Oleh: Ramdan Nugraha
Saya masih meyakini bahwa pendidikan merupakan salah satu solusi utama dalam upaya mengatasi segala bentuk masalah yang hadir di Indonesia. Boleh kita tengok pintasan sejarah ketika Muhammadiyah, hadir melalui gagasan besar Kyai Dahlan yang menginspirasi santri-santrinya untuk membela kelompok yang termarjinalisasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Hal utama yang menjadi konsentrasi Kyai Dahlan saat itu adalah bagaimana anak-anak yang berasal dari keluarga yang sangat lemah secara finansial, bisa mendapatkan pendidikan yang layak dan dapat membantu mereka untuk memliki pola pikir yang lebih rasional dalam menjalani aktivitas kesehariannya.
Kondisi masyarakat yang pada saat itu masih lebih menghormati tradisi takhayul yang hanya menyulitkan kehidupan mereka dengan beragam ritus yang dipaksa-adakan dengan segala keterbatasan sandang, papan dan pangan, akhirnya pelan-pelan bisa diajak untuk mengaktivasi logika sederhana melalui jalan pendidikan.
Kyai Dahlan sadar bahwa pendidikan adalah salah satu fokus gerakan yang bisa membawa perubahan signifikan untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat yang masih berada dalam ketakutan mitos, yang kemudian bisa bangkit dan maju menjelma menjadi masyarakat yang lebih beradab dan berdaya dengan terbukanya pola pikir dan luasnya wawasan dengan pelbagai pengetahuan.
Hari ini, dengan dimiliki dan dikelolanya ribuan lembaga pendidikan mulai Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi yang lulusannya memiliki kualitas yang sangat kompetitif dan kontributif untuk pembangunan Indonesia, hal ini dengan tegas telah membuktikan bahwa Muhammadiyah adalah sebuah gerakan sosial progresif yang memahami dunia pendidikan Indonesia dengan segala episode historis sejak pra-kemerdekaan sampai hari ini.
Faktualitas sejarah ini pula yang kemudian menjadi pertimbangan penting bahwa pendidikan Indonesia, kalau tidak boleh disebut dominan, adalah sebagian dari kontribusi paling besar Muhammadiyah dalam upaya membantu negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Maka wajar kemudian ketika jabatan Menteri Pendidikan beberapa kali dipercayakan kepada kader terbaik Muhammadiyah. Sebut saja Teuku Muhammad Hasan (1948-1949), Abdul Malik Fadjar (2001-2004), Bambang Sudibyo (2004-2009), dan Muhadjir Effendy yang sejak 2016 sampai hari ini menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Nama-nama di atas menjadi bukti bahwa Muhammadiyah memiliki kader-kader terbaiknya yang konsisten berjuang bersama anak bangsa lain di seluruh wilayah Indonesia dalam upaya menjadikan pendidikan sebagai basis nilai intelektual, moral, dan teknologi yang belakangan hadir cukup dominan dalam panggung peradaban dunia dan Indonesia tanpa terkecuali.
Salah satu nilai perjuangan Muhammadiyah adalah menegakkan keadilan untuk seluruh manusia, khususnya masyarakat Indonesia melalui institusi pendidikan. Tidak boleh ada ketimpangan yang dialami anak bangsa dalam mengenyam pendidikan. Spirit ini bisa kita lihat dari apa yang secara berani telah dieksekusi oleh Prof. Muhadjir Effendy dengan diterapkannya sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Sejak pertamakali zonasi PPDB diterapkan pada 2017, sosok Mendikbud tidak bisa lepas dari protes yang datang dari berbagai kelompok seperti orang tua wali, guru-guru, peserta didik, sampai pada pemerhati pendidikan dan kebijakan. Sebagai sebuah kebijakan baru, tentu protes menjadi konsekwensi logisnya. Banyak kalangan yang belum bisa memahami secara utuh apa tujuan sistem zonasi itu sendiri.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa sistem zonasi lahir dengan minus kajian serius. Meskipun anggapan itu adalah aspirasi kritis dalam ruang demokrasi, namun rasanya begitu naïf bila menyatakan bahwa sistem zonasi minus kajian sebelum akhirnya menjadi sebuah regulasi.
Sebenarnya kalau kita mau akui dengan jujur, favoritisme sekolah itu ada dan dianggap biasa. Bila kita mau berusaha melihat lebih jeli, favoritisme sekolah, disukai atau tidak, menciptakan sebuah kastanisasi pendidikan yang kondisinya sudah cukup memfosil diterima sebagai sebuah realitas yang bahkan dibanggakan oleh tidak sedikit kalangan masyarakat.
Kastanisasi sekolah inilah yang secara tidak sadar menarik mundur pendidikan kita kembali pada zaman kolonial dimana ada kelompok superior yang menindas mereka yang inferior. Saya, misalnya, adalah subjek hidup yang mengalami kastanisasi tersebut. Saya ingat waktu itu masuk Sekolah Dasar Negeri (SDN) di kampung dengan kondisi sarana dan prasarana yang agak timpang bila dibandingkan dengan Sekolah Dasar Negeri (SDN) favorit yang jaraknya bisa ditempuh sekitar dua kilo dari sekolah saya.
Bahwa kualitas guru saya di kampung ternyata mampu mendidik anak-anaknya dan berhasil masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) favorit, menjadi sebuah pengecualian yang kasuistik. Ada lebih banyak teman saya yang harus masuk ke SMP dan SMA yang kurang berdayasaing. Sampai mereka terlibat pada kenakalan remaja seperti tawuran yang menyebabkan mereka mengalami semacam disorientasi pasca lulus sekolah.
Perasaan inferior yang saya rasakan ketika di SD, berbalik menjadi superior ketika saya berada di SMA. Ini disebabkan oleh reputasi SMA tempat saya sekolah merupakan SMA yang boleh dibilang sebagai SMA terbaik se-Kecamatan bahkan sangat bersaing di tingkat Kabupaten.
Ada semacam arogansi yang hadir dalam pola pikir saya saat itu. Misalnya, seluruh siswa di SMA tempat saya sekolah tidak memiliki waktu untuk tawuran karena saking seriusnya kita menyelesaikan PR demi PR dan segudang kegiatan ekstrakurikuler yang lebih dominan menyita waktu dan pikiran ketimbang mencari pengakuan diri dan eksistensi melalui tawuran.
Ada ketimpangan yang sangat jelas dengan kondisi pendidikan saat itu. Saya membayangkan seandainya kawan-kawan di sekolah lain juga bisa merasakan betapa mengerikannya bila mereka belum selesai mengerjakan PR Matematika. Atau perasaan campur aduk takut dan haru ketika mereka bisa menyelesaikan hitungan reaksi oksidasi kimia secara sempurna tanpa kritik sang guru. Saya kira pengalaman semacam itu boleh jadi tidak dialami oleh kawan-kawan di sekolah lain yang tidak terkategori favorit, sehingga ada kebutuhan untuk mencari aktivitas lain yang menantang adrenalin mereka. Salah satunya dengan keterlibatan mereka dalam tawuran.
Hal ini yang kemudian menyadarkan saya sebagai salah seorang anak bangsa, bahwa sistem zonasi adalah jalan keluar yang relevan dan cepat dalam upaya menghapus kastanisasi sekolah. Alih-alih menjadi jalan pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang intelek dan bijaksana sekaligus, kastanisasi sekolah hanya menjadi produk kepanjangan feodalisme masa lalu yang seharusnya sudah bisa lebih egaliter dengan meratanya keadilan pendidikan untuk seluruh anak bangsa.
Maka, saya melihat bahwa sistem zonasi yang sudah dimulai ini harus bisa terus dijalankan secara gradual dan disiplin. Terkait dengan timbulnya kesulitan guru-guru yang terbiasa mengajar anak didik dengan tingkat intelegensi tinggi sehingga tidak sulit dalam menyampaikan materi adalah sebuah pandangan subjektif yang lemah dan egois.
Adanya regulasi mutasi guru-guru sesuai dengan kualifikasi pedagogik yang baik, adalah sebuah langkah dan upaya untuk bisa menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran secara adil dan merata. Anak-anak didik dengan segala kelemahan dan kelebihannya, sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan pola pendidikan dan pengajaran terbaik di negara ini.
Maka hemat saya, regulasi dengan tujuan spesifik yang konstruktif, jangan sampai diterapkan setengah-setengah sebelum kita lihat hasilnya secara utuh. Sistem zonasi adalah sebuah keberanian untuk menyegarkan sistem pendidikan kita yang sudah kadung nyaman dengan ketimpangan.
Dengan segala tantangannya, ketimpangan pendidikan di Indonesia harus bisa segera diakhiri dan digantikan dengan pemerataan kualitas dan kompetensi yang disesuaikan dengan peminatan anak didik sehingga kita akan memiliki banyak ahli di berbagai bidang keilmuan yang siap berkontribusi secara signifikan dalam pembangunan Indonesia ke depan dan dalam persaingan industri modernitas yang terus hadir dan tercipta secara cepat dan tidak mudah diprediksi.
Pendidikan tetap merupakan sebuah solusi!
Ramdan Nugraha, seorang yang percaya bahwa satu-satunya hal yang abadi dalam kehidupan adalah perubahan. Saat ini beraktivitas sebagai Ketua Lembaga Studi Visi Nusantara, menulis di beberapa online writing platforms, penulis buku “SANG GURU: 13 Wejangan Keramat Agar Tetap Diingat”