Oleh:
Asep Saepudin
(Sekretaris PKG-P3A, Ketua PWPM Jawa Barat Bidang Dakwah dan Kajian Keagamaan)
Allah Ta’ala Berfirman, “Dan hendaklah orang-orang takut kepada Allah, bila seandainya mereka meninggalkan anak-anaknya, yang dalam keadaan lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar”. (an-Nisa’: 9)
Ayat tersebut tidak sesempit penafsiran yang tersurat. Tapi jauh dari itu, negara sebagai rumah tangga besar yang di dalamnya ada presiden sebagai kepala keluarganya yang mempunyai kewajiban menjamin keamanan, kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan segenap anggota keluarganya. Menjadikan rakyatnya hidup dalam kecukupan dengan ketahanan ekonomi dan ketahanan ideologi, sehingga hal tersebut mendasari terbangunnya ketahanan nasional.
Ketahanan nasional harus selalu dibina dan ditingkatkan sesuai dengan kondisi serta melihat potensi ancaman yang akan dihadapi. Kondisi bangsa kita ini selalu berubah-ubah. Ancaman yang dihadapi juga tidak sama, baik jenisnya maupun besarannya. Inilah yang disebut dengan sifat dinamis pada ketahanan nasional.
Dewasa ini, istilah ketahanan nasional sudah dikenal di seluruh Indonesia. Dapat dikatakan bahwa istilah itu telah menjadi milik nasianal. Ketahanan nasional dikenal sejak permulaan tahun 60an. Pada saat itu istilah itu belum diberi definisi tertentu. Di samping itu belum pula disusun konsepsi yang lengkap dan menyeluruh tentang ketahanan nasional. Istilah ketahanan nasional pada waktu itu dipakai dalam rangka pembahasan masalah pembinaan teritorial atau masalah pertahanan keamanan pada umumnya.
Walaupun banyak instansi maupun perorangan pada waktu itu menggunakan istilah ketahanan nasional, namun lembaga yang secara serius dan terus-menerus mempelajari dan membahas masalah ketahanan nasional adalah Lembaga Pertahanan Nasional atau Lemhanas. Sejak Lemhanas didirikan pada tahun 1965, maka masalah ketahanan nasional selalu memperoleh perhatian yang besar.
Ketahanan Nasional (Tannas) Indonesia adalah kondisi dinamis bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi, yaitu kesatuan menyeluruh dalam kehidupan nasional suatu bangsa baik unsur sosial maupun alamiah, baik bersifat potensional maupun fungsional. Ketahanan Nasional adalah kondisi kehidupan nasional yang harus diwujudkan. Hakikat Ketahanan Nasional Indonesia adalah keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasional.
Adapun konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia merupakan pedoman (sarana) untuk meningkatkan (metode) keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Konsepsi ketahanan nasional Indonesia menggunakan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Antara kesejahteraan dan keamanan ini dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Penyelenggaraan kesejahteraan memerlukan tingkat keamanan tertentu, dan sebaliknya penyelenggaraan keamanan memerlukan tingkat kesejahteraan tertentu. Tanpa kesejahteraan dan keamanan, sistem kehidupan nasional tidak akan dapat berlangsung. Karena pada dasarnya keduanya merupakan nilai intrinsik yang ada dalam kehidupan nasional. Dalam kehidupan nasional, tingkat kesejahteraan dan keamanan nasional merupakan tolak ukur ketahanan nasional.
Sebagaimana pemaparan di atas, keadaan selalu berkembang sehingga bahaya dan tantangan pun selalu berubah. Maka ketahanan nasional itu juga harus dikembangkan dan dibina sesuai dengan perkembangan zaman. Karena itu ketahanan nasional sifatnya dinamis, bukan statis. Usaha dalam mewujudkan ketahanan nasional yang kokoh bukanlah hal yang baru di negeri ini. Berbagai pembinaan dan peningkatannya pun selalu disesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan fasililitas yang tersedia.
Pembinaan ketahanan nasional harus dilakukan di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, di bidang pertahanan dan keamanan, baik secara serempak maupun menurut prioritas kebutuhan. Sehingga sangat penting untuk memperkuat ketahanan nasional di tengah era globalisasi 4.0 ini. Terlebih di tengah-tengah menghadapi Pandemi Covid-19 yang berimbas kepada semua lini dan sektor kehidupan manusia. Kekuatan dan ketahanan nasional menjadi salah satu faktor penting dalam pengendalian Covid-19 di negara ini.
Adapun transnasional yaitu berkenaan dengan perluasan atau keluar dari batas-batas negara. Transnasionalisme adalah fenomena sosial dan agenda penelitian ilmiah yang muncul karena manusia semakin saling terhubung dan perbatasan ekonomi dan sosial antarnegara semakin kabur.
Istilah ini dipopulerkan pada awal abad ke-20 oleh penulis Randolph Bourne untuk menyebut “cara berpikir baru mengenai hubungan antar kebudayaan”, namun pencetus istilahnya adalah salah satu kolega Bourne.
Transnasionalisme sebagai proses ekonomi memerlukan penataan ulang proses produksi global sehingga beberapa tahap produksi produk apapun dapat terjadi di beberapa negara dengan tujuan menekan biaya. Transnasionalisme ekonomi, biasa disebut globalisasi, muncul pada paruh akhir abad ke-20 seiring diciptakannya Internet dan komunikasi nirkabel serta berkurangnya biaya transportasi global berkat kontainerisasi. Perusahaan multinasional dapat dipandang sebagai salah satu bentuk transnasionalisme; perusahaan multinasional berusaha menekan biaya untuk meningkatkan laba dengan menjalankan operasi seefisien mungkin tanpa memandang batas politik.
Para pendukung transnasionalisme kapitalis berusaha membantu pergerakan orang, pemikiran, dan barang lintas kawasan. Mereka yakin bahwa transnasionalisme semakin sesuai dengan pertumbuhan globalisasi kapitalis yang pesat. Mereka berpendapat bahwa perbatasan negara-bangsa tidak bisa dihubungkan dengan perpindahan tenaga kerja, perusahaan yang mengglobal, arus uang global, arus informasi global, dan kerja sama ilmu pengetahuan global.
Akan tetapi, teori kritis dari transnasionalisme berpendapat bahwa kapitalisme transnasional terbentuk lewat monopolisasi dan pemusatan modal oleh kelompok-kelompok yang dominan dalam ekonomi global dan berbagai blok penguasa. Ilmuwan yang kritis terhadap kapitalisme global (beserta krisis lingkungan dan kesenjangan global) mendukung transnasionalisme dari bawah, antara kaum pekerja, dan antara gerakan sosial dan politik populer. (Robinson, 2004)
Transnasionalisme sebagai konsep, teori, dan pengalaman telah memperkaya literatur ilmu sosial. Dalam praktiknya, transnasionalisme merujuk kepada peningkatan integrasi fungsi proses yang bersifat lintas batas atau lintas hubungan individu, kelompok, lembaga, dan mobilisasi di luar batas negara. Individu, kelompok, lembaga, dan negara berinteraksi dengan satu sama lain dalam ruang global baru, tempat bersatunya kekhasan budaya dan politik suatu negara dengan aktivitas multitingkat dan multinasional. Transnasionalisme merupakan bagian dari proses globalisasi kapitalis. Konsep transnasionalisme mengacu pada serangkaian tautan dan interaksi antarmanusia dan antarlembaga yang melintasi perbatasan negara-bangsa.
Sejumlah pihak berpendapat bahwa diaspora seperti diaspora Cina adalah perintis transnasionalisme modern. Namun demikian, sebagian besar diaspora tidak bersifat sukarela, tidak seperti orang-orang yang berjiwa transnasionalis. Bidang politik diaspora menganggap diaspora modern berpotensi menjadi pelaku politik transnasional dan dipengaruhi gerakan-gerakan politik transnasional. Walaupun kata transnasionalisme menegaskan bahwa negara tidak mampu lagi membendung atau mengendalikan sengketa dan negosiasi sehingga kelompok-kelompok sosial menyertakan dimensi global ke dalam praktik mereka, diaspora memperkenalkan dinamika ras yang mendasari pembagian tenaga kerja internasional dan gejolak ekonomi modal global. Dalam artikelnya tahun 2006, Asale Angel-Ajani mengklaim bahwa “ada kemungkinan beralihnya studi diaspora dari diskursus bebas politik yang berkutat dalam studi transnasional.” Karena studi diaspora Afrika berfokus pada pembentukan ras, rasisme, dan supremasi kulit putih. Teori diaspora mampu membawa “sudut pandang politik, termasuk politik radikal, ke dalam kajian proses transnasional dan globalisasi”.
Dalam perkembangannya, gerakan transnasional pun meramabah berbagai sektor. Terlebih pada faham atau ideologi. Ideologi merupakan sebuah visi dan misi yang telah ditata sangat rapih dan komprehensif dimana alat untuk melaksanakan ide tersebut juga sudah lengkap sehingga ide atau gagasan tersebut dapat diterapkan secara langsung.
Biasanya ide ini merupakan gagasan dari kelompok mayoritas yang ada di dalam sebuah wilayah atau kawasan saja. tujuan dari adanya ideologi ini adalah menawarkan sesuatu yang baru pada negara supaya dapat membuat perubahan dari sistem tatanan negara menjadi lebih baik dan lebih sejahtera. Jika banyak orang yang setuju dengan ide ini maka ide ini akan menjadi panutan dan patokan dalam cara melaksanakan kehidupan bernegara baik dalam cara politik, ekonomi, budaya dan lainnnya seperti ideologi komunisme, kapitalisme, anarkisme, liberalisme, sosialisme, konservatisme, komunitarianisme, libertanianisme, nazisme, nasionalisme, monarkisme, fasisme, demokratisme, terorisme dan lain sebagainya. Bahkan berkembang pula ideologi transnasional yang bersifat keagamaan, yang berpotensi memengaruhi integritas sebuah negara seperti di Indonesia. Sebagai akibat arus global, maka bermunculanlah berbagai gerakan diantaranya berupa gerakan Islam transnasional. Gerakan Islam transnasional merupakan istilah yang ditujukan kepada organisasi Islam yang pergerakannya tidak terbatas oleh garis-garis teritorial negara.
Seperti yang diungkapkan oleh Majidah (Departeman Dakwah PPNA) pada acara kajian bulanan dengan tema Dakwah Perempuan Muda Muhammadiyah di Tengah Arus Islam Transnasional. Acara yang diselenggarakan di aula gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jl. KH. Ahmad Dahlan pada Sabtu 18 Januari 2020. Beliau mengungkapkan, Gerakan ini berorientasi pada misi menyatukan umat Islam. Ideologinya didominasi dengan pemikiran yang tekstualis, normatif dan radikal. Namun tidak itu saja, paham yang mengusung ide-ide liberalisme, sekularisme, dan pluralisme dari barat juga dapat diposisikan sebagai gerakan Islam transnasional. Secara historis gerakan Islam transnasional berakar dari empat faktor utama: pertama, keruntuhan kekhilafahan Turki Utsmani tahun 1924; kedua, adanya gerakan kebangkintan Islam di dunia Arab; ketiga, adanya gerakan pembaharuan dari beberapa tokoh muslim seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha yang difahami secara keliru; keempat, adanya invasi dunia barat yang menjajah dunia Islam.
Contoh-contoh gerakan Islam transnasional yang berhasil menyebrang ke Indonesia menurut Majidah di antaranya: Ikhwan al-Muslimin, Ahmadiyah, Syi’ah, Hizbut Tahrir, dan Salafisme. Mereka berhasil menyentuh lapisan masyarakat lantaran piawai melakukan kreasi dan inovasi terhadap metode dakwah yang dilakukan kepada masyarakat. Tidak kalah pentingnya, fenomena ini terkadang menggeser paham Muhammadiyah oleh pemahaman keagamaan dari pergerakan Islam transnasional tersebut. Di sinilah pentingnya memahami ajaran Islam secara kaffah agar tidak mudah tergelincir dan terkontaminasi ajaran yang menyimpang yang menyusup ke dalam setiap individu umat Islam. Seolah merasa benar, padahal ada yang keliru dalam memahaminya. Allah telah memerintahkan dalam firmannya, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al Baqarah: 208)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah ta’ala berfirman menyeru para hamba-Nya yang beriman kepada-Nya serta membenarkan rasul-Nya untuk mengambil seluruh ajaran dan syari’at; melaksanakan seluruh perintah dan meninggalkan seluruh larangan sesuai kemampuan mereka.” (Tafsir Ibn Katsir 1/335).
Kita perhatikan ayat ini, setelah Allah ta’ala mengajak para hamba-Nya yang beriman untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan dan melaksanakan ajaran-Nya tanpa mengesampingkan ajaran yang lain, maka Allah ta’ala memperingatkan hamba-Nya agar tidak mengikuti langkah syaithan.
Muhammadiyah menegaskan, Indonesia sebagai “darul ahdi wa syahadah”. “Darul ahdi” artinya negara tempat melakukan konsensus nasional. Nusantara yang terdiri dari kemajemukan bangsa, golongan, daerah, kekuatan politik sepakat untuk mendirikan Indonesia. Sementara “darul syahadah” yaitu negara tempat masyarakatnya mengisi kemerdekaan dengan berbagai aktivitas sehingga seluruh elemen bangsa maju, makmur, adil bermartabat dan Indonesia pastinya menjadi negara yang hebat. (Dikutip dari berbagai sumber)