Oleh: Yusfitriadi
Gagasan Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa merupakan sebuah proses dialektika yang cukup panjang sebagai upaya para pendiri bangsa untuk mewariskan bangsa Indonesia yang maju dan beradab. Proses dialektika yang cukup panjang tersebut pada akhirnya menemukan titik kompromi dan lahirnya Pancasila sebagai Idelogi Bangsa Indonesia dan Dasar Negara Republik Indonesia. Hal tersebut bisa kita baca dalam berbagai literasi yang menarasikan proses kelahiran Pancasila.
Seperti dalam buku Kumpulan Pidato BPUPKI yang diterbitkan oleh media Presindo Yogyakarta tahun 2006, salah satu isinya adalah pidato Bung Karno tanggal 1 Agustus 1945 yang berjudul “Lahirnya Pancasila” di depan Dokuritsu Junbi Cosakai yang dalam Bahasa Indonesia disebut Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Disitulah Sukarno pertama kali menyampaikan nama dan unsur-unsur yang ada dalam Pancasila yang kemudian dijadikan sebagai dasar Negara Republik Indonesia.
Konsepsi Pancasila
Proses komprominya terjadi setelah BPUPKI menunjuk 9 orang untuk bergabung dalam Panitia Sembilan yang terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim, dan Mohammad Yamin yang ditugaskan untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pada pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 dan menjadikan dokumen tersebut sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Setelah melalui proses persidangan dan lobi-lobi, akhirnya rumusan Pancasila hasil penggalian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan dan dinyatakan sah sebagai dasar negara Indonesia merdeka pada sidang PPKI I tanggal 18 Agustus 1945.
Pancasila dalam perspektif konseptual sebenarnya sudah tergambar dalam dialektika panjang proses kelahirannya seperti diuraikan di atas. Dimana para Founding Fathers bangsa ini, berpikir keras untuk mencari sebuah dasar negara dan ideologi bangsa yang mampu mengakomodir bangsa dan rakyat Indonesia dalam kondisi yang heterogen, baik agama, ras, budaya dan suku yang menyebar di wilayah Kesatuan Republik Indonesia.
Para founding fathers bangsa ini paham dan yakin bahwa Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara akan mampu mempersatukan bangsa Indonesia dan bersama-sama mempertahankan sekaligus mengisi kemerdekaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Soeprapto, Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara (LPPKB) bahwa setiap paham filsafat pasti berisi konsep, prinsip dan nilai untuk dijadikan landasan dalam memberikan makna terhadap fenomena alam dan fenomena kehidupan serta sebagai acuan apabila paham filsafat tersebut ingin diterapkan dalam kehidupan yang nyata.
Demikian pula halnya dengan Pancasila, dimana nilai-nilai luhur kemanusiaan menjadi suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia yang bisa saling melengkapi dan saling menyempurnakan satu dengan yang lain. Nilai-nilai kemanusiaan seperti kejujuran, keadilan, persatuan, kebijaksanaan, saling tolong menolong, saling menghargai dan lain sebagainya, merupakan nilai-nilai yang dianugrahkan sang pencipta kepada bangsa Indonesia yang juga disempurnakan dengan keragaman agama, budaya, ras, golongan dan suku. Keberagaman inilah yang menjadi modal perekat kebangsaan Indonesia.
Sejatinya Pancasila
Ketika peradaban umat manusia dan bangsa semakin kompleks, maka spektrum implementasi nilai-nilai Pancasila dalam prespektif kontekstual juga semakin luas. Artinya, Pancasila dengan berbagai variabel turunannya, baik itu politik, suku, pendidikan, sosial kemasyarakatan, ekonomi, tatakelola pemerintahan dan semua aspek yang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa lepas dari jangkauan “saktinya Pancasila”.
Dalam artikel Pemikiran Syafii Maarif tentang Negara dan Syariat Islam Indonesia yang ditulis oleh Ahmad Asroni, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif menyatakan agama (Islam) cukup ditempatkan sebagai landasan etik dan spirit bernegara. Dalam konteks keindonesian, Buya, sapaan akrab Ahmad Syafii Maarif, masih meyakini bahwa Pancasila merupakan dasar negara yang tepat bagi Indonesia.
“Pancasila sebagai dasar negara harus senantiasa disinari wahyu (agama). Di bawah sinar wahyu atau agama, Pancasila mempunyai landasan moral yang kokoh, yakni moral transendental. Dengan landasan moral-religius yang kokoh, bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali menjadi pujian dunia sebagai Negara yang berhasil menciptakan harmoni kehidupan beragama sebagaimana yang pernah terjadi di masa silam”.
Senada dengan Buya, Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Dr. Mahfud M.D. menyatakan,
“Sangat vital untuk memastikan bahwa politik hukum harus berjalan sesuai dengan Pancasila. Jadi Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Jadi politik hukum itu adalah alat untuk bagaimana negara dirancang dan dikontrol agar sesuai dengan Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara, misalnya, sebagai pemersatu, pedoman hidup, dasar negara, dan Pancasila sebagai dasar negara itulah yang melahirkan perundang-undangan. Sedangkan selain sebagai dasar Negara, Pancasila sebagai pedoman perilaku, moral, etika. Jadi Pancasila itu spektrumnya sangat luas”.
Perilaku Koruptif Terhadap Pancasila
Melihat definisi korupsi secara umum, Transparency International (TI) mendefinisikan korupsi sebagai “the abuse of entrusted power for private gain“, atau memanfaatkan kekuasaan yang telah dipercayakan untuk keuntungan pribadi. Ini bisa dikategorikan dalam korupsi besar, kecil dan politik. Besaran uang juga mempengaruhi kategori korupsi. Sehingga dalam konteks “mengkorupsi” Pancasila, saya berpendapat bahwa itu adalah pemanfaatan kekuasaan untuk melegalkan berbagai aktivitas berbangsa dan bernegara yang berlindung dan mengatasnamakan nilai-nilai luhur Pancasila.
Ketika dirunut lebih jauh, nampaknya ratusan buku tidak akan pernah cukup untuk menarasikan perilaku “mengkorupsi” Pancasila. Namun saya akan mencoba melihat beberapa fenomena yang terjadi akhir-akhir ini yang sudah cukup menguras energi seluruh rakyat Indonesia.
Pertama, formalisasi syari’at Islam. Dengan berlindung dan menggunakan Pancasila, sebagian pemangku kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah, sedang mendorong terwujudnya formalisasi syari’at Islam.
Seperti dikritik oleh Buya Syafii Maarif, “bahwa kebanyakan mereka yang menghendaki pemberlakuan Syariat Islam sejatinya tidak paham tentang hakikat Syariat Islam itu sendiri. Mereka memahami Syariat Islam sebatas hukum saja, padahal syariat sejatinya merupakan agama itu sendiri (ad-din) yang bersifat holistik. Esensinya adalah keadilan, bukan hukum-hukum yang bersifat partikular”.
Kedua, Politik Identitas. Fenomena Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) sebagai simbol representasi kelompok minoritas dari kaum kristiani yang sekaligus seorang etnis tionghoa, harus rela dipenjara disebabkan oleh manuver politik identitas yang bagi sebagian kelompok Islam, dianggap sebagai kemenangan karena telah melakukan “penyucian” agama dari yang mereka sebut sebagai penistaan oleh Ahok. Kondisi ini pun berlanjut pada dialektika kontestasi-kontestasi politik berikutnya.
Ketiga, Politik Dinasti. Berlindung dalam narasi semua warga negara Indonesia mempunyai hak politik yang sama, sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Sehingga generasi-generasi yang menjadi pelopor reformasi dan pejabat pemerintahan di era reformasi “menjilat ludahnya” sendiri, karena tidak sedikit pejabat negara di era reformasi yang permisif terhadap politik dinasti. Sebut saja Megawati Sukarnoputri yang memasukkan putrinya ke dalam kabinet menteri. Amin Rais yang ketiga anaknya menjadi anggota legislative. Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan menjadikan satu anaknya sebagai Sekjen partai yang didirikannya dan mendorong satu anaknya yang lain untuk keluar dari TNI dan ikut kontestasi pada Pilkada.
Kondisi ini nampaknya tidak akan jauh berbeda akan dialami oleh Presiden Joko Widodo, dimana salah satu anaknya dan besannya juga akan segera diorbitkan dalam kancah politik. Dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terlebih di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Keempat, Pelemahan agenda pemberantasan korupsi. Revisi Undang-Undang KPK yang dilakukan secara tergesa-gesa oleh DPR juga mengatasnamakan Pancasila. Walaupun menuai gelombang demonstrasi besar-besaran secara masif di sebagian besar provinsi di Indonesia, bahkan sampai menelan korban jiwa, namun Undang-Undang tersebut tetap disahkan oleh DPR tanpa pembatalan. Disisi lain, penanganan aparat keamanan yang masih saja menggunakan pendekatan represif juga mengatasnamakan Pancasila.
Kelima, Penegakkan hukum yang tekstual, tidak kontekstual. Seorang nenek yang hanya memunguti beberapa batang pohon milik orang demi keperluan kayu bakar, diposisikan sama sebagai pencuri di mata hukum. Seorang ibu yang mencuri beberapa singkong untuk dijadikan makanan karena kelaparan, diposisikan sama dengan pencuri pada umumnya.
Masyarakat yang dimiliki tanahnya oleh para konglomerat karena tidak memiliki keadministrasian yang sah, gagal merebut kembali tanahnya karena para konglomerat memiliki surat-surat tanah tersebut, padahal masyarakat sudah menempati tanah tersebut secara turun-temurun. Masih banyak sekali kasus hukum yang ditangani melalui pendekatan formal-tekstual bukan pendekatan substansial.
Mudah-mudahan Pancasila tidak hanya menjadi jargon dan hiasan yang ditempel pada dinding kantor-kantor kelembagaan sebagai klaim Pancasilais, namun dalam realitasnya malah berjalan berseberangan dengan nilai dan cita-cita keadilan Pancasila itu sendiri. Pancasila harus kita rawat dan kita bumikan nilai-nilai luhurnya sebagai upaya bersama menjaga dan mengisi kemerdekaan menuju bangsa yang jauh lebih sejahtera, adil dan beradab.
Yusfitriadi, seorang pemerhati kebijakan publik dan aktif dalam berbagai lembaga demokrasi dan kepemiluan baik nasional maupun internasional. Saat ini beraktivitas sebagai Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia.