Hasil penelitian yang dilakukan oleh berbagai lembaga survey di Indonesia dalam rentang waktu tahun 2017-2019, menunjukan bahwa Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan lembaga yang mendapat kepercayaan publik terendah di republik ini. Hal ini disebabkan lembaga wakil rakyat tersebut tidak mampu menampilkan kinerja yang baik dan berdampak untuk kepentingan publik. Bahkan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Periode 2014-2019 adalah DPR dengan kinerja paling buruk sepanjang era reformasi.
Gambaran rendahnya kinerja wakil rakyat periode 2014-2019 dapat dilihat salah satunya ketika DPR periode 2014-2019 hanya mampu menyelesaikan 22,63% RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Katadata.co.id). Kualitas UU yang disahkan pun dipertanyakan banyak pihak, sehingga banyak yang digugat di Mahkamah Konstitusi.
Begitupun pada sisi kedisiplinan, rata-rata kehadiran anggota DPR dalam tiap rapat tidak pernah sampai 60%. Artinya, banyak anggota yang sering membolos. Kondisi ini sangat tidak sebanding dengan uang rakyat yang digelontorkan untuk wakil rakyatnya. Dari 3,6 triliyun pada tahun 2015 menjadi 4,6 triliyun pada tahun 2019. Namun lonjakan anggaran ini tidak atau bahkan cukup jauh dari kualitas kinerja yang ditampilkan.
Foum diskusi dengan tema “Mengukur Kinerja Wakil Rakyat” yang diinisiasi Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia bekerjasama dengan Lembaga Studi Visi Nusantara (LS-VINUS) dengan mengundang beberapa tokoh dan pengamat, memberikan catatan kritis sebagai berikut:
- Kinerja DPR Periode 2014-2019 menampilkan performa yang buruk dengan banyak jumlah RUU Prolegnas yang diusulkan, namun sangat minim jumlah UU yang berhasil disahkan. Selain itu, ada berbagai masalah lain yang berkaitan dengan aspirasi masyarakat yang tidak mampu diakomodir. Sebaliknya, bertentangan dengan kebutuhan dan kehendak rakyat.
- Fakta perolehan kursi DPR periode 2019-2024 yang masih didominasi oleh incumbent yang merupakan suksesor kegagalan kinerja periode sebelumnya, berpotensi kuat untuk mengulangi kegagalan yang sama atau bahkan akan menjadi jauh lebih buruk bila DPR periode baru tidak bisa menyelesaikan dengan segera berbagai permasalahan dari periode sebelumnya.
- Kendali parlemen lebih banyak diambil alih oleh Pemerintah. Sehingga fungsi pengawasan DPR yang seharusnya bisa menjadi lembaga yang memantau kinerja eksekutif, menjadi semakin tidak menggairahkan dan nyaris tidak ada kritik terhadap pemerintah beserta semua regulasinya.
- Fungsi legislasi DPR memperlihatkan performa yang kontra-produktif. Periode DPR 2014-2019 membuat 148 RUU Prolegnas, namun yang disahkan hanya sebanyak 35 UU. Pada periode 2019-2024 ini, DPR sudah mengusulkan sebanyak 248 RUU yang memang meningkat secara kuantitas jumlah, namun sangat mengkhawatirkan dalam hal pengesahan terlebih pada aspek kualitasnya.
- Kuatnya komposisi partai koalisi pemerintah di DPR hanya semakin memperkuat praktik oligarkis yang semakin minim kritik yang bersifat oposisional-objektif.
- Dengan praktik demokrasi di Indonesia yang belum mapan, alih-alih mengalami perkembangan, hari ini memperlihatkan kemunduran dengan hampir tidak adanya poros kekuatan sipil yang bersifat oposisi dengan pemerintah. Sehingga tidak ada yang melakukan kontrol dan pengawasan secara objektif. Kondisi ini mengarah pada praktik otoritarianisme Orde Baru bahkan berpotensi lebih buruk.
- Lembaga kepolisian yang seharusnya menjadi lembaga negara paling netral, belum berfungsi secara profesional, sehingga terjadi praktik kontra-demokrasi yang semakin memihak penguasa dan melemahkan rakyat.
Cibinong, 9 Februari 2020:
- Lucius Karus (FORMAPPI)
- Ray Rangkuti (Direktur Lingkar Madani Indonesia)
- Donald Fariz (ICW)
- Yusfitriadi (DEEP Indonesia)
- Hazairin Sitepu (CEO Radar Bogor Group)
- Ajeng Kusumaningrum (Aktivis Demokrasi)
- Zulfikar Arse Sadikin (Komisi II DPR-RI)
- Rudi Susmanto (Ketua DPRD Kab. Bogor)
- Ramdan Nugraha (Lembaga Studi Visi Nusantara)