Oleh:
Agus S. Saefullah
(Penulis Buku “Bahtera Nabi Nuh”)
Di dalam struktur makhluk ada yang disebut dengan “Nafs” yang bisa diartikan sebagai diri, jiwa (self). Dalam Kitab Dirasah Nafsiyah Inda Ulama’ul Muslimin disebutkan bahwa Ibnu Sina mendefinisikan “Nafs” sebagai unsur pertama yang membuat makhluk memiliki kemampuan berfikir, kinestetik dan kemampuan-kemampuan lainnya.
Ibnu Sina membagi nafs atau jiwa dalam tiga kategori. Yaitu jiwa tumbuhan, jiwa hewani, dan jiwa insani.
Pertama, Jiwa Tumbuhan (Ruhul Banat), yaitu insting alamiah sehingga sebatang tumbuhan memiliki kemampuan untuk tumbuh, berreproduksi, serta makan minum. Kedua, Jiwa Hewani (Ruhul Hayawan), yiatu meliputi aspek jiwa tumbuhan plus kemampuan kinestetik. Ketiga, Jiwa Insani (Ruhul Insan), yaitu meliputi aspek jiwa tumbuhan dan hewani ditambah dengan kemampuan melakukan (1) pengambilan persepsi dari gejala-gejala yang difahami secara empiris dan logis serta menghasilkan suatu kesimpulan dan tindak lanjut (2) memiliki kemampuan mengendalikan diri. Jika iblis condong pada kezaliman, Malaikat condong pada ketaatan maka manusia berada pada garis netral dalam berkehendak.
Manusia di dalam Al-Qur’an disebut dalam beberapa penggunaan kata yang berbeda yaitu al-basyar sebanyak 27 kali, an-Nas sebanyak 240 kali dan al-insan sebanyak 73 kali . Al-basyar dapat diartikan sebagai manusia dalam konteks fisik atau anatomi tubuh. An-nas berarti manusia sebagai makhluk yang senantiasa bergerak aktif (eksist). al-Insan dapat diartikan manusia dalam konteks psikologi dan kesempurnaan potensi di atas makhluk-makhluk lainnya.
Takwa sebagai tujuan Shaum
Dalam Firman-Nya Allah memberitahukan kewajibannya kepada kita semua “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Di dalam ayat di atas tersimpan rumusan perintah Ilahi bahwa seseorang yang beriman diseru untuk mendayagunakan imannya sebagai modal melalui usaha yang disebut dengan shaum sehingga menghasilkan keuntungan yang teramat besar bernama ketakwaan. Takwa dalam ayat ini berposisi sebagai hasil dari usaha shaum yang juga berfungsi kembali sebagai alat untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas keimanan. Jadi antara iman dan takwa akan saling menguatkan. Jika salah satunya cedera akan mencederai pula yang lainnya.
Imam Al-Ghazali menyampaikan ada tiga klasifikasi orang-orang dalam melaksanakan shaum. (1) Shaumul-amm yaitu shaum orang-orang yang hanya sekedar menahan lapar dan dahaganya saja, (2) Shaumulkhusus yaitu orang yang selain mampu menahan lapar dan dahaga juga mampu mengendalikan dirinya dari nafsu-nafsu yang merugikan baik merugikan diri sendiri ataupun orang lain, (3) Shaumul khususil khusus yaitu shaum-nya para Nabi dan salafushalih.
Dalam Haditsnya Rasulullah bersabda “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Thabrani dalam Al Kabir).
Takwa itu berhati-hati
Suatu hari Sahabat Umar bertanya kepada Ubay bin Ka’ab, “Wahai Ubay, apa makna takwa?” Ubay yang ditanya justru balik bertanya. “Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri?”
Umar menjawab, “Tentu saja pernah.” “Apa yang engkau lakukan saat itu, wahai Umar?” lanjut Ubay bertanya. “Tentu saja aku akan berjalan hati-hati,” jawab Umar. Ubay lantas berkata, “Itulah hakikat takwa.”
Shaum adalah aktivitas fisik secara dzahir, tetapi sesungguhnya Allah juga menghendaki kita untuk shaum dalam artian shaum khusus. Tidak hanya menahan lapar dan dahaga melainkan juga menahan segala hawa nafsu yang membelenggu diri. Sehingga shaum yang kita lakukan benar-benar mampu mewujudkan jiwa insan yaitu jiwa kemanusiaan yang paripurna. Jiwa yang paripurna ini adalah jiwa yang mampu mengendalikan dirinya karena mendayagunakan akal dan hatinya sebagaimana tuntunan Allah dalam kehati-hatian.
Takwa adalah Kesadaran sebagai Manusia
Di dalam takwa ada keinsafan bahwa ia diciptakan, dipelihara dan akan kembali kepada-Nya. Dalam jiwa yang bertakwa terinternalisasi karakter social responsibility pada lingkungan.
“Tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kami.” Begitu Sabda Nabi sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, “Sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”.
Ketakwaan akan melahirkan insan-insan yang saling mencintai. Cinta yang tulus adalah perekat yang mengokohkan persaudaraan. Sahabat Abu Musa dia berkata, “Rasulullah pernah bersabda, “Orang mukmin yang satu dengan yang lainnya bagai satu bangunan yang bagian-bagiannya saling mengokohkan.” (HR. Bukhari)
Karena ketakwaan adalah kesadaran bahwa kita adalah manusia bukan Tuhan yang ditangan-Nya ada kekuatan Maha Dahsyat tanpa perlu persekutuan dengan siapa dan apapun. Ketakwaan adalah kesadaran bahwa kita manusia dengan segala kelemahannya dituntut untuk saling menolong, memberi, dan menutupi kelemahan satu sama lain. Juga ketakwaan adalah dorongan jiwa untuk hadir dalam masyarakat dan bangsa yang beragam namun tetap mengedepankan kebersamaan.
Nabi Muhammad lahir dari klan Bani Hasyim. Bani yang sangat tepandang diantara Bangsawan Quraisy. Tetapi kehadirannya ke dunia justru mengangkat derajat hamba sahaya “manusia-manusia pinggiran” yang diperjualbelikan. Karena itu berbondong-bondong manusia mengikuti Islam, mengikuti ajaran yang menentramkan, melindungi dan menyelamatkan manusia. Ketika sudah masuk Islam posisi dan keududukan disamakan, musywarah dikedepankan, dan tolong menolong satu sama lain menjadi kebaikan yang dibudayakan. Siapa yang terbaik diantara mereka? ialah yang paling bertakwa.
Berpuasalah atas dasar keimanan agar kita menjadi manusia dengan takwa. Karena hanya yang bertakwa yang akan mampu menjadi manusia yang memanusiakan manusia.
Selamat Ibadah Ramadhan 1441 H.