oleh: Firmawati, S.h., M. Hum.
Awal dikeluarkannya status pandemi yang diikuti kebijakan work from home serta study from home, kemudian bermuara pada kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), perempuan dan anak menjadi kelompok terdampak yang paling rentan.
Hal tersebut telah banyak digambarkan lewat dagelan yang bertebaran di media sosial. Misalnya muncul anekdot yang menyebutkan, “belajar dirumah sama mamah lebih galak dari pada belajar sama bu guru di sekolah, mamah kerjaannya marah-marah terus”.
Dagelan lainnya menyebutkan “selama pandemi jumlah kasus pencurian menurun sementara kasus pertengkaran suami istri meningkat”.
Dagelan tersebut bukan sekadar lucu-lucuan, namun menjadi sebuah sinyal dari keadaan faktual di masyarakat. Realita ini merupakan alarm yang menandai bahwa kesehatan mental keluarga terganggu dan eksesnya lebih banyak mempengaruhi perempuan dan anak sebagai subjek yang paling rentan.
Pada masa normal, problem kekerasan terhadap perempuan dan anak banyak dilakukan oleh orang dari lingkungan terdekat. Misalnya lingkungan keluarga, lingkungan tempat kerja, lingkungan sekolah, dan lingkungan tetangga sekitar tempat tinggal.
Dalam lingkungan terdekat ini biasanya kekerasan sulit terungkap dan bahkan berlangsung berulang-ulang. Korban pun enggan menceritakan kekerasan yang dialaminya karena merasa malu, merasa takut, bahkan merasa kebingungan harus melapor kemana.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengklasifikasikan kekerasan menjadi empat yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan penelantaran rumah tangga.
Dari empat klasifikasi, penulis menemukan berbagai bentuk kekerasan yang sering terjadi dan banyak dikonsultasikan kepada penulis.
Kekerasan fisik dengan bentuk penganiayaan dapat menimbulkan luka ringan, luka berat, menyebabkan sakit hingga hilangnya nyawa. Selain itu ada juga bentuk kekerasan terhadap anak yang oleh masyarakat dianggap wajar seperti menjewer, menyentil, mencubit dan lainnya.
Yang memperihatinkan justru masyarakat tidak menyadari perlakuan seperti itu dapat menimbulkan trauma pada anak yang juga merupakan bentuk kekerasan yang dilarang oleh hukum.
Kekerasan psikis bantuknya bisa melalui kata-kata kasar, hinaan, kata-kata kotor atau tak pantas, bentakan, menyalahkan atau memojokkan, ancaman, pengekangan dan lainnya.
Kekerasan psikis menimbulkan rasa tak berdaya, rasa terkekang, rasa tidak percaya diri. Kekerasan psikis terkadang dianggap sepele namun sebenarnya kekerasaan secara perlahan akan menimbulkan rasa sakit secara psikologis dan mental yang bisa berujung terganggunya juga kesehatan fisik.
Bentuk kekerasan seksual dalam KDRT berwujud pemaksaan hubungan intim terhadap orang-orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga. Misalnya memaksa istri atau suami behubungan intim padahal salah satu pihak tidak mau.
Contoh lainnya pemerkosaan yang pelaku atau korbannya adalah anggota keluarga antara lain anak, orang tua, saudara, asisten rumah tangga yang bertempat tinggal di rumah yang sama. Ironi yang menunjukkan banyak kasus kekerasan seksual terjadi di rumah yang semestinya menjadi tempat teraman dari ancaman predator seksual.
Kekerasan Penelantaran rumah tangga merupakan penelantaran terhadap tanggung jawab yang ada di dalam rumah tangga. Tanggung jawab tersebut harus dilakukan guna memenuhi hak pihak-pihak yang ada dalam rumah tangga.
Tanggung jawab tersebut bukan hanya finansial namun juga menyangkut dimensi emosional dan spiritual. Selama pandemi, perempuan banyak menanggung peran-peran ekstra selain tugas domestik rumah tangga. Imbas pandemi yang mengalihkan kegiatan belajar dirumah juga menjadi tugas tambahan bagi para ibu di rumah.
Kasus kekerasan yang kebanyakan menimpa perempuan dan anak bisa dilakukan oleh orang yang tak dikenal maupun oleh orang yang dikenal dekat. Kebanyakan kasus kekerasaan bermunculan melalui pranata sosial dalam lingkup rumah tangga yang seharusnya berfungsi sebagai pelindung paling pertama dan utama.
Fungsi pelindung yang berubah menjadi sebaliknya ditengarai banyak sebab antara lain latar belakang persoalan ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan, pengaruh negatif dunia digital, hingga pengaruh budaya patriarki diduga kuat menjadi tiga penyebab laten.
Dimasa pandemi, penyebab laten tersebut terakumulasi oleh ekses pandemi yang besar. Ekonomi lumpuh karena kebanyakan masyarakat hidup bertumpu dari kegiatan perdagangan barang dan jasa.
Hilangnya pendapatan harian masyarakat, kakunya rutinitas harian bekerja, belajar, istirahat selama keadaan pandemi menyebabkan guncangan psikologis dialami kebanyakan masyarakat.
Stres atau ketidakstabilan kondisi mental seseorang akan mengakibatkan respon negatif pada orang lain dan bentuk respon negatif itu bisa menjelma menjadi perilaku kekerasan.
Sensitifitas hati dan pikiran yang cenderung meningkat banyak memicu pertengkaran yang merupakan bentuk kekerasan verbal. Tanpa disadari pertengkaran yang terjadi terus menerus berpotensi menimbulkan kekerasan fisik.
Di era new normal saat status pandemi belum dicabut mungkin saja KDRT ada didekat kita atau bahkan mungkin kita mengalaminya baik sebagai korban atau pelaku. Banyak kasus KDRT tak terungkap yang mungkin akan menjadi bom waktu dikemudian hari.
Meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga terutama yang banyak menimpa perempuan dan anak merupakan alarm lemahnya ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga yang utama bersumber dari spiritualisme atas dasar ketakwaan pada Tuhan yang Maha Esa.
Dengan demikian stabilitas di tengah keluarga akan terjaga dan tercipta ketentraman, rasa saling mencintai, mengasihi dan menyayangi.
Ketahanan keluarga juga bisa ditunjang melalui edukasi pra dan paska nikah. Namun kesadaran akan edukasi keluarga ini masih minim. Terkadang persoalannya hanya satu pihak saja yang memiliki kesadaran edukasi pernikahan, tak jarang pasangan yang akan menikah tak memiliki satu frekuensi yang sama akan hal ini.
Maka sebagai salah satu upaya, edukasi pernikahan harus menjadi prasyarat mutlak yang wajib dipenuhi oleh setiap calon pasangan mempelai.
Membumikan kajian keluarga pra dan paska pernikahan merupakan upaya preventif yang harus dilakukan. Keluarga yang teredukasi akan memiliki kesiapsiagaan dalam menghadapi dinamika kehidupan berkeluarga dalam segala kondisi baik era normal maupun new normal.
Diranah represif penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga terhadap seluruh subjek yang ada dalam keluarga harus dilakukan secara sinergis. Baik pemerintah pusat hingga pemerintah desa, aparat penegak hukum, juga unsur masyarakat harus memiliki pemahaman dan keseragaman langkah bergotong royong menanggulangi KDRT di era normal maupun new normal.
Firmawati, S.h., M. Hum. adalah Dewan Pembina Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Kabupaten Pangandaran dan juga sebagai Ketua Umum Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah Kabupaten Pangandaran.