Oleh : Divisi Hukum dan Advokasi Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Ketua Umum Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah Kab Pangandaran.
Belakangan media diramaikan oleh pemberitaan mengenai konflik para elit salah satu partai yang pernah dua periode memimpin negeri ini.
Kisruh dinamika di internal partai membuat keruh khasanah demokrasi publik.
Partai Demokrat kini memiliki dualisme kepemimpinan pasca digelar KLB (Kongres Luar Biasa) yang diadakan di Deli Serdang, Sumatera Utara pada tanggal 5 Maret 2021.
Telah banyak analisa yang dibuat mengenai peristiwa KLB Partai Demokrat diantaranya dianalisasi oleh pengamat politik juga aktor politik, namun tak banyak analisa dibuat berdasarkan perspektif hukum.
Penulis mencoba memjawab persoalan ini melalui perspektif hukum berdasarkan UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Sebagaimana diubah menjadi UU No. 2 tahun 2011, UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan walikota (diubah menjadi UU No. 8 Tahun 2015, UU No. 10 tahun 2016, dan UU No. 6 Tahun 2020), UU No. 7 tentang Pemilu, Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 34 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Pendirian Badan Hukum, Perubahan AD ART serta Perubahan Kepengurusan Partai Politik.
Pasal 3 UU No. 2 Tahun 2011 tentang Parpol mengatur Partai politik haruslah didaftarkan ke Kemenkumham agar dapat menjadi badan hukum yang diakui oleh Negara.
Salah satu yang harus disertakan dalam mendaftarkan parpol adalah SK kepengurusan Parpol dan AD ART, yang mana AD ART harus juga sejalan dengan perundang-undangan di Indonesia.
Anggaran Rumah Tangga akan secara rinci mengatur mekanisme-mekanisme bagaimana parpol menjalankan rapat hingga memilih kepengurusan didalamnya.
Perubahan AD ART diatur dalam Pasal 5 UU No. 2 Tahun 2011 tentang Parpol bahwa perubahan dilaksanakan berdasarkan forum tertinggi parpol dan wajib didaftarkan paling lambat tiga puluh hari.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 23 pergantian kepengurusan parpol disetiap tingkatan harus sesuai dengan AD ART, kemudian didaftakan ke Kemenkum Ham paling lambat 30 hari.
Maka AD ART dan kepengurusan parpol tidak dapat dirubah hanya berdasarkan selera dari segelintir pengurus parpol.
KLB merupakan hal yang memang diatur oleh hukum, pengaturan mengenai KLB diatur dalam UU Parpol dan tentu diatur juga didalam AD ART partai sebagai landasan konstitusi bagi suatu partai.
Pelaksanaan KLB juga harus berdasarkan hukum yang akan rinci mengatur syarat-syarat dapat digelar KLB sebagaimana diatur dalam Pasal 81 UU No 2 tahun 2017 tantang Parpol, siapa yang berhak mengusulkan KLB, siapa yang berhak memiliki suara dalam KLB, dan lain sebagainya.
Lebih lanjut pada Pasal 10 dan Pasal 21 Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 34 Tahun 2017 mengatur untuk dapat merubah AD ART, Kepengurusan Parpol wajib mengunggah surat keterangan bebas dari perselisihan internal partai.
Maka jika terjadi konflik didalam partai dan konfliknya belum diselesaikan Kemenkum Ham tidak akan mengabulkan perubahan AD ART dan perubahan kepengurusan Partai.
Konflik ataupun sengketa yang terjadi pada suatu Partai dapat diselesaikan di internal melalui Mahkamah Partai dan jika tidak selesai maka bisa diselesaikan ke peradilan Negeri Hingga Mahkamah Agung.
Jika konflik sudah teratasi barulah perubahan AD ART dan kepengurusan Parpol bisa ditindak lanjuti oleh Kemenkumham.
Jika kita melihat ke pilkada 2020 Partai yang boleh mengikuti Pilkada adalah parpol yang sah secara hukum dengan kata lain AD ART dan Kepengurusannya sudah lebih dulu didaftarkan juga diverifikasi serta disahkan oleh Kemenkum Ham.
Para Partai politik yang menjadi peserta pilkada kemarin AD ART dan Susunan Kepengurusannya juga ada di portal KPU. Data tersebut juga bisa kita gunakan sebagai rujukan sebagaimana diatur dalam Pasal 40A ayat (1) UU Pemilihan, semantara dalam UU Pemilu diatur pada Pasal 176 ayat (1).
Jika kita lihat data yang tersedia disana juga telah terpampang produk hukum Kemenkumham Nomor M.HH-09 AH.11.01 Tahun 2020 tentang Pengesahan Perubahan AD ART Partai demokrat.
Didalam Pasal 81 AD ART Partai Demokrat memang diatur mengenai KLB, jika harus diadakan KLB maka rujukannya harus sesuai dengan syarat yang diatur oleh AD ART.
Di era keterbukaan informasi publik banyak portal milik lembaga negara berisi informasi penting yang dapat digunakan untuk menjawab persoalan ini. Publik bisa mencari informasi melalui portal milik KPU untuk kemudian menilai persoalan KLB Partai demokrat.
KLB tidak mungkin terjadi jika tidak dikehendaki oleh 2/3 pengurus-pengurus di daerah. Wajar rasanya jika persoalan ini disangkut pautkan dengan politik namun tentu akan menjadi relatif kita membaca campur tangan pihak ini dan itu.
Namun pada akhirnya persoalan ini adalah merupakan persoalan hukum, sejauh mana sekuat mana argumentasi hukum yang disusun oleh pihak-pihak yang bertikai.
Sebelumnya juga sudah terjadi konflik yang sama di Partai Golkar, pada akhirnya persoalan serupa yang terjadi lebih dulu itu dibawa ke ranah peradilan dan dimenangkan oleh kubu Aburizal Bakrie.
Siapapun yang bertikai di pengadilan hakim akan memberikan pandangan yang objektif yaitu perimbangan hukum semata-mata dan tidak boleh terpengaruh oleh pertimbangan politik.