Perbedaan perlakuan PDIP terhadap kadernya yang ‘membelot’ sampai saat ini menjadi pertanyaan publik. Ketika Gubernur Maluku istrinya membelot ke PAN dan Budiman Sudjatmiko yang mendeklarasikan dukungannya terhadap Prabowo mendapatkan reaksi cepat dan tegas yang berujung dengan pemecatan keduanya dari DPP PDIP. Namun kondisi itu tidak terjadi pada Gibran dan Bobby. Padahal keduanya sudah jelas-jelas membelot dari PDIP, bahkan Gibran, belotannya sangat ekstrem dan bar-bar.
Namun kedua belah pihak, baik gibran maupun PDIP sampai saat ini masih berpolemik dan lempar-lemparan.
Ketua DPD PDIP Jawa Tengah FX Rudi secara tegas menyatakan agar Gibran segera mengembalikan KTA PDIP, dan Gibran menyanggupinya walaupun sampai saat ini pengembalian KTA tersebut belum terjadi. Berbeda dengan salah satu elit PDIP menyatakan bahwa Gibran secara the facto sudah keluar dari PDIP.
Disisi lain, dengan belum adanya Gibran menyatakan mundur dan mengembalikan KTA PDIP secara gentel dan terbuka, mempertegas dirinya tidak mempunyai etika dalam berpolitik. Karena dengan ‘nyebrangnya’ Gibran diusung partai lain untuk menjadi calon wakil presiden merupalan perilaku politik yang tidak beretika. Sehingga sikap Gibran tersebut sudah tidak harus lagi menjadi pertanyaan banyak pihak, sudah clear bahwa gibran tidak memiliki etika dalam berpolitik.
Yang harus menjadi pertanyaan adalah, kenapa PDIP tidak tegas terhadap Gibran. Kemungkinan ada beberapa faktor.
Pertama, Pencitraan Politik Santun
Kemungkinan PDIP sedang menampilkan politik yang santun untuk mengambil simpati masyarakat. Karena baik Gibran, Bobby terlebih Jokowi tentu memiliki loyalis yang merupakan konstituen PDIP.
Bisa jadi jika PDIP bersikap tegas maka konstituen PDIP yang menjadi loyalis Jokowi, Gibran dan Bobby akan menggerus suara PDIP pada pemilu 2024.
Kedua, PDIP Bermain di Dua Kaki
Sebagai antisipasi Prabowo-Gibran tidak masuk putaran kedua, maka mempunyai peluang untuk menarik KIM ke Ganjar-Mahfud, begitupun ketika Ganjar tidak masuk putaran kedua, maka Ganjar-Mahfud berpotensi merapat ke KIM.
Bahkan ketika pada akhirnya Prabowo-Gibran menjadi pemenang pada pemilu 2024, maka wakilnya merupakan kader PDIP.
Ketiga, Saling Menyandera
Pernyataan Sekjen PDIP, Hasto yang menyatakan, mendapatkan informasi beberapa ketua umum partai politik mendapatkan tekanan untuk mengusung Gibran menjadi calon wakil presiden, merupakan sandera dan kartu trup. Sangat mungkin itu juga yang terjadi pada PDIP dan para elitnya. Tersandera kekuasaan, politik bahkan hukum oleh kekuasaan jokowi. Sehingga ada sebuah kegamangan ketika harus memecat anak dan menantu presiden dari keanggotaan PDIP.
Keempat, Menghindari Perang Terbuka
Diawal dinamika ‘copras-capres’ sebetulnya lawan politik PDIP adalah Anies, bahkan disebut-sebut untuk ‘menjegal’ Anies untuk tidak menjadi calon presiden menggunakan berbagai perangkat, termasuk perangkat hukum, baik terhadap partai pengusungnya maupun terhadap Anies. Sehingga ketika dinamika kekuatan faksi politik berubah dan hampir bisa dipastikan pemilihan presiden dan wakil presiden 2024 diikuti tiga pasangan calon, maka PDIP harus memainkan strategi yang lain, dengan tetap tidak memberikan peluang bagi Anies dan Imin memenangkan kontestasi 2024 mendatang.
Jika ‘Perang Terbuka’ antara Jokowi beserta partai yang diendorsenya dan Megawati beserta PDIP nya menjadi isu yang dominan dan sampai pada akar rumput, maka pasangan AMIN berpotensi mendapatkan berkah elektoral (muntahan suara) dari perang terbuka tersebut.
Kelima, Hidden Skenario
Diawal pencalonan Ganjar, Jokowi sangat kuat attensinya bahkan terlihat jelas keberpihakan terhadap Ganjar dalam berbagai momentum. Begitupun dengan kejadian merapatkannya cak imin ke Nasdem, satu hari setelah Surya Paloh menghadap Jokowi di istana.
Itu juga yang terjadi dengan merapatnya PAN, Golkar dan Demokrat disebut-sebut atas campur tangan Jokowi. Termasuk Golkar mengusung Gibran menjadi calon wakil presiden Prabowo mempertegas intervensi jokowi.
Sehingga dalam dinamika dan histori politik tersebut, sangat mungkin adanya sebuah hidden scenario (perencanaan tersembunyi) yang tidak diketahui publik. Skenario tersembunyi tersebut tentu saja terkonsolidasi melalui ketua umum partai politik termasuk Megawati.
Penulis:
Yusfitriadi (Founder Visi Nusantara Maju – Eks Aktivis 98′)