Oleh:
Ade Nur Cahya
Pembina Komunitas Film Muhammadiyah (KofiMu)
Film, sejak awal kemunculan pertamanya memang telah menjadi fenomena yang menarik . Betapa tidak, seiring perkembangan teknologi dan penerapannya film dapat dimasukkan dalam disiplin seni (baik sebagai hiburan saja hingga ekspresi pembuatnya), kajian komunikasi (sebagai media/kanal penyampaian pesan yang dipandang efektif), sejarah (dikaitkan dengan kemampuannya menangkap jejak sejarah perkembangan perdaban sebuah bangsa maupun dunia) dan banyak lagi kajian yang dapat diambil dari film (Said,1991:44)
Indonesia juga kaya akan film yang dapat digunakan untuk melihat sejarah dan perkembangan bangsa.Baik film yang bertema drama/roman, komedi, hingga ‘film perang’ yang sarat muatan heroik dan nasionalisme. Film-film yang dikenal sebagai film revolusi perang di Indonesia pada awalnya diproduksi tidak memiliki tujuan secara spesifik untuk propaganda/kampanye (yang bertujuan untuk mempengaruhi sikap maupun opini), melainkan lebih bersifat hiburan (pribadi) dan ekspresi seni pembuat film. Film-film revolusi (perjuangan) yang bisa kita sebut di Era itu antara lain; Untuk Sang Merah Putih (M. Said, 1950), Darah Dan Doa(Usmar Ismail,1950), Enam Jam Di Jogja (Usmar Ismail,1950). Studio PERSARI pimpinan Haji Jamaluddin Malik di tahun 1951 : Bakti Bahagia (M. Said), Bunga Bangsa (Nawi Ismail), dan Sepanjang Malioboro (H.Asby). ketiga film ini berkisah tentang kesulitan para bekas pejuang menyesuaikan diri selepas revolusi (Said,1991 :50).
Ada dua aliran dalam film pada masa perkembangannya yaitu Genre dan neorealisme. Genre adalah suatu aliran yang muncul dari film-film produksi Amerika Serikat. Wujud genre inilah yang membimbing penonton ke dalam hal-hal yang membentuk daya khayalnya, seperti penonton dibawa melihat adegan perkelahian, percintaan, dan petualangan yang yang bahkan belum pernah dialami dan dilihatnya sehari-hari. Aliran neorealisme adalah perkembangan aliran realisme yang berasal dari Italia. Perbedaan antara realisme dan neorealisme terletak pada cerita yang disajikan. Pada aliran realisme lebih terfokus pada cerita masa Romawi dan Yunani kuno, sedangkan pada neo realisme terfokus pada cerita-cerita abad ke-15 sampai 19, seperti perjalanan Columbus dan lainnya.
Untuk bisa menilai, maka seperangkat pengetahuan haruslah dimiliki penonton. Pengetahuan itu direkam dalam benak penonton untuk diolah pada saat menonton. Pengetahuan yang menjadi rekaman ingatan itu adalah simpul-simpul kenyataan yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari, tempat dia dan lingkungannya berada. Dengan meminjam istilah Richard Griffth yang mengatakan bahwa film adalah sekumpulan upaya untuk mengenang kembali apa yang pernah dialami seseorang dalam kehidupan sehari-hari. (Arief, 2010: 2-3).
Film sebagai media dapat dimaknai sebagai kanal pembebasan, mesin yang bisa dipakai untuk mengungkapkan berbagai rasa dari para pembuatnya. Disadari atau tidak ,Film adalah bahasa komunikasi yang paling cepat ditangkap oleh manusia , sehingga melalui Film, kita dapat mengerti apa visi-misi yang diemban cerita film tersebut, atau lazin disebut amanat film. proses produksinya saja juga merupakan hasil karya yang sempurna dimana terdapat komunikasi yang mengalir (suara dan gambar) sehingga tak jarang film digunakan untuk alat komunikasi massa yang bertujuan untuk hal yang kita inginkan.
Sejak 1958 bisa dikatakan politik perfilman tidak jelas. Dilihat dari sisi proteksi untuk produksi dalam negeri belum memadai, sementara film impor tetap merajalela. Sepanjang sejarahnya film Indonesia memang belum berhasil menjadi bagian dari media ekspresi golongan intelektual. Film sebagai media ekspresi dapat dilihat sebagai kegagalan kaum intelektual Indonesia merebut media yang memungkinkan mereka melakukan kontak langsung dengan massa (Said, 1991, 44).
Pada era orde baru, Film dijadikan propaganda politik pemerintah orde baru, dimana film pemberontakan G 30 S / PKIditayangkan rutin setiap tahun. Film yang ditulis dan sekaligus disutradarai oleh Aarifin C. Noor.Naskah skenario dirampungkan dalam 265 halaman, dan hanya 5 lembar halaman saja yang menayangkan seorang tokoh sebagai Suharto. Dalam aturan penulisan secara logika jika hanya 5 lembar halaman munculnya tokoh Suharto, maka hanya 5 menit sebelum akhir filmtokoh tersebut baru dimunculkan. Namun kenyataannya lain, 30 menit sebelum sang tokoh diperankan, sudah muncul dan dikesankan sebagai pahlawan yang menyelesaikan pemberontakan PKI.
Demikianlah sebuah contoh yang dapat kita lihat untuk menggambarkan bagaimana kondisi perfilman zaman orde baru yang berbau propaganda.
Satir politik seniman Warkop juga menjadi hal yang menarik, Warkop yang beranggotakan Dono, Nunu, kasino dan Indro yang berlatarbelakang aktivis mahasiswa yang melawan rezim orde baru tetapi mereka memiliki keahlian seni yang luar biasa. Warkop menjadi elemen yang berperan cukup aktif mengkritik orde baru walaupun masih dalam batas-batas yang jinak melalui satir-satir politik. Kritik sejenis ini tidaklah terlalu mengganggu kekuasaan , dan malah menjadi pelampiasan sosial. Awal berkiprah dari kegiatan mapram dikampus lalu beralih ke radio prambors dan TVRI sebelum mulai memproduksi Film, warkop menampilkan ruang kritis yang unik dan berbeda.
Satir-satir politik warkop politik warkop dibungkus menggunakan musik yang bernada minor untuk mewakili generasi muda Indonesia yang menjiplak habis musik Barat. Kebetulan , musik Barat ketika itu dianggap sebagai kendaraan yang pas untuk menyatakan ekspresi yang demokratis. Generasi muda Warkop mengalihkan pertempuran melawan kekuasaan melalui serangkaian happening arts yang telah disiapkan oleh warkop. Mereka “mengalah”, bukan “menyerah”.
Era reformasi menjadikan ekspresi Film semakin bebas, segala yang difikirrkan bisa diutarakan dan disampaikan, tetapi banyak kritikus Film yang menyatakan sebagai “ era bebas yang kebablasan, sebut saja film-film horor yang tak tanggung-tanggung konyolnya, gurauan komedi sekarang bukan lagi menjurus bahkan menyentuh dan membuka tabir seksualitas. Film-film sensual berkedok horor, komedi, drama dan action menggejala dan dianggap wajar saja.
Semua penggiata perfilman Indonesia harus bangun kembali sisi intelektualitasnya. kita harus mendidik para sineas-sineas agar tak hanya bisa membuat film-film untuk kebutuhan pasar produksi hingga karya yang diciptakan cenderung banal!. kita kembalikan film-film Indonesia sebagai ekspresi politik dan sosial bangsa kita.