Oleh: Raja Faidz el Shidqi
Menanggapi apa yang disampaikan oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan atau yang biasa disapa Zulhas, dalam sambutannya pada acara Musyawarah Wilayah VI DPW PAN DKI Jakarta pada hari Minggu (12/7), yang dimuat oleh Kumparan.com, yang menyatakan:
“PAN ya Muhammadiyah, Muhammadiyah ya PAN. Enggak usah ditutup-tutupin, tidak perlu malu.”
Sungguh, sebagai salah seorang kader Muhammadiyah, saya langsung bertanya-tanya apa maksud dan tujuan beliau berbicara demikian di depan publik.
Secara historis, perlu kita akui bahwa PAN adalah salah satu partai yang kelahirannya dipelopori oleh ayahanda Prof. Dr. Amien Rais sebagai salah satu tokoh yang dihormati dan pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Selain hal tersebut diatas, memang benar dan tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar warga Muhammadiyah yang aktif di politik memilih PAN sebagai kendaraannya.
Tetapi, terlepas dari fakta historis tadi, saya kira Zulkifli Hasan tidak etis mengucapkan sebuah argumen yang seolah-olah menyamakan Muhammadiyah sebagai sebuah persyarikatan dengan PAN sebagai partai politik.
Muhammadiyah sendiri adalah organisasi masyarakat yang memiliki khittah perjuangan yang harus ditaati baik oleh organisasi maupun segenap anggotanya.
Dalam khittah Muhammadiyah di Ujung Pandang 1971, misalnya, menghasilkan rumusan penting, yaitu:
“Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apapun.”
Sampai disini sudah jelas bahwa Muhammadiyah tidak terafiliasi dengan partai politik manapun. Sekalipun banyak kader Muhammadiyah yang aktif di PAN dan dilahirkan oleh tokoh Muhammadiyah, bukan berarti PAN bisa mendaku dirinya Muhammadiyah.
Karena fakta dilapangan, kader Muhammadiyah juga bukan hanya aktif berpolitik di PAN saja, ada juga yang aktif di partai politik lain. Bahkan, Partai Matahari Bangsa (PMB) yang sama-sama dilahirkan oleh tokoh Muhammadiyah, belum pernah saya mendengar pernyataan terang-terangan bahwa PMB adalah Muhammadiyah dan Muhammadiyah adalah PMB.
Hemat saya, Zulkifli Hasan mengoreksi diri dan internal partai setelah banyaknya kader Muhammadiyah yang mengundurkan diri dari struktural PAN itu sendiri.
Terlebih setelah insiden lempar-lempar kursi yang terjadi di acara Kongres V PAN di Hotel Claro, Kendari, Sulawesi Tenggara pada Februari lalu.
Apakah insiden “perang kursi” tersebut menyebabkan keluarnya para kader Muhammadiyah dari PAN? ditambah belum lama pula salah satu petinggi PAN membuat masalah dengan menyebut ayahanda Prof. Dr. Amien Rais dengan sebutan Sengkuni (Seorang Tokoh Antagonis dalam wiracarita Mahabharata).
Pernyataan Zulkifli Hasan dalam sambutan tersebut juga dapat menjadi sumber pertanyaan;
“Sebenarnya apa tujuan Zulhas mengajak kembali kader Muhammadiyah untuk aktif di PAN?
Apakah benar hal itu dilakukan hanya untuk aktif membangun kembali hubungan antar kader atau memang ada sebuah kepentingan lain berkaitan dengan dilaksanakannya PILKADA serentak bulan Desember 2020 mendatang?”
Sekali lagi, lebih baik Zulkifli Hasan selaku Ketua Umum PAN segera meminta maaf secara formal atas pernyataannya dalam sambutan Musyawarah Wilayah DPW PAN DKI Jakarta kepada Muhammadiyah dan seluruh warga persyarikatan karena telah mencatut nama Muhammadiyah dan seolah-olah secara simplistis menyamakannya dengan PAN sebagai partai politik.
Raja Faidz el Shidqi adalah mahasiswa FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dan Kader Pimpinan Komisariat IMM FISIP UMJ