Oleh: Raja Faidz el Shidqi, Sekbid Hikmah Politik dan Kebijakan Publik IMM FISIP UMJ
Dalam perjalanannya sebagai sebuah organisasi terlebih di tahun 2020 ini telah cukup banyak yang terjadi, peristiwa-peristiwa yang berasal dari organisasi tersebut yang cukup membuat atmosfir politik di Indonesia menjadi panas dingin seperti misalnya saja sejak awal kepulangan Habib Muhammad Rizieq Syihab, Pemimpin FPI pada 10 November 2020 kemarin.
Bak pahlawan yang sempat pergi meninggalkan Indonesia beberapa tahun yang lalu membuat para pengikutnya seolah mendapatkan angin segar karena Sang Pemimpin telah pulang ke tanah air.
Bahkan, ada salah satu tulisan yang dari website theconversation.com yang berjudul “Dari Muhammadiyah ke FPI: bagaimana aktivis Islam moderar berubah menjadi radikal.”
Ini menyinggung terkait sejumlah aktivis Muhammadiyah yang beralih pandangan kepada FPI karena menganggap bahwa langkah gerak FPI jauh lebih berani dan tegas dalam dakwah amar makruf nahi munkar.
Begitu juga dengan para aktivis NU yang lebih beralih pandang kepada FPI dengan alasan yang sama, yaitu langkah gerak yang lebih berani dan tegas.
Muhammadiyah dan NU
Minggu yang lalu ramai kabar bahwa Muhammadiyah berencana menarik Dana dari Bank Syariah Indonesia (BSI) yang disampaikan oleh Sekretaris PP Muhammadiyah, Agung Danarto pada konferensi pers daring, Selasa (22/12) tetapi sampai sekarang belum ada kejelasan kembali kapan dana tersebut akan ditarik dan berapa besaran jumlah dana yang dimiliki Muhammadiyah di BSI.
Belum selesai wacana tersebut bergulir, Pemerintah justru menawarkan jabatan Wakil Menteri kepada Bapak Abdul Mu’ti yang direspon dengan penolakan yang cukup halus dan elegan.
Menurut Pak Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005 – 2015) Tawaran Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) adalah tawaran yang merendahkan marwah Muhammadiyah, dan memang benar bahwa Anggota Muhammadiyah itu tidak gila terhadap suatu jabatan tetapi dengan tawaran Wamendikbud sendiri berarti merendahkan marwah Persyarikatan karena mengingat bahwa jabatan yang diberikan tidak sesuai dengan kapasitas yang dimiliki oleh Prof.
Dr. Abdul Mu’ti yang seorang Guru Besar dan Pakar Pendidikan yang mumpuni. Bagi Penulis sendiri tawaran tersebut justru menjadi pedang bermata dua bagi Pemerintah, karena bisa saja PP Muhammadiyah mengambil langkah semakin mantap terkait wacananya yang akan menarik dana dari Bank Syariah Indonesia (BSI) terkait tawaran yang terkesan merendahkan marwah Muhammadiyah tersebut, walaupun hal tersebut terkesan tergesa-gesa dan menimbulkan banyak stigma terhadap Muhammadiyah akan tetapi hal tersebut bisa saja menjadi kemungkinan yang akan terjadi kedepannya.
Lalu, adapula Opini yang beredar dengan Judul “MeMuhammadiyahkan Rizieq Syihab.” Lantas direspon oleh Bapak Ust. Sukriyanto AR, yang juga anak kandung dari Bapak AR.
Fachruddin Ketua Umum PP Muhammadiyah paling lama yang menyatakan bahwa tidak perlu Me-Muhammadiyahkan HRS, dalam tanggapan yang ditulis secara spontan di WhatsApp Group Islam Berkemajuan oleh Ust. Sukriyanto bahwa Pemimpin yang diperlukan Muhammadiyah bukan pemimpin yang gegap gempita dan dapat disimpulkan dari sikap ditulisan tersebut yang ditujukan untuk HRS, yaitu biarlah HRS tetap pada posisinya, kita hormati, tetapi Kepemimpinan di Muhammadiyah berbeda. Wallahu ‘alam.
Tidak tanpa akibat, sebuah asap pasti tidak akan muncul tanpa adanya api, begitu pula dengan api tidak akan muncul jika tidak ada faktor-faktor yang menyebabkan api tersebut muncul.
Dampak yang disebabkan akibat berubahnya pandangan aktivis-aktivis Muhammadiyah dan NU terhadap FPI juga bisa dibilang cukup serius. Secara kebudayaan, Islam Indonesia yang dikenal dengan wajah moderat bergeser menjadi konservati-radikal. Wajah yang lebih menghargai tradisi-tradisi lokal, tentu dengan menghindari TBC (Tahayul, Bid’ah, Churafat) yang dibawa KH. Ahmad Dahlan berubah pula seiring populisme FPI dan Pendukung-pendukungnya yang menonjolkan identitas kearab-araban.
Dalam segi ideologis, adanya penggerusan ideologi Muhammadiyah yang semula moderat dan toleran yang mana Buya Syafii Maarif mengatakan bahwa beliau melihat ini dengan tema Muhammadiyah rumah besar toleransi itu suatu cita-cita besar, dan harus diakui memang itu selalu suatu idealisme yang tidak mudah untuk dilaksanakan justru tergerus karena munculnya polarisasi ini yang berdampak pada tergerusnya nilai Ideologi Muhammadiyah menjadi konservatif dan ekslusif.
Dan secara Sosiologis, peralihan pandang-pandangan ini cukup mengganggu sistem kerja dan tradisi Muhammadiyah yang sudah matang, terlihat dari tidak efektifnya imbauan dari ulama-ulama Muhammadiyah karena kalah popular dari Pimimpin FPI Habib Rizieq Syihab.
Tentu hal tersebut tidak bisa sepenuhnya dipersalahkan kepada FPI ini, tetapi hal tersebut tidak bisa dibiarkan terus-menerus terjadi. Kadang penulis merasa sedih ketika Pimpinan Pusat Muhammadiyah maupun Ortomnya mengeluarkan sebuah statement yang dirasa ‘kurang cocok’ bagi mereka yang mengikuti FPI langsung saja dicerca dan dibully disosial media.
Di lingkup organisasi NU sendiri juga ternyata banyak teman-teman saya yang terlihat lebih simpati terhadap FPI terlebih sejak kemarin Pemerintah memutuskan untuk membubarkan dan melarang segala kegiatan FPI di Indonesia yang mana hal tersebut disampaikan oleh Bapak Mahfud MD selaku Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), juga ditambah dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Menteri Agama yang baru yaitu Gus Yaqut yang juga Ketua Umum GP Ansor yang akan mengafirmasi Ahmadiyah dan Syiah karena dianggap memiliki hak yang sama dan setara dimata hukum dengan Muhammadiyah dan NU.
Pelarangan FPI
Pada konferensi pers yang digelar di kantor Kemenko Polhukam, Bapak Mahfud MD mengatakan; “Kalau ada sebuah organisasi mengatasnamakan FPI itu dianggap tidak ada dan harus ditolak karena legal standingnya itu tidak ada, terhitung hari ini.” Jakarta, Rabu (30/12) secara Prinsip juga FPI sebagai organisasi kemasyarakatan telah bubar sejak 20 Juni 2019.
Hal ini juga dikomentari oleh Bapak Prof. Dr. Abdul Mu’ti selaku Sekretaris Umum PP Muhammadiyah yang berisi 6 poin yaitu;
- Soal status illegal memang karena Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI sudah habis masa berlaku maka itu sudah dengan sendirinya illegal atau dinyatakan tidak ada,
- Pemerintah tidak perlu membubarkan karena secara hukum sudah bubar dengan sendirinya dan masalahnya mengapa baru sekarang ?,
- Pemerintah diminta untuk adil untuk tidak tegas hanya kepada FPI tetapi kepada ormas lain juga yang tidak memiliki SKT,
- Hukum harus ditegakkan bagi orgmas yang kegiatannya meresahkan masyarakat suka sweeping dan main hakim sendiri,
- Masyarakat tidak perlu menyikapi dan bereaksi berlebihan hingga menganggap Pemerintah anti Islam,
- Jangan hanya tegas ke FPI tetapi tidak bereaksi terhadap ormas lain.
Mungkin dari ke 6 poin yang disampaikan oleh Bapak Abdul Mu’ti, poin nomor 5 lah yang rasanya sulit untuk dilaksanakan atau direnungkan.
Pasalnya sering saya atau pembaca sekalian temukan komentar-komentar yang mengarahkan tuduhan bahwa rezim yang ada sekarang adalah rezim komunis, anti Islam dan sebagainya ketika pertikaian semakin panas terlebih antara Pemerintah dan FPI itu sendiri.
Miris sekali rasanya melihatnya, kita Umat Islam yang mengaku sebagai Umat terbaik dizamannya ini terkadang mudah sekali menuduh sesuatu atau seseorang dengan tuduhan-tuduhan yang belum bisa dibuktikan dengan fakta-fakta dan seharusnya hal ini dijadikan pembelajaran bagi kita semua khususnya Umat Islam bahwa kita tidak bisa sewenang-wenang melakukan sesuatu yang sudah ada aturannya apalagi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Terlepas dari banyaknya Oknum-Oknum Pemerintah dan Aparat yang mereka sendiri melanggar Hukum yang ada dengan seenaknya hal tersebut tidak bisa dijadikan pembenaran bagi kita untuk melakukan hal yang sama, karena jika kita melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan lalu apa bedanya Umat Islam yang taat dengan mereka yang sering dihina, dibully, dicerca dikarenakan tindakannya yang sering melawan Hukum dan merugikan banyak orang ?
Penulis sendiri sering katakan kepada teman-teman ketika berdiskusi, bahwa jika kita menginginkan perubahan terlebih dalam sistem bernegara kita harus mau dan mampu untuk masuk kedalam sistem negara itu sendiri dan merubahnya bersama-sama.
Perubahan tidak cukup dilakukan dari luar sistem dan hal tersebut mungkin terkesan sangat sulit bahkan tidak mungkin terjadi, tetapi yang terjadi sekarang adalah banyaknya orang tidak setuju dengan sistem yang ada tetapi tidak mau masuk kedalam untuk merubahnya secara langsung.
Lebih dari itu mental kebanyakan masyarakat Indonesia masih lemah dan mudah sekali ‘digoyang’ ketika Kontestasi politik tiba dan hanya menerima sejumlah uang langsung beralih pilihan dan memang tidak bisa dipungkiri segala macam permasalahan yang ada dan timbul di Negara ini diawali dari kontestasi politik semacam itu.