Oleh: Waspada 

       Problem anak Indonesia semakin hari semakin kompleks melengkapi semakin kompleksnya problem kebangsaan saat ini. Belum juga problem anak dapat  terurai dengan maksimal, belakangan diramaikan demosntrasi pelajar/anak ke gedung parlemen. Penulis menduga ada  kelompok yang dengan sengaja mengeksploitasi anak–anak pelajar tersebut untuk kepentingan politik ditengah – tengah kondisi bangsa yang sedang dirundung beragam tantangan. Kelompok ini kemudian tanpa rasa berdosa dan bahkan mati rasa menggerakkan mereka ke Senayan, yang boleh jadi sengaja dijadikan umpan timbulnya kekacauan Negara, yang kemudian dari peristiwa itu mereka dapat mengeruk keuntungan secara politik. Jika dugaan itu benar, maka mereka ini kelompok “biadab”, karena hanya manusia biadab yang tega dan mampu mengorbankan anak untuk memenuhi ambisinya. Menurut informamasi yang penulis catat dari berbagai media, kelompok tersebut dengan sengaja “menceko’I pelajar – pelajar dengan narkoba dan sejenisnya, dengan tujuan agar para pelajar tersebut berani bertindak anrkis, brutal, dan berani melawan petugas. Tampaknya upaya tersebut berhasil, bisa kita lihat diberbagai media TV dan medsos betapa anak – anak pelajar yang tidak tahu apa subtansi demonstrasi tersebut dengan beringasnya melawan aparat. Maka wajar kalau kemudian aparat mengamankan mereka untuk diberikan pembinaan dan pengarahan yang selanjutnya diserahkan kepada orang tua mereka. Bersyukur sebatas pengamatan penulis mereka (anak-anak pelajar yang diamankan) diperlakukan sangat baik oleh aparat kepolisian walaupun saat terlibat demonstrasi sangat brutal dan mengancam keselamatan aparat polisi.

       Berdasarkan data yang penulis terima melalui media social, ada sekitar 78 sekolah dari wilayah Jabodetabek yang terlibat dalam aksi demo anak tersebut, mirisnya ada sebagian dari anak-anak pelajar peserta demonstrasi masih pelajar SMP. Lebih memprihatinkan lagi saat mereka ditanya oleh aparat kepolisian saat diamankan, mereka mengaku tidak mengerti mau ngapain ke gedung DPR/MPR. Ada sebagian dari mereka mengaku mendapatkan upah sebesar 40 ribu untuk ikut berdemontrasi ke Senayan yang penuh resiko tersebut. Pertanyaannya adalah, apakah pihak sekolah yang siswanya terlibat demonstrasi tersebut tidak tahu?, apakah mereka sudah minta izin kepada orang tua? Hampir dapat dipastikan mereka tidak izin kepada orang tua, hal tersebut terbukti banyak orang tua menjadi was-was dan kwatir, apalagi demonstrasi pada akhirnya berujung rusuh. Pihak sekolah seharusnya bertanggunngjawab atas kejadian yang lepas kontrol tersebut, jangan sampai jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan saling menyalahkan dan lepas tanggungjawab. Setali tiga uang tampaknya lembaga yang memiliki tugas dan fungsi memberikan perlindungan terhadap anak walaupun sudah bertindak terkesan lamban menyikapi kasus ini, alih–alih memberikan perlindungan justru terkesan menyalahkan pihak kepolisian dengan entengnya mengatakan “ Polisi Tidak Punya SOP Untuk menangani demosntrasi anak “. Mestinya lembaga tersebut  langsung berkoordinasi dengan lembaga terkait anak termasuk pihak kepolisian dan  pihak sekolah untuk saling koordinasi agar peristiwa serupa tidak terjadi, tapi faktanya 2 hari kemudian masih terjadi demonstrasi serupa ( demonstrasi siswa / pelajar ). Akankah demonstrasi yang melibatkan pelajar masih akan berlanjut? Tampaknya iya, karena berdasarkan desas – desus dari berbagai sumber, masih ada upaya – upaya kelompok tertentu yang menginginkan terjadi cheos di Jakarta dengan melibatkan pelajar / anak – anak sebagai salah satu umpan hingga menjelang Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden tanggal 20 Oktober 2019. Dengan ditangkapnya beberapa actor dibalik kerusuhan, yang diantaranya adalah akademisi dari salah satu perguruan tinggi ternama, membuktikan bahwa issue rusuh untuk menggagalkan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden bukan isapan jempol. Demosntrasi adalah bagian tak terpisahkan dari demokrasi, akan tetapi jika demosntrasi kemudian digunakan untuk mendelegitamasi hasil proses demokrasi yang merupakan mandate konstitusi, apalagi dengan cara eksploitasi anak tentu itu bukan mental kastria, justru sebaliknya menunjukkan mental pecundang dan pengecut.

       Sebagai orang tua yang juga bagian dari masyarakat tentu kita tahu resiko demonstrasi yang melibatkan ribuan massa. Kita bisa bayangkan anak –anak sebagai kelompok rentan akan menjadi korban pertama jika terjadi chaos antara pendemo dengan pihak aparat keamanan, karena selain anak–anak belum berpengalaman demostrasi anak – anak juga belum mampu melindungi dirinya sendiri secara maksimal. Artinya demonstran anak – anak yang tidak tahu apa subtansi demonstrasi justru akan menjadi korban pertama jika terjadi hal – hal yang tidak diinginkan.  Tragedi meninggalnya anak-anak pada demonstrasi tanggal 22 Mei 2019 yang silam mestinya menjadi pelajaran berharga untuk tidak melibatkan anak–anak dalam kegiatan – kegiatan yang membahayakan jiwa dan masa depan anak, termasuk didalamnya demonstrasi. Kecuali memang ada kelompok – kelompok tertentu yang ingin mengorbankan jiwa dan masa depan anak untuk ambisi politiknya, dan hal tersebut sangat disayangkan, ditengah – tengah upaya mewujudkan Indonesia Ramah Anak (IRA) justru ada kelonpok atau oknum mengorganisir dan mengeksploitasi anak untuk kepentingan politik. Mengeksploitasi anak untuk kepentingan politik dengan menggerakkan anak untuk berdemonstrasi jelas melanggar Undang-Undang No. 35 Tahun 2014  Pasal 76H yang menegaskan “Setiap orang dilarang merekrut atau memperalat Anak untuk kepentingan militer dan / atau lainnya dan membiarkan  Anak tanpa perlindungan jiwa”. Sanksi bagi para pelanggar dipidana selama 5 tahun penjara. Sanksi sebagaimana dimaksud termaktub dalam pasal 87, yang berbunyi “ Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dmaksud  dalam Pasal 76H dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun  dan / atau denda paling  banyak Rp. 100.000.000,- ( Seratus Juta Rupiah ). Dalam rangka perlindungan Anak sejatinya pelaku/penggerak demonstran anak tersbut sudah memenuhi unsur pelanggaran pasal 76H tersebut. Untuk itu agar peristiwa yang memabahayakan jiwa anak tidak terulang, harus ada keberanian dan langkah tegas dari aparat kepolisian bersama lembaga perlindungan anak untuk menginvestigasi siapa actor dibalik eksploitasi anak untuk demosntrasi tersebut dan memprosesnya sesuai dengan UU Perlindungan Anak.

            Pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa demonstrasi anak – anak ini adalah kita sebagai orang tua harus jujur bahwa kita telah lalai dan abai dalam memberikan pemenuhan hak dan perlindungan terhadap anak –anak, sehingga anak –anak masuk pada ranah yang sangat membahayakan bagi dirinya. Pasal 20 Undang – Undang No. 35 Tahun 2014 secara tegas mengamanatkan bahwa; Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga dan Orang tua atau Wali berkewajiban dan  bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan  Perlindungan Anak. Nah ketika peristiwa itu terjadi dimana kita? Sehingga  anak – anak  lolos dan melenggang Senayan dengan penuh resiko yang mengancam jiwanya. Tidak itu saja mereka harus berhadapan langsung langsung dengan aparat kepolisian, yang lagi –lagi mereka juga tidak tahu harus berbuat apa. Kabar yang beredar melalui berbagai media social hingga saat ini masih ada kelompok–kelompok tak henti – hentinya berupaya memprovokasi pelajar agar mereka kembali turun kejalan untuk berdemonstrasi bersama mahasiswa. Merespon kabar tersebut bebebrapa sekolah yang berada diwilayah Jabodetabek belakangan secara intens berkoordiansi dengan aparat kepolisian setempat untuk mengantisiapasi agar anak / pelajar tidak terlibat dalam demonstrasi. Apalagi Panhgliman TNI secara tegas sudah menyatakan “ Siapapun yang berupaya menggagalkan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden akan berhadapan dengan TNI “. Hal tersebut merupakan signal agar masyarakat berhati – hati, termasuk kita semua sebagai orang tua untuk mengawasi dan membimbing anak-anak kita agar tidak terjebak provokasi terlibat demosntrasi yang rentan timbulnya kekerasan yang sulit dihindari.

      Untuk itu demi kepentingan terbaik bagi anak, kita sebagai orang tua, keluarga dan masyarakat harus sepakat “ STOP eksploitasi anak dalam bentuk pelibatkan demontrasi ataupun eksploitasi politik dalam bentuk apapun “ Jika ternyata masih ada kelompok – kelompok tertentu yang tidak memiliki sensitifitas dan perspektif perlindungan anak dan bahkan sebaliknya memperalat dan mengeksploitasi anak untuk kegiatan demostrasi maka lembaga terkait hendaknya secara tegas menindak sesuai hukum yang berlaku, sehingga kekerasan terhadap anak dapat diminimalisir. Opini yang berkembang demosntrasi akan  berlanjut hingga menjelang pelantikan Presiden & Wakil Presiden masa bakti 2019 – 2024. Sebagai salah satu pemegang mandat pasal 20 Undang – Undang Perlindungan Anak, kita memiliki tanggungjawab terhadap kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan pemenuhan serta perlindungan terhdap anak, oleh karena tidak ada alasan membiarkan anak dalam kondisi terancam. Untuk itu kita serukan kepada semua fihak jangan korbankan masa depan anak hanya untuk mengikuti nafsu dan ambisi politik belaka, karena anak–anaklah pewaris asli Negara bangsa. Kita bangun Indonesia dengan memberikan perlidungan kepada Anak-anak agar mereka semakin cerdas ceria, dan siap menerima estapet kepemimpinan bangsa. (WMK)

Loading