oleh:
Dodi Partawijaya
Makna kebersamaan terkadang hanya sebatas simbol dan pelengkap kalimat berdiskusi, padahal dalam sisi makna, kebersamaan itu bersifat luas dan bermacam-macam bergantung pada bagaimana seseorang bisa menerapkannya baik itu dilingkungan pekerjaan maupun di lingkungan keluarga. Yang pada hakikatnya hanya kebersamaan yang hakiki lah yang bisa dijadikan pegangan ketika kita di hadapkan dengan sebuah permasalahan yang dihadapi.
Allah swt berfirman, “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabb mu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabb mu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az-Zukhruf: 32)
Sungguh indah kebersamaan dalam jamaah dan sungguh nikmat hidup dalam keteraturan di bawah satu penguasa. Sebagaimana dikatakan: Al-Jama’atu rahmah wal furqatu ‘adzab (kebersamaan adalah rahmat, sedangkan perpecahan adalah adzab). Oleh karena itulah Allah swt melarang perpecahan dalam beberapa ayatnya. Di antaranya Allah berfirman:
“…Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32)
Demikian pula Allah swt berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Perhatikan kandungan ayat-ayat suci al-qur’an diatas yang menjelaskan tentang bukan pembelaan kepada para penguasa yang jahat dan dzalim. Tetapi makna ayat suci di atas menunjukkan betapa pentingnya kebersamaan di bawah kepemimpinan seorang penguasa. Bisa dibayangkan, betapa jeleknya seorang yang meruntuhkan atau merusak kebersamaan ini dengan sikap menentang penguasa muslim, memberontak dan memeranginya.
Memang kebanyakan orang yang merusak kebersamaan ini berniat baik, yaitu mengingkari kemungkaran. Tetapi kenyataannya, mereka mengganti kemungkaran dengan kemungkaran yang lebih besar. Mereka mengganti kedzaliman penguasa dengan perang saudara sesama kepercayaan, sesama saudara dalam kemanusiaan. Atau mengganti keteraturan dan kepemimpinan dengan kekacauan dan pertumpahan darah. Apakah ini sebuah hikmah? Ataukah ini suatu kebodohan yang nyata?
Hanya orang-orang yang terus belajar dan merefleksikan pikirannya yang akan mampu membuka rahasia di balik kehendak Allah Swt dalam menciptakan perbedaan. Semakin sombong seseorang, maka semakin sulit mengambil ibrah dan hikmah dari perbedaan yang ada.
Di dalam Alquran telah ditentukan bahwa manusia dan semua makhluk dengan segala yang berbeda-beda, apa pun yang sia-sia, apa pun yang ada, hikmah yang terbaik adalah bagi manusia yang berpikir. Perbedaan pendapat juga tidak mendukung untuk menjadi sumber konflik bagi manusia.
Allah menciptakan seluruh manusia berbeda-beda agar manusia saling mengenal dan merenungi makna indahnya pembangunan dalam perbedaan. Firman-Nya, “Wahai manusia, sungguh Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian membuat kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku memakai kamu saling kenal-kenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal ” (QS. Al-Hujurat: 13).
Perbedaan hanyalah sebuah dinamika dalam sebuah keberagaman, maka sudah sepatutnyalah kita merawat kebersamaan ini dalam sebuah perbedaan dalam bingkai nyata berkehidupan.
Wallahu a’lam.
Cimalaka, 22 januari 2020