Akhir-akhir ini gencar dikampanyekan oleh pemerintah dalam rangka menghadapi era baru masa peralihan dari situasi Pandemi Covid-19 menuju tatanan kehidupan baru. New normal, begitulah istilah kerennya. Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto meminta masyarakat memahami bahwa tatanan normal baru atau new normal tidak bisa dimaknai kondisi sudah kembali normal.
Menurut pemerhati isu sosial, Asep Saepudin, new normal harus dipahami bahwa kebiasaan terdahulu harus diubah selama pandemi Covid-19 dan menyesuaikan dengan protokol kesehatan Covid-19. Namun fakta di lapangan, new normal tidak dimaknai demikian.
“New normal adalah kita mengubah kebiasaan yang terdahulu yang kita anggap normal. Karena saat itu, ancaman Covid-19 belum ada”. Tutur Asep
New normal adalah skenario untuk mempercepat penanganan COVID-19 dalam aspek kesehatan dan sosial-ekonomi. Pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana untuk mengimplementasikan skenario new normal dengan mempertimbangkan studi epidemiologis dan kesiapan regional.
Asep menjelaskan bahwa pemerintah daerah diizinkan untuk mempersiapkan new normal jika daerah mereka berada di tingkat moderat atau sedang yang intensitas penyebarannya mulai menunjukan tanda-tanda melandai. Kampanye new normal yang gencar dilakukan pemerintah ini sebuah kenyataan yang harus dimaklumi oleh masyarakat. Karena kondisi ini pun dipastikan berdampak sama pada lingkup sosial di pemerintahan.
“Termasuk memahami bahwa kita sudah selayaknya “berdamai” dengan virus covid-19 ini. Sementara ada sebagian yang masih getol meneriakkan untuk tak menyerah dan memilih dengan melawan virus ini semaksimal mungkin. Itulah pro kontra yang muncul”, tambah Asep.
Menurutnya, adaptasi ke arah kehidupan setelah adanya pandemi Covid-19 tidak mudah, seperti diwajibkannnya menjaga jarak dan menghindari perkumpulan dalam jumlah besar dan lebih banyak berdialog secara virtual melalui aplikasi daring.
Namun, perubahan-perubahan di atas tidak secara merata berlaku di pelosok desa karena masih terdapat desa dengan kondisi masyarakat yang mengharuskan bekerja ke ruang publik seperti pasar tradisional. Selain itu, perihal akses internet juga menjadi solusi yang jauh untuk sebatas diskusi antara kepala desa dengan masyarakat, misalnya.
Lebih jauh, Asep menambahkan bahwa kondisi di atas yang patut menjadi perhatian kita bersama, terutama bagaimana langkah dan upaya pihak berwenang dalam memahamkan secara detail kepada masyarakat. Tentu juga harus dengan solusi ekonomisnya. Karena kalau sudah menyangkut urusan perut, sulit untuk dikompromikan, menurutnya.
Lantas apa sebenarnya yang diinginkan masyarakat, new normal atau renormal? Umumnya masyarakat ingin kembali normal dengan terpenuhinya jaminan sosial ekonomi mereka. Dibanyak tempat, masyarakat sudah terbiasa kembali beraktivitas seperti sebelum adanya pandemi.
Kenyataan tersebut terjadi bukan karena masyarakat tidak khawatir akan terpapar corona, tetapi tuntutan kebutuhan lebih menekan dan memaksa mereka untuk beraktivitas sepertri biasa, sekalipun harus berada dalam bayang-bayang ancaman Covid-19 yang setiap saat mengintai.
Dengan aktivitas yang diperlihatkan masyarakat di ruang publik pada masa transisi pandemi ini, banyak hal yang mengindikasikan terjadinya renormal (normal kembali).
Asep berharap, masyarakat lebih memperhatikan kesehatan seperti rajin cuci tangan, ganti baju jika habis pergi, minum vitamin agar ketahanan tubuh terjaga dengan baik, yang semua hal itu sebenarnya sudah dianjurkan dan dilakukan sebelum pandemi.
Selain itu, masyarakat juga dihadapkan pada kesiapan untuk bekerja secara efektif dan efisien. Jika sesuatu pekerjaan atau permasalahan bisa ditangani dengan memakai teknologi, misalnya, kenapa tidak. Salah satunya adalah proses belajar mengajar.
Aktivitas perdagangan bisa semakin dominan melalaui online shopping. Itu semua sudah dilakukan sebelum pandemi covid-19 hadir dan sebagian besar masyarakat, kecuali di pelosok, kini semakin terbiasa dengan penggunaan teknologi dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Aktivitas masyarakat pada fase kembali kepada kebiasaan semula (renormal) harus tetap dipandu dengan protokoler kesehatan. Sehingga kekhawatiran terjadinya klaster baru penyebaran Covid-19 dapat diantisipasi sejak dini. Karena memang yang diinginkan dan difahami oleh sebagian masyarakat yaitu kembali normal, bukan new normal.