Oleh: Dr. Arsyad

Mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 9 Tahun 1998 tentang tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, pasal 1 berbunyi;  (1) Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) di muka umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang; (3) demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip hukum internasional.

Dalam sebuah definisi juga dijelaskan bahwa demonstrasi adalah aksi yang dilakukan sekelompok orang dengan dalih menginginkan perubahan kebijakan suatu pemerintahan agar sesuai dengan harapan kepentingan bersama dan berguna bagi semua golongan. (http://dosensosiologi.com/pengertian-demonstrasi/).

Mencemati aksi massa di depan gedung DPR/MPR beberapa waktu yang lalu, bahwa demonstrasi tersebut tidak hanya diikuti oleh elemen mahasiswa dan masyarakat saja, tapi juga diikuti oleh sekelompok pelajar dari SMK yang turun ke jalan. Hadirnya pelajar pada demonstrasi tersebut mengikuti tuntutan dari  mahasiswa dan masyarakat yang memprotes recana DPR mengesahkan beberapa rancangan undang-undang atau RUU yang dianggap kontroversial. Beberapa media memberitakan bahwa pelajar ikut berpartisipasi untuk melanjutkan unjuk rasa mahasiswa. Salah seorang pelajar mengakui bahwa “kami ikut berpartisipasi karena tidak suka dengan anggota DPR, karena mereka buat aturan semau-maunya.” kata siswa kelas XI SMK swasta di wilayah Tangerang itu pada rabu, 25 September 2019.

Demonstrasi pelajar yang menolak beberapa rancangan undang-undang atau RUU kontroversial tersebut bersama mahasiswa telah memunculkan beberapa tanggapan dari masyarakat dan pemerintah,  antara lain; pakar pendidikan misalnya, Edy Suandi Hamid menyayangkan adanya pelajar yang melakukan aksi demonstrasi di sekitar Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, menurutnya selain tidak paham apa yang dituntutnya, anak usia sekolah masih labil, emosional, dan bisa bertindak nekat.  (https://www.tribunnews.com/nasional/2019/09/25).

Tanggapan juga disampaikan oleh Dosen sekaligus Pakar Komunikasi Politik Dr. Zaenal Mukarom, M.Si, dalam Suara.com, ia menyampaikan bahwa demonstrasi pelajar tersebut patut diapresiasi dan menunjukkan tumbuhnya kesadaran generasi muda. Mengingat di zaman digital generasi muda sempat mengalami krisis terhadap isu sosial yang ada.

Selanjutnya, tanggapan yang tidak kalah sejuk datang dari pemerintah yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy,  bahwa  banyak pernyataan pelajar  yang turun demonstrasi menurutnya cukup menggembirakan, tetapi perlu bimbingan yang baik, misalnya pernyataan  ikut sertanya untuk membela negara, membela keadilan, NKRI harga mati, dan seterusnya. Muhadjir mengaku kaget usai mendengarkan argumen dari para pelajar, sebab menurutnya, mereka punya pandangan politik yang bagus.

“Saya juga kaget, ada anak kelas 3 SMP, bapaknya penganggur, ibunya buruh cuci, tetapi pandangan politiknya sudah seperti mahasiswa”. (Liputan6.com, 28/9/2019). Sebagai bentuk perhatian dan kepedulian terhadap pelajar dan dunia pendidikan, dalam kesempatan itu Mendikbud juga menjenguk sejumlah korban peristiwa unjuk rasa yang berlangsung ricuh yang masih berstatus sebagai siswa SMP, SMK dan dirawat di rumah sakit. Lebih jauh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan pihaknya tidak akan memberikan sanksi pada siswa yang ikut aksi unjuk rasa atau demo pada Rabu, 25 September 2019 lalu. “Pendidikan tidak main sanksi, kalau pemberian sanksi namanya bukan pendidikan.” Sebuah pandangan positif dari seorang menteri Pendidikan yang memahami betul psikologi dan perkembangan peserta didik.

Merujuk pada UU. N0. 9 tahun 1998, pasal 6 menyatakan bahwa warganegara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggungjawab untuk;  menghormati hak-hak orang lain;  menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum; menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum. Sejatinya setiap kelompok yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggungjawab untuk menjaga hal-hal tersebut. Dengan demikian, maka kelompok manapun yang berunjuk rasa di muka umum yang tidak menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik itu  dari kelompok pelajar, mahasiswa maupun masyarakat, kalau membuat kerusakan fasilitas umum, maka kegiatan unjuk rasa tersebut harus ditindak dan dianggap perbuatan anarkis yang melawan ketentuan hukum.

Domonstrasi pelajar beberapa waktu yang lalu juga dibubarkan karena memang sudah melewati batas waktu terkait aturan penyampaian pendapat, pelajar yang demo juga terlibat bentrokan dengan petugas, bahka mereka melemparkan batu, botol, dan bom molotov ke arah gedung DPR, dan juga melakukan perusakan fasilitas publik, sehingga pihak kepolisian mengambil tindakan  dengan menangkap sebagian pelajar yang ikut demonstrasi.

Banyak yang menyayangkan aksi unjuk rasa yang diikuti para pelajar tersebut berakhir dengan ricuh dan terjadi seperti tawuran pelajar, karena menyampaikan pendapat di muka umum secara perorangan atau kelompok sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, barbangsa, dan bernegara.

Artinya bahwa kelompok mahasiswa atau pelajar yang menyampaikan pendapat di muka umum adalah mereka yang sesugguhnya mau peduli dan bertanggung jawab dalam mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, sebab dengan jumlah mahasiswa dan pelajar yang banyak, namun hanya segelintir yang mau ikut demonstrasi di jalan.

Dalam menyampaikan pendapat di muka umum yang diikuti oleh pelajar, harus disertai dengan pendampingan dan kontrol baik dari guru maupun orang tua sebagai media yang memberi pengetahuan bagaimana cara mengkritik yang baik. Sehingga apa yang disuarakan menjadi bermakna bagi masyarakat luas, sekaligus menjadi proses pendidikan demokrasi bagi pelajar di era digital yang kadang-kadang cuek dan tidak peduli terhadap isu sosial yang ada di lingkungannya.

Demonstrasi Untuk Pembelajaran Demokrasi

Aksi demonstrasi pelajar beberapa waktu yang lalu perlu diapresiasi karena telah  menunjukkan tumbuhnya kesadaran generasi muda untuk peduli terhadap tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan di sekitarnya dan sejatinya harus didukung karena demonstrasi adalah salah satu bentuk pembelajaran demokrasi bagi pelajar melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).

Pendidikan Kewargenegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang demokratis. Sebagai contoh, kompetensi dasar pelajaran PKn SMA kelas X, yaitu; (1) memahami hakikat bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); (2) menampilkan sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional; (3)  menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM); (4) menganalisis hubungan dasar negara dengan konstitusi; (5) menghargai persamaan kedudukan warga negara dalam berbagai aspek kehidupan; (6) menganalisis sistem politik di Indonesia.

Kompetensi tersebut sebagai modal berharga dalam memahami materi pembelajaran berikutnya. Untuk kelas SMA kelas XI, misalnya, salah satu materinya  adalah tentang Sistem dan Dinamika Demokrasi Pancasila. Diharapkan setelah mempelajari materi tersebut, siswa mampu merasakan manfaat pelaksanaan demokratisasi di Indonesia, dengan standar ketuntasan minimal (KKM) yaitu aspek pengetahuan dan afektif.

Dari gambaran materi pelajaran PKn SMA menunjukkan bahwa pelajar tingkat SMA sudah tertanam nilai-nilai demokrasi yang tergambar dari  aspek pengetahuan dan sikap yang hendaknya dapat diaktualiasikan dalam kehidupan nyata. Namun penanaman nilai-nilai demokrasi bagi pelajar melalui PKn tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan. Hal ini terlihat dari beberapa perilaku pelajar, khususnya tingkat SMA yang belum sesuai dengan kompetensi dari pelajaran PKn, seperti masih seringnya terjadi perkelahian antar pelajar, tawuran, dan pelanggaran aturan lalu lintas.

Salah satu penyebab kompetensi dalam PKn tidak tercapai dengan baik karena proses pembelajarnnya tidak menarik bagi siswa. Pelajaran PKn dianggap mata pelajaran yang membosankan karena materinya bersifat hapalan dan terlalu luas. Teknik penyajiannya juga  banyak menggunakan metode ceramah dan tanya jawab saja, ditambah dengan model evaluasi yang  cenderung pada aspek pengetahuan dengan mengajak siswa untuk mengamati sebuah gambar  dan memberikan tugas-tugas dalam bentuk membaca berbagai artikel dari koran atau internet yang berkaitan dengan PKn, tanpa ada penanaman nilai-nilai demokrasi dalam bentuk nyata yang dialami siswa di tengah masyarakat.

Dengan banyak menggunakan metode ceramah dan tanya jawab saja maka yang tersentuh hanya aspek kognitif semata, sedangkan aspek afektif atau sikap terabaikan, sehingga  hasil pelaksanaan pembelajaran PKn menjadi kurang efektif dan tujuan yang dicapaipun juga kurang maksimal yaitu terjadinya perubahan tingkah laku siswa ke arah yang lebih baik. Sementara di luar sekolah siswa melihat berbagai macam kejadian di tengah masyarakat yang kadang-kadang tidak sesuai dengan apa yang di pelajari dari materi PKn.

PKn sebagai Penguatan Pendidikan Demokrasi

Melihat  kenyataan  kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat  yang kadang-kadang dalam praktiknya banyak hal tidak sesuai dengan yang diajarkan di bangku sekolah, maka perlu sesekali pelajar diajak untuk turun melihat persoalan yang dialami masyarakat luas, sebagai proses  melatih kepekaan  dengan menyampaikan aspirasi kepada pemerintah, dalam bentuk demonstrasi yang damai sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku, tidak anarkis, tidak merusak dan sesuai harus dengan koridornya.

Hal ini menjadi proses penguatan pendidikan demokrasi bagi pelajar melalui mata pelajaran PKn, sebab PKn tidak hanya didapat di dalam kelas. Oleh sebab itu agar pembelajaran PKn dapat berhasil sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka guru harus berusaha bisa mengembangkan teknik pembelajaran yang berasal dari pengalaman siswa itu sendiri dengan menggunakan metode pembelajaran yang tepat. Pengembangan teknik pembelajaran PKn harus sesuai dengan materi pelajaran itu sendiri dengan melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki, secara sistematis, kritis dan logis sehingga dapat menemukan sendiri pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagai wujud adanya perubahan perilaku, yang disebut  dengan metode inquiry. (Nanang Hanafiah (2009:77).

Mencari dan menyelidiki, secara sistematis, kritis dan logis, misalnya tentang sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional; menghargai persamaan kedudukan warga negara dalam berbagai aspek kehidupan; mencoba memahai sistem politik di Indonesia, akan mengantarkan siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan, sikap dan mampu mempraktikkannya di tengah masyarakat. Metode pembelajaran ini mengantarkan para siswa tidak hanya dituntut untuk menguasai materi pelajaran, akan tetapi juga begaimana menggunakan dalam memecah masalah yang dihadapi dalam kehidupan siswa sebagai warga sekolah dan warga masyarakat.

Metode ini mengembangkan kemampuan siswa menemukan dan merefleksikan sifat kehidupan sosial terutama untuk latihan hidup kemandirian sebagai warga masyarakat. Dalam Harmoni Sosial: Jurnal Pendidikan IPS 2016 (14-26), dijelaskan bahwa dalam menerapkan metode ini guru tidak berperan sebagai sumber belajar secara penuh tetapi kedudukan guru sebagai fasilitator saja yaitu guru berperan untuk membimbing siswa apabila siswa mengalami kesulitan dalam memahami suatu konsep yang bertalian dengan kehidupan dalam masyarakat yang terkait dengan nilai demokrasi.

Kehadiran pelajar pada demonstrasi yang menyuarakan aspirasi masyarakat luas harus dipandang secara positif, bahwa di era digitalisasi ini, para pelajar tidak hanya asyik dengan dunianya saja, tapi ternyata kesadaran mereka juga mulai tumbuh kesadaran tentang hak dan tanggung jawab apa yang terjadi di sekitarnya. Keterlibatan para pelajar dalam menyuarakan aspirasi harus diposisikan dan dibaca sebagai proses pendidikan demokrasi yang terimpelementasi  pada mata pelajaran PKn sebagai upaya meningkatkan pemahaman dan nilai tentang demokrasi yang pada gilirannya akan menghasilkan warga negara yang demokratis sebagai salah satu dari tujuan pendidikan nasional.

Untuk itu, peran media dan perilaku berpolitik orang dewasa, serta perhatian sekolah dan orang tua  harus mampu memberikan contoh yang baik bagi generasi millenial ini, karena aksi anarkis yang dilakukan pelajar saat demonstrasi beberapa waktu yang lalu tidak lepas dari apa yang dilihat saat para orang dewasa lainnya melakukan demonstrasi dan berakhir anarkis juga. Hal ini sesuai imbauan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy yang meminta agar para guru, kepala sekolah dan orangtua untuk lebih waspada dan hati-hati, jangan sampai mereka tidak tahu keberadaan anak didiknya.

Arsyad, adalah peneliti dan konsultan pendidikan pada Lembaga Studi Visi Nusantara dan juga terlibat sebagai konsultan dan Team Leader pada beberapa program di Kementerian Pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia.

Loading