(28/09/19)
Meninggalnya seorang kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Kendari, Sulawesi Tenggara pada aksi Tolak Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi sebuah petaka dan indikasi bahwa Polisi Republik Indonesia (POLRI) tidak mampu mengamankan aksi damai tersebut.
Berbagai kritik dan tuntutan keadilan atas korban yang berjatuhan oleh aksi-aksi represif oknum aparat yang sampai menyebabkan kematian datang dari berbagai pihak di berbagai daerah, tidak terkecuali Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Pangandaran.
Aksi yang seyogyanya menjadi mimbar bebas mahasiswa untuk mengaspirasikan keluhan masyarakat mengenai beberapa poin RUU yang sifatnya kontroversial, nyatanya dibayangi oleh pihak-pihak yang memprovokasi terjadinya anarkisme.
Ketua PDPM Pangandaran, Muhamad Supriyo, S.E., menyatakan bahwa aksi damai yang seharusnya dijaga dan dilindungi oleh POLRI teryata malah ditebus dengan peluru tajam yang bersarang di dada mahasiswa Universitas Halualeo. Menurutnya, kebebasan menyampaikan pendapat di negeri ini seringkali ditebus dengan nyawa calon generasi penerus bangsa.
“POLRI dituntut untuk mampu menemukan siapa pelaku penembakan tersebut agar kejelasan kasus tersebut segera dituntaskan sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran siapa pelaku. Pelaku pun bisa segera diproses secara hukum. Aparat kepolisian hendaknya bisa tegas dalam melihat anggotanya yang bertindak secara represif dalam merespon sebuah aksi demonstrasi sehingga tidak terjadi kekacauan yang tidak diinginkan”, Pungkas Supriyo.