Oleh: Halwan Fauzi
Bulan lalu pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) – kabinet dan anggota dewan yang periode 2014-2019 – menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 1 Pasal 7 tentang Perkawinan.
Batas usia menikah bagi perempuan dan laki-laki kini sama, yaitu menjadi 19 tahun. Sebelumnya, batas usia pernikahan perempuan menjadi 16 tahun.
Resivi UU Perkawinan juga menambahkan, dispensasi bagi yang akan menikah di bawah usia 19 tahun harus dimintakan ke pengadilan disertai bukti yang menjadi alasan permintaan dispensasi. Sebelumnya, dispensasi dapat dimintakan orang tua calon mempelai laki-laki dan perempuan kepada pejabat lain. Pengetatan perkawinan anak juga mengatur dalam penambahan Pasal 7 Ayat (3), yaitu pengadilan wajib mendengarkan pendapat kedua calon mempelai.
Pemerintah dan DPR segera mengatur pencegahan perkawinan usia dini dengan memberikan pengetahuan memadai kepada orang tua dan remaja mengenai kerugian menikah pada usia muda. Sudah saatnya pemerintah mengembangkan kurikulum kesehatan reproduksi remaja. Tujuannya agar anak dan remaja memahami tanggung jawab terhadap diri dan masa depannya, termasuk menghindari hubungan seks sebelum menikah.
Pernikahan pada dasarnya bukan sekedar persoalan usia, melainkan juga kesiapan fisik, psikologi, dan ekonomi calon mempelai. Dua hal pertama biasanya memunculkan berbagai risiko, mulai dari ancaman terhadap kesehatan reproduksi yang dapat berakibat kematian ibu dan bayinya, kekerasan dalam rumah tangga, peceraian, hilangnya masa kanak-kanak, hingga hilangnya potensi sumber daya manusia unggul karena anak kehilangan kesempatan dalam mengembangkan diri melalui pendidikan di sekolah.
Keberhasilan program kerja kabinet jilid dua yang di pimpin oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, serta komposisi anggota dewan yang baru dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia di era baru, demi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Tuhan Yang Maha Esa dengan naiknya usia perkawinan.
Gambar diambil dari www.tagar.id