengalami trauma. Masyarakat dengan mudahnya men-judge si korban atas apa yang ia kenakan. Pelecehan seksual terjadi bukan perkara soal baju semata. Sudah saatnya pemikiran masyarakat lebih terbuka akan hal seperti ini.
Mengenakan pakaian tertutup memanglah salah satu bentuk perlindungan diri dari hal-hal buruk yang tidak diinginkan terjadi. Namun, bukan berarti setiap kejahatan yang terjadi pada perempuan berdasarkan kepada apa yang dikenakan perempuan. Makna kejahatan sendiri terlalu luas hanya untuk seukuran kpakaian semata. Memang, mudah sekali menyalahkan pakaian dan perempuan. Tidak perlu menguras tenaga dan pikiran apalagi menyelidiki secara dalam. Intinya, perempuan mengenakan pakaian terbuka jelas salah. Jelas, patut disalahkan!
Kembali lagi pada era modern juga maju ini jelas berbeda jauh dengan era sebelum-sebelumnya. Di zaman dahulu, mungkin mengenakan pakaian tertutup adalah cara terampuh agar terhindar dari kejahatan khususnya kejahatan terhadap wanita. Namun, seiring berjalannya waktu beriringan dengan semakin majunya teknologi juga bangsa ini pakaian bukanlah sesuatu hal yang menjamin perempuan akan terhindar dari berbagai kejahatan. Apalagi ditambah dengan pemikiran yang semakin beragam, luas dan berkembang, bukan tidak mungkin pikran orang-orang tidak bertanggung jawab memikirkan berbagai macam modus kejahatan yang unik. Bukan lagi masalah pakaian dan siapa orang tersebut. Jelas kejahatan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Tanpa pandang bulu dan tanpa melihat apa yang sedang kita kenakan.
Isu juga stereotip kebanyakan masyarakat tentang perempuan sangatlah rumit. Padahal, stereotip itu sendiri belum tentu menguntungkan pihak perempuan ataupun sebaliknya. Bukan hanya perihal senyum, ramah, minat dan bakat juga pakaian yang perempuan kenakan. Salah satu stereotip yang sangat mengganggu juga adalah tentang emansipasi wanita.
Berdasarkan idntimes.com mengungkapkan bahwa salah satu stereotip yang sangat menyakitkan bagi perempuan adalah “Emansipasi wanita membuat perempuan mau mengalahkan Laki-laki” jelas pandangan seperti ini salah besar. Ketika seorang perempuan mengambil peran utama atau memegang kekuasaan juga kendali penuh atas sesuatu. Mereka cenderung dituduh ingin mengalahkan laki-laki dan memberi pembuktian.
Padahal, Emansipasi wanita sendiri tentang kerja sama, kesetaraan dan kolaborasi. Emansipasi bukan tentang memimpin atau dipimpin. Bukan juga tentang perempuan yang mengambil alih tugas yang dikerjakan laki-laki, sekonyong-konyong menggantikan kedudukan laki-laki. Makna emansipasi lebih luas daripada itu. Jika seorang perempuan memegang kekuasaan tertentu pasti ada prosedur juga persyaratan yang dilewati. Jika layak, kenapa tidak? Bukankah setiap warga negara khususnya Indonesia memiliki hak untuk dipilih dan memilih? Warga negara disini tidak disebutkan harus laki-laki ataupun perempuan melainkan keduanya. Maka, tidak ada salahnya jika perempuan diberikan kesempatan yang sama.
Hak Politik warga Negara mencakup hak untuk memilih dan dipilih, penjamin hak dipilih secara tersurat dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28, Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3);141. Sementara hak memilih juga diatur dalam Pasal 1 ayat (2); Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A (1); Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C (1) UUD 1945.142 Perumusan pada pasal-pasal tersebut sangat jelas bahwa tidak dibenarkan adanya diskirminasi mengenai ras, kekayaan, agama dan keturunan. Setiap warganegara mempunyai hak-hak yang sama dan implementasinya hak dan kewajiban pun harus bersama-sama.
Seorang perempuan yang memegang jabatan sebagai pemimpin bukan berarti ia ingin mengalahkan presensi laki-laki. Emansipasi di zaman yang sudah maju dan modern ini juga, dizaman Bangsa Indonesia yang telah merdeka ini bukan hanya semata-mata membahas tentang kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan saja, bukan lagi tentang bebas dari perbudakan, bukan berarti perempuan harus melakukan apa yang menjadi tugas laki-laki. Juga bukan untuk saling bersaing demi pengakuan diri antara perempuan dan laki-laki. Apalagi untuk ajang mensejajarkan diri dengan laki-laki atau bahkan merasa dan bertindak jauh di depan laki-laki. Karena pada dasarnya kodrat seorang perempuan dan laki-laki jelas berbeda.
Emansipasi yang diperjuangkan saat ini adalah kebebasan mengenyam Pendidikan, kebebasan dalam mengemukakan pendapat, kebebasan dalam bekerja, juga bagaimana menjadi perempuan yang tidak bergantung kepada orang lain, bisa dikatakan juga sebagai perempuan mandiri. Menjadi perempuan yang lebih mandiri adalah salah satu wujud sederhana dari emansipasi itu sendiri. Menjadi seorang perempuan masa kini yang merdeka. Bebas dari segala macam belenggu yang dapat membuat sosok perempuan ‘jalan ditempat’ Sebagai seorang perempuan tidaklah melulu harus mengandalkan seorang laki-laki bahkan sampai bergantung pada laki-laki. Begitu pun jika perempuan ditempatkan pada situasi dimana ia menjadi seorang pemimpin. Selagi bisa, kenapa tidak?
Makna sebenarnya dari emansipasi wanita yaitu tentang bagaimana wanita dapat berkembang dan maju dari waktu ke waktu tanpa menghilangkan jati dirinya. Dengan adanya kerja sama dan kolaborasi dari berbagai pihak dengan perempuan justru sangat membantu untuk mewujudkan emansipasi itu sendiri. Dengan memahami makna emansipasi wanita seutuhnya, wanita turut serta memberikan emansipasi bagi masyarakat dan negara.
Pemahaman emansipasi wanita menurut pemikiran R.A. Kartini yang tercantum dalam buku habis gelap terbitlah terang ini, salah satunya adalah keinginan untuk menjadi perempuan bebas dan mandiri. Jelasnya, sebagai seorang perempuan R.A. Kartini ingin diberi kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan di bangku sekolah setinggi-tingginya. Di mana pada saat itu, hanya kaum laki-laki yang diperkenankan untuk bersekolah. Perjuangan R.A. Kartini dalam memperjuangkan emansipasi bertujuan agar wanita lebih cakap dalam menjalankan kewajibannnya. Di zaman sekarang jelas untuk kita semua bahwa kita dapat mengenyam bangku pendidikan dengan sangat mudah, tidak perlu bersusah payah seperti yang dilakukan R.A. Kartini dahulu kala.
Dengan adanya emansipasi wanita bukan berarti membuat perempuan merasa ‘diistimewakan’ karena mendapat persamaan hak. Bukan berarti perempuan merasa ‘bebas tidak terkendali’ karena mendapat kesetaraan hak. Bagai dua sisi mata pisau, selain perempuan mendapatkan dampak positif dari emansipasi karena dapat mengenyam Pendidikan dan lainnya justru, emansipasi sendiri apat menjadi tantangan baru bagi para perempuan-perempuan di luar sana, pasalnya perempuan dituntut untuk menjalankan peran ganda yaitu menjalankan kewajibannya sesuai kodratnya sebagai perempuan juga dituntut untuk tetap produktif baik dalam karir maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam essai kali ini secara keseluruhan membahas tentang berbagai macam pandangan dari berbagai macam kalangan masyarakat yang ada disekitar kita. Banyaknya pola pikir dan stereotip masyarakat terhadap perempuan bukanlah hal yang tabu untuk manjadi perbincangan saat ini. Mulai dari perilaku perempuan, apa yang dikenakan perempuan juga kebebasan yang menjadi milik perempuan semuanya dapat dikupas habis menjadi topik obrolan bagi masyarakat. Entah itu menguntungkan atau tidak bagi perempuan nyatanya kita tidak bisa menyalahkan pendapat seseorang mengenai sesuatu. Karena, pada dasarnya setiap warga negara memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya.
Sebagai seorang perempuan hendaklah pintar dalam menempatkan diri dalam situasi dan keadaan apapun. Menjadi perempuan yang senantiasa waspada dibanding bersikap terbuka juga ramah kepada semua orang tidak salahnya. Menjadi perempuan versi terbaik dari diri sendiri juga lebih penting dibanding menjadi perempuan versi terbaik atas dasar kriteria maupun standar tertentu menurut orang lain. Juga, paham betul akan makna emansipasi. Emansipasi adalah tentang bagaimana wanita dapat berkembang dan maju dari waktu ke waktu tanpa menghilangkan jati dirinya. Bukan sekonyong-konyong secara perlahan menggeser kedudukan laki-laki. Jelas sedari awal, bahwa kaum hawa memiliki kodratnya sendiri yang tentu berbeda dengan kodrat yang dimiliki kaum adam. Apalagi hanya untuk persaingan semata demi pengakuan antara perempuan dan laki-laki, pemahaman yang seperti itulah yang harus mulai dihilangkan dari sekarang. Juga, dibutuhkan adanya kerja sama dan kolaborasi dari kedua belah pihak baikperempuan maupun laki-laki untuk mewujudkannya.
Sebagai masyarakat juga hendaknya mulai mengubah pola pikir juga stereotip bahwa perempuan harus begini, perempuan harus begitu, tidak boleh seperti ini, tidak boleh seperti itu. Walaupun dengan maksud tujuan yang baik tidak ada salah memberikan ‘kelonggaran’ terhadap apa yang ingin atau tidak ingin dilakukan oleh perempuan selama yang dilakukan positif dan tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Perempuan juga manusia yang memiliki rasa keingintahuan besar akan sesuatu. Perempuan bukan boneka kayu dalam sebuah pertunjukan yang dapat dikendalikan dengan mudah sesuka hati oleh dalangnya.
Masyarakat juga tidak perlu menghabiskan waktu juga tenaga mereka untuk mengomentari suatu hal yang tidak perlu terhadap perempuan. Apalagi terhadap perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual, berdasarkan penjabaran diatas kita telah mengetahui bahwa penyebab utama terjadinya kejahatan seksual tidak mengacu kepada pakaian terbuka yang dikenakan perempuan bahkan, 17% dari kasus kejahatan seksual korbannya mengenakan hijab yang berarti perempuan tersebut menggunakan pakaian tertutup. Walaupun pakaian terbuka dapat memicu kejahatan dibanding mengenakan pakaian tertutup, bukan berarti pakaian tertutup dapat melindungi seseorang dari kejahatan tertentu.
Mulai saat ini, ada baiknya jika masyarakat tidak melulu menyalahkan pihak perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual. Justru, harusnya masyarakat senantiasa memberikan dukungan bukan rentetan kalimat yang dapat membuat korban merasa dikucilkan. Pakaian bukan tolak ukur kejahatan seksual. Nyatanya, kejahatan baik pelecehan seksual maupun kejahatan lainnya dapat terjadi di mana saja dan kapan saja tanpa melihat apa yang sedang dilakukan korban, apa yang dikenakan korban. Untuk itulah kita perlu selalu bersikap waspada.
“Emansipasi wanita membuat perempuan mau mengalahkan laki-laki” stereotype seperti ini hendaklah dihapuskan. Sebagai masyarakat kita harus sadar bahwa Emansipasi wanita yang diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini bukan untuk tujuan demikian, apalagi menggeserkan kedudukan laki-laki. Jelas perempuan pun tahu bahwa kodrat antara perempuan berbeda dengan laki-laki.
Emansipasi di sini tentang kerja sama, kesetaraan hak dalam mengenyam bangku Pendidikan, juga kolaborasi. Haruslah paham dulu mengenai emansipasi yang dimaksud, jangan sampai salah pengertian dan akan terjadi kesalahpahaman nantinya. Tidak hanya untuk masyarakat bahkan untuk para perempuan sendiri harus tahu betul makna dari emansipasi itu sendiri. Tidak sedikit dari masyarakat juga perempuannya sendiri yang salah arti dalam memaknai emansipasi ini. Didasari berbagai faktor, salah satunya makin majunya bangsa ini juga makin majunya cara berpikir seseorang bukan tidak mungkin malah salah dalam mengartikannya atau bahkan melakukan modifikasi dalam makna sebenarnya sehingga menimbulkan kesan bahwa emansipasi wanita terlihat seperti perempuan yang ingin mengalahkan laki-laki.
Mulai dari saat inilah, kita sebagai perempuan harus menjadi perempuan yang cerdas. Dan, Mulai dari sekaranglah kita sebagai masyarakat harus menjadi masyarakat yang cerdas juga berpikiran terbuka dan maju. Perbedaan zaman menuntut kita harus berpikiran lebih cerdas dari sebelum-sebelumnya. Semakin majunya zaman, maka semakin maju juga pola pikir kita. Sudah saatnya memusnahkan stereotip-stereotip tidak perlu yang tidak ada ujungnya bahkan tidak ada untungnya bagi kita. Jangan sampai kita menjadi musuh dari saudara setanah air hanya karena pandangan juga pola pikir ‘kolot’ yang sengaja kita pelihara. Jangan hanya negaranya saja yang mulai bergerak maju, tapi pola pikir kita juga.