BOGOR, VISINEWS.Net – Omnibus Law atau Undang-Undang sapu jagat menjadi perbincangan hangat diindonesia usai DPR, DPD, dan perwakilan pemerintah Joko Widodo menyetujui agar RUU cipta kerja ditetapkan menjadi Undang-Undang pada Senin (5/10/2020) lalu.
Visinews.Net mengulas Omnibus Law yang Kontroversial hingga saat kemarin disahkan menjadi Undang-Undang pun masih menimbulkan pertentangan.
Fakta singkat
Ada banyak pengertian soal Omnibus Law. Secara harfiah, definisi omnibus law adalah hukum untuk (mengatur) semua (hal). Istilah ‘omnibus’ berasal dari bahasa latin, yakni omnis-e yang berarti ‘untuk semua’ atau ‘banyak’.
Di Indonesia, omnibus law dipahami sebagai teknik atau metode untuk membuat regulasi atau undang-undang yang mencakup banyak subjek atau materi pokok yang bertujuan tertentu guna menyimpangi suatu norma peraturan.
Awal Mula
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato usai dilantik menjadi Presiden 2019–2024 dalam sidang paripurna MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019).
Dalam sambutannya ia menyampaikan akan mengajukan dua undang-undang omnibus law, yakni RUU Cipta Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM.
Tujuan
Mempersingkat birokrasi, mendorong investasi, menguatkan perekonomian nasional, yang tujuan akhirnya adalah untuk mengefektifkan penerapan peraturan tersebut.
Proses legislasi
Omnibus law diusulkan untuk masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020.
(Perkembangan per 9 Juli 2020: Pembicaraan Tingkat I pada Rapat Panja Pembahasan DIM RUU tentang Cipta Kerja di DPR hingga di sahkan menjadi UU pada 2 Nivember 2020).
Urgensi UU Omnibus Law
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menggelar dialog virtual dengan Forum Rektor Indonesia (FRI) mengenai subtansi Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja pada Minggu malam (11/10/2020). Dia menjelaskan, ada 4 hal urgensi disahkannya UU Cipta Kerja oleh DPR RI.
Pertama, perpindahan lapangan kerja ke negara lain. Kedua, daya saing pencari kerja relatif rendah dibanding negara lain. Ketiga, penduduk yang tidak atau belum bekerja akan semakin tinggi. Terakhir, Indonesia masih terjebak dalam pendapatan level menengah (middle income trap).
“UU Cipta Kerja adalah salah satu instrumen untuk mempercepat hal ini,” ujarnya seperti dikutip dalam keterangan tertulis, Senin (12/10/2020).
Terkait urgensi pengesahan RUU Omnibus law PUSKAPOL UI Hurriyah beranggapan bahwa dilihat dari bias kepentingan bagi pemerintahan, RUU Omnibus law ini memang cukup efektif untuk memperbaiki iklim investasi, memperbaiki pertumbuhan ekonomi, maupun penciptaan lapangan kerja. Namun, jika dilihat dari Kacamata kemanusiaan, Hal ini terkesan mengorbankan keadilan ekonomi, dan masyarakat lah yang menjadi korbannya.
” Jika di lihat, sebenarnya dampak dari RUU Omnibus law terhadap Sektor ekonomi negara hanya pada perbaikan makro. Sementara itu, akan rentan sekali terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sudah diatur dalam UUD 1945.” Ucapnya saat dihubungi Visinews.net pada Rabu, (07/10/2020).
Target
Dengan penetapan RUU Cipta Kerja, diharapkan terjadi perubahan struktur ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 5,7 persen hingga 6,0 persen melalui:
- Penciptaan lapangan kerja sebanyak 2,7 hingga 3 juta per tahun (meningkat dari saat ini 2 juta per tahun), untuk menampung 9,29 juta orang yang tidak atau belum bekerja (7,05 juta pengangguran dan 2,24 juta angkatan kerja baru).
- Pemberdayaan UMKM dan koperasi yang mendukung peningkatan kontribusi UMKM terhadap PDB menjadi 65 persen dan peningkatan kontribusi koperasi terhadap PDB menjadi 5,5 persen.
- Peningkatan produktivitas pekerja, yang berpengaruh pada peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Produktivitas Indonesia (74,4 persen) masih berada di bawah rata-rata negara ASEAN (78,2 persen).
- Peningkatan kompetensi pencari kerja dan kesejahteraan.
- Peningkatan investasi sebesar 6,6–7,0 persen, untuk membangun usaha baru atau mengembangkan usaha eksisting, yang akan menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan pekerja sehingga akan mendorong peningkatan konsumsi (5,4 sampai dengan 5,6 persen).
Jika RUU Cipta Kerja tidak disusun, diprediksi:
- Indonesia terjebak dalam middle income trap (suatu keadaan ketika suatu negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah, tetapi tidak dapat keluar dari tingkatan tersebut untuk menjadi negara maju).
- Lapangan kerja akan pindah ke negara lain yang lebih kompetitif.
Penduduk yang tidak/belum bekerja akan semakin tinggi.
Daya saing pencari kerja relatif rendah dibanding negara lain.
(Sumber: Paparan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR tanggal 8 Juli 2020).
Buruh Menolak
RUU tersebut telah disepakati selesai dibahas di tingkat I disepakati Sabtu (3/10/2020) jelang tengah malam oleh tujuh fraksi partai politik di DPR RI, DPD RI, dan pemerintah.
Hal ini membuat banyak elemen masyarakat yang selama ini menolak RUU tersebut kecewa dan menyatakan akan melakukan aksi penolakan.
- Aksi 6,7,8 Oktober 2020
“Tangggal 6, 7 ,dan 8 Oktober 2020 kami akan melakukan aksi di berbagai daerah, dan puncaknya tanggal 8 di DPR RI,” kata Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos dalam konferensi pers virtual, Minggu (4/10/2020).
- Aksi 20 oktober 2020
Para buruh kembali menggelar aksi di DPR, Jakarta, Senin (20/10/2020). Aksi dilatarbelakangi penolakan mereka terhadap Omnibus Law yang sedang dikerjakan pemerintah pusat.
“Untuk menolak gerakan Omnibus Law ini. Pada hari Senin anggota yang tergabung dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan afiliasi lainnya akan turun sebanyak 25 ribu anggota,” ujar Sekjen FSPMI Riden Hatam Aziz di LBH Jakarta, Sabtu (18/10/2020).
- Aksi 2 November 2020
Aksi menolak RUU Cipta Kerja akan berlangsung pada Senin 2 November 2020. Demonstrasi tersebut digelar oleh puluhan ribu buruh yang tergabung dalam 32 konfederasi dan federasi seperti KSPI, KSPSI AGN, dan Gekanas. Aksi demonstrasi ini akan dilakukan serentak di 24 provinsi.
“Tuntutan yang akan disuarakan adalah, batalkan Omnibus Law UU Cipta Kerja dan menuntut agar upah minimum tahun 2021 (UMP, UMK, UMSP, dan UMSK) tetap naik,” Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dalam keterangannya, Minggu (1/11/2020).
“Aksi akan dilanjutkan 9 November 2020 di DPR RI untuk menuntut dilakukannya legislative review. Tanggal 10 November 2020 di kantor Kementerian Ketenagakerjaan untuk menuntut upah minimum 2021 harus tetap naik,” lanjutnya.
Mahasiswa dan Pelajar Bersuara
Mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia secara serentak menyuarakan aspirasi mereka dengan Demonstrasi sejak tanggal 6 oktober 2020.Berikut, rangkuman Visinews.net :
- Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyatakan mahasiswa dari seluruh daerah di Indonesia akan menggelar aksi menolak pengesahan UU Cipta Kerja oleh Pemerintah dan DPR RI.
“Kami dari Aliansi BEM SI akan melaksanakan Aksi Nasional yang dilaksanakan terpusat pada tanggal 8 Oktober 2020, dan juga akan ada aksi serentak menuju tanggal 8 Oktober 2020 di wilayah masing-masing,” kata Koordinator Pusat Aliansi BEM SI Remy Hastian, Selasa (6/10/2020).
“Berangkat dari pengesahan UU Ciptakerja oleh DPR – RI, yang membuat kegaduhan di negara Indonesia, hingga aksi besar berbagai elemen mahasiswa dan masyarakat, di istana Kepresiden Bogor kemarin (08/10/2020). Maka kami (IMM_red) jika tidak ada sikap Pemerintah dalam dua minggu kedepan, kita lanjutkan aksi yang lebih besar,” ujar Ketua Umum IMM cabang Bogor Muhamad Yunus, Sabtu (10/10/2020).
- Selasa (20/10/2020), sekelompok mahasiswa yang menyebut dirinya sebagai Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia (SI) dilaporkan tengah menggelar unjuk rasa di sekitar patung kuda, tidak jauh dari Tugu Monas, Jakarta.
“Kami tetap menyampaikan #MosiTidakPercaya kepada pemerintah dan wakil rakyat yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat,” kata Koordinator Pusat Aliansi BEM SI, Remy Hastian, melalui keterangan tertulis, Senin (19/10/2020).
(Sumber : Berbagai Sumber)
Polemik jumlah Naskah UU Cipta Kerja
Ada empat versi naskah UU Cipta Kerja yang beredar sejak 5 Oktober lalu.
Versi pertama setebal 905 halaman yang dibagikan oleh pimpinan Badan Legislasi DPR dan staf pimpinan DPR. Versi kedua ialah naskah setebal 1.052 halaman yang beredar pada 9 Oktober. Kemudian pada Senin, 12 Oktober pagi, beredar lagi naskah setebal 1.035 halaman. Malamnya, beredar kembali naskah setebal 812 halaman yang akhirnya dikonfirmasi pimpinan DPR dalam konferensi pers kemarin.
Dari keempat versi naskah tersebut, Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengonfirmasi tiga di antaranya,yakni naskah 905 halaman, 1.035 halaman, dan 812 halaman.
Pada Senin pagi, Indra mengatakan naskah yang akan dikirim kepada Presiden Joko Widodo setebal 1.035 halaman.
Kemudian pada Senin malam, Indra mengatakan naskah terakhir yang akan dikirim ialah berjumlah 812. Ia menyebut perubahan ini lebih ke format halaman.
Jokowi teken UU Cipta kerja
Presiden Joko Widodo resmi meneken omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja, Senin (2/11). Undang-undang Cipta Kerja diundangkan dalam nomor 11 tahun 2020.Salinan UU Ciptaker sudah diunggah di situs resmi Kementerian Sekretaris Negara (Kemensetneg) dan bisa diakses publik lewat jdih.setneg.go.id.
Dengan demikian, seluruh ketentuan dalam UU Cipta Kerja mulai sejak 2 November 2020.
Beberapa pasal dinilai Keliru
“Terdapat banyak pasal yang overlap atau tidak koheren antar satu pasal dengan pasal lain” Ucap Direktur Eksekutif Democracy and Electoral and Empowerment Partnership (DEEP), Neni Nurhayati saat dihubungi wartawan Visinews. Net, Rabu (04/11/2020).
Salah satunya, mengenai ketidakjelasan isi dari Pasal 6, yang menginstruksikan terlaksana sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf a; sementara pada Pasal 5 tidak memiliki turunan.
Selain masalah Pasal 6 dan Pasal 5, kesalahan redaksional juga terjadi pada BAB XI Pelaksanaan Administrasi Pemerintah untuk mendukung Cipta Kerja (Halaman 749), p ada Bagian Kelima Izin, Standar, Dispensasi, dan Konsesi Pasal 53 ayat (5) berbunyi: ‘ketentuan lebih Keputusan dan / atau Tindakan yang diatur dalam hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.’
Sementara ayat (3) tidak membahas tentang pengabulan secara hukum, karena berbunyi: “Dalam hal permohonan datang melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik keputusan dan / atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang dilakukan.”
Semestinya hal itu pada ayat (4) karena memuat pengabulan secara hukum, berbunyi: “Apabila dalam batas waktu yang dimaksud pada ayat (2) ‘, Badan dan / atau Pejabat Pemerintahan tidak dapat menentukan dan / atau melakukan Keputusan dan / atau Tindakan, permohonan dapat dikabulkan secara hukum. “
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral and Empowerment Partnership (DEEP), Neni Nurhayati mengatakan bahwa Perbaikan mekanisme kekeliruan atas UU yang telah ditandatangi mestinya dapat mengikuti mekanisme konstitusional. Sebab UU yang sudah disahkan itu sifatnya mengikat untuk semua orang.
” Justru tatkala mekanisme tersebut dilakukan tanpa mengikuti ketentuan konstitusional akan memicu pelanggaran formil dalam implementasi juga penyusunan UU Cipta kerja ini. ” Tuturnya saat dihubungi Visinews.net Rabu, (04/11/2020).
“Ada banyak kesalahan administrasi ini kan sebenarnya menarik, terlihat jelas bahwa pengesahan itu dilakukan dengan cepat dan tergesa gesa, sehingga mengabaikan proses dan perencanaan yang baik juga ketepatan dan kecermatan,
” Seperti Dalam UU No 12 Tahun 2011, UU No 15 Tahun 2019 kan jelas dikatakan tidak boleh ada perubahan apapun terhadap isi suatu UU. Ketika UU telah ditandatangani presiden itu adalah produk final dari prosedur pembentukan UU. Semoga sih pemerintah dan DPR bisa mempertimbangkan untuk keluarnya Perppu”. Tambahnya.
Apakah Omnibus Law harus dibatalkan?
“Kalau melihat Pasal 88, 91 jelas ini hanya menguntungkan dan memuluskan pembisnis dan elite politik saja serta merugikan kaum buruh yang apabila dilanjutkan dikhawatirkan dalam implementasinya ini akan banyak menimbulkan multi tafsir.” Ujar Neni.
“Uji formil ke MK lakukan perbaikan atas pasal yang merugikan rakyat. Presiden punya wewenang lebih, Semua bergantung pada presiden. Pertanyaannya berani ga presiden mengambil keputusan untuk berpihak pada rakyat?” Tutupnya.