(Polemik dan Konflik Internal di tubuh Partai Demokrat)
oleh : Farida Laela
(Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik – FISIP Universitas Indonesia)
Menarik mengamati situasi terkini perkembangan dan konstelasi demokrasi di Indonesia. Seperti yang terjadi saat ini yaitu diselenggarakannya Konferensi Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang diselenggarakan di Sibolangit, Sumatra Utara oleh kubu yang di gagas oleh Darmizal, Jhonny Allen Marbun, Marzuki Ali dan Max Sopacua.
Mereka menyelenggarakan KLB dengan tanpa sepengetahuan DPP Partai Demokrat yang di pimpin oleh Agus Harimurti Yudhoyono maupun Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang sampai saat ini berstatus sah secara legal formal di hadapan hukum dan diakui pemerintah melalui Kemenkumham RI.
Yang menjadikan KLB ini menarik perhatian publik adalah keterlibatan lingkaran dalam istana yang notabene sebagai orang eksternal partai yang pada akhirnya terpilih sebagai ketua umum partai berlambang bintang mercy ini. Kepala Staf Presiden jend (Purn) Moeldoko yang ditunjuk oleh para penggagas KLB untuk menduduki kursi kepemimpinan partai kubu Darmizal cs.
Hal ini menunjukkan bahwa soliditas partai ini tengah terganggu dengan konflik internal yang tengah dihadapinya dan ada kecenderungan kekuatan politik besar yang tengah berusaha mengkooptasi dan memcah kekuatan partai yang akhir-akhir ini memutuskan untuk menjadi oposisi pemerintah.
Beberapa kalangan dan pengamat politik pun turut bersuara menyampaikan pendapat mereka, termasuk dari kalagan militer sendiri yang terkenal menjunjung tinggi Sapta Marga Prajurit.
Seperti yang disampaikan oleh Jendral (purn) Gatot Nurmantyo bahwa “ KLB Demokrat telah menghancurkan kehormatan partai Demokrat dimana ada seorang dari kalangan militer telah dengan gamblang melakukan hal yang dianggap memalukan bagi seorang prajurit TNI, hendaknya setiap prajurit yang hendak melanjutkan pengabdiannya kepada negara melalui partai politik agar menggunakan etika, moral dan kehormatan prajurit dalam berpolitik, artinya berkompetisilah dengan jiwa ksatria agar dapat melahirkan politik yang di hormati dan disegani tanpa menyalahi etika dan kehormatan prajurit”.
Dalam diri seorang militer yang kental dengan jiwa patrotisme, nasiomalisme dan jiwa ksatria tentu merupakan sebuah hal yang dianggap mencederai integritas korps TNI yang senantiasa mengedepankan jiwa ksatria dalam memenangkan pertempuran di medan laga dan pantang melakukan hal-hal yang tidak tercela dan tidak patut dilakukan oleh seorang berpangkat jenderal (purn) TNI yang sekaligus juga dapat dijadikan figur bagi junior-junior TNI lainnya.
Keterlibatan pihak eksternal dalam polemik KLB Demokrat semakin menambah daftar panjang polemik di tubuh partai berlambang bintang mercy ini.
Munculnya dugaan ada aktor utama yang bertujuan memecah kekuatan partai demokrat sebagai partai oposisi dan dianggap membahayakan kelangsungan pemerintahan rezim yang berkuasa saat ini sekaligus juga sebagai salah satu upaya kooptasi partai untuk melanggengkan kekuasaan rezim dengan skema interlocking election 0f 2024.
Dugaan tersebut semakin kuat mengarah kepada istana mengingat sikap diam Jokowi yang dapat menimbulkan multi interpretasi di kalangan publik berikut ini :
Kemungkinan terjadi gesekan internal di lingkungan istana.
Presiden tidak ingin melakukan intervensi terhadap partai politik.
Presiden tidak tahu/tidak berdaya mengambil sikap apa yang harus dilakukan.
Beberapa kemungkinan dan sikap pemimpin saat ini membuat publik semakin bereaksi keras mengingat KSP Moeldoko adalah pejabat aktif pemerintahan yang berada di lingkaran satu kepresidenan. Keberadaan dan posisinya sebagai bagian dari kekuasaan membuat perhatian tertuju kepada istana.
Sehingga sulit untuk tidak menarik istana dalam pusaran kisruh Demokrat saat ini. Selain itu tidak ada sebuah jaminan bahwa istana dapat bebas dari “conflict of interest” dalam pusaran kisruh Demokrat ini.
Publik pun menunggu sikap pemerintah dalam menyikapi kisruh ini. Spekulasi pun bermunculan terkait sikap presiden Jokowi terhadap keterlibatan KSP Moeldoko ini seperti :
- Pertama, apakah Jokowi mengetahui keterlibatan KSP Moeldoko dalam KLB Demokrat.
- Kedua, apakah Jokowi merestui KSP Moeldoko dalam KLB Demokrat.
- Ketiga, apakah KSP Moeldoko meminta izin sebelumnya kepada presiden Jokowi terkait keterlibatannya dalam KLB Demokrat.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi penting, mengingat tudingan mengarah kuat ke istana dimana ada upaya mengkooptasi partai untuk melanggengkan kekuasaan rezim karena Demokrat tidak bergabung bersama koalisi pendukung pemerintah.
Sejalan dengan teori State Corporatism yang dikemukana oleh Scmitter bahwa “central role of state and society interaction in governing and especially the legitimate of social interest in influency polcy” dimana negara turut mengkooptasi organisasi-organisasi masyarakat termasuk partai politik.
Terlebih dengan jargon Demokrat yang berbunyi “ Partai Demokrat berkoalisi dengan rakyat” tampaknya membuat resah rezim pemerintahan saat ini, sebuah jargon yang terasa ‘mengganggu’ bagi pemerintah saat ini.
Maka jika ini dibiarkan akan dapat menimbulkan conflict of interest di kalangan istana sendiri.
Peran dan tugas KSP Moeldoko sebagai representasi pemerintah akan bergesekan dengan posisinya saat ini sebagai ketua umum partai Demokrat hasil KLB Sibolangit.
Hal ini sejalan dengan teori elit politik oleh Mosca yang menyatakan bahwa sistem politik terbagi ke dalam dua strata politik yaitu kelas politik dan non-politik atau sederhananya yaitu mereka yang memimpin dan dipimpin.
Dan yang dikemukakan oleh Schumpetter bahwa demokrasi elit adalah seperangkat kelembagaan untuk mencapai keputusan politik dengan cara memberi kekuasaan.
Selain itu terjadi sebuah interaksi antara aktor politik dan lembaga yang mereka pimpin sebagai political institution sebagai “the rule of the game” dimana terdapat preferensi aktor-aktor yang duduk di lembaga yang mereka pimpin yang turut menguatkan teori ini.
Pembiaran dan sikap diam pemerintah atas kisruh Demokrat ini menjadi bumerang bagi pemerintah karena dapat menimbulkan persepsi yang beragam di kalangan publik. Termasuk media asing seperti yang disampaikan oleh The Australia dalam headlinenya yang menyatakan bahwa “ Indonesia Move Closer to One Party” yang cenderung mengarah kepada kembalinya sistem otoritarianisme yang membuat indeks demokrasi di negara Indonesia menajdi menurun.
Seperti teori State Beurecratic Otoritarianism yang dikemukakan oleh Guillermo O’Donnel yang menyatakan bahwa negara sebagai sumber hukum dari segala sumber hukum dan pemerintahan yang dijalankan tidak dapat di akses oleh publik untuk melihat akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan yang pada akhirnya menghasilkan sebuah pemerintahan otoriterisme.
Politik sendiri adalah sebuah persepsi, jika kisruh ini tidak membuat istana terganggu maka pemerintah dianggap tidak memiliki sense of crisis dalam menyikapi kisruh ini.
Padahal sejatinya pemerintah merupakan representasi negara, jika pemerintah abai terhadap persoalan demokrasi seperti ini, mak tak heran jika indeks demokrasi di Indonesia saat ini menurun dan berada di titik nadir.
Peristiwa KLB Demokrat ini turut pula menguak konflik internal yang terjadi di tubuh partai berlambang Mercy ini mulai dari pemecatan kader-kader yang terbukti terlibat melakukan manuver-manuver politik yang bertentangan dengan AD/ART partai.
Mereka yang berada dalam “barisan sakit hati” ini kemudian menggandeng pihak eksternal untuk menggalang kekuatan.
Beberapa pengamat menilai bahwa kisruh demokrat ini berbeda dengan peristiwa dualisme kepemimpinan yang terjadi sebelumnya seperti yang dialami oleh PKB dan PPP dimana yang menuntut kepemimpinan baru dan menyelenggarakan KLB adalah bagian dari kader internal partai mereka.
Sedangkan yang terjadi di Demokrat hari ini adalah adanya keterlibatan aktor eksternal yang notabene bukan kader partai dan bagian dari kekuasaan yang di anggap melakukan by pass aturan formal dalam demokrasi.
Dalam sebuah negara demokrasi, penyelenggaraan pemerintah dilakukan berdasarkan kepentingan dan kehendak rakyat yang menyerahkan mandat mdan kedaulatan mereka kepada negara melalui rezim pemerintah.
Kejadian KLB Demokrat hari ini turut mencederai proses demokrasi di Indonesia yang saat ini berada di ambang otoritarianisme dengan menurunnya indeks demokrasi yang dapat dilihat dari indikator demokrasi di sebuah negara yaitu adanya kebebasan sipil dan politik, kebebasan berkumpul, berserikat dan berpendapat yang saat ini menunjukkan penurunan karena adanya kekhwatiran publik untuk menyuarakan pendapat dan aspirasi.
Penggunaan cara-cara kekerasan dalam mengatasi gejolak publik termasuk juga pengambil alihan kekuasaan dalam sebuah partai termasuk cara kekerasan dalam demokrasi karena memaksa dan merampas kekuasaa dari kepemimpinan yang sah.
Padahal dalam sebuah negara demokrasi penggunaan kekerasan tidaklah dibenarkan, democracy is excluding using force. Jika kondisi ini dibiarkan tanpa ada tindakan tegas dari pemerintah, maka akan timbul fear arousing communication yang pada akhirnya melahirkan public and majority people of fear.
Dengan demikian, kisruh yang hari ini terjadi di partai Demokrat merupakan pembelajaran politik yang sangat berharga bagi kita semua bahwa dalam demokrasi ada hal-hal yang dapat di tolerir, namun di sisi lain tetap mengedepankan etika dalam berpolitik untuk menghasilkan kekuasaan yang berperspektif kerakyatan.