Oleh:
Asep Saepudin, S.Pd.
(Sekretaris PKG-P3A, Ketua PWPM Jawa Barat Bidang Dakwah & Kajian Keagamaan)
Sudah familiar di telinga kita bilamana mendengar berita kematian, selalu terselip ucapan “selamat jalan, selamat beristirahat, istirahat dalam damai, semoga tenang di surga”, atau ungkapan lain yang serupa. Karangan bunga dengan berbagai ungkapan doa dan ungkapan belasungkawa juga turut mewarnai suasana saat itu. Bahkan sampai di atas pemakaman pun tidak ketinggalan ditaburi berbagai jenis bunga dan dihias sedemikian indah dan megahnya, padahal yang di dalam kubur sana sama sekali tidak membutuhkan dari semua itu. Kini orang terbiasa menyebut kuburan sebagai tempat “peristirahatan terakhir”.
Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk menghindari kematian dengan ribuan dokter dan triliunan rupiah untuk mencegah kematiannya. Kematian merupakan sunatullah yang sudah Allah gariskan dan tentukan waktunya untuk semua makhluknya. Sebagaimana yang telah Allah jelaskan dalam banyak ayat, Allah berfirman, “Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada Allah, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S. Jumu’ah:8). “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh”. (Q.S. An Nisaa:78). “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”. (Q.S. Ar Rahman:26-27). “Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian”. (Q.S. Ali Imran:185). Dan masih banyak ayat yang lainnya yang mengabarkan tentang kematian. Semua ini Allah kabarkan sebagai bentuk kecintaan kepada hamba dan makhluk-Nya agar selalu mawas diri.
Kematian adalah ketetapan Allah Ta’ala yang merupakan salah satu cobaan dan ujian bagi manusia. Manusia tidak akan luput dari berbagai macam cobaan, baik berupa kesusahan, maupun kesenangan, bahkan sampai pada kematian. Lantas bagaimana seharusnya seorang muslim dalam menyikapi ujian kematian tersebut?
Sebagai seorang mukmin dengan ketakwaannya kepada Allah, memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya. Sehingga masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak akan membuatnya mengeluh, kecewa, berputus asa apalagi sampai stres tatkala ditinggal mati oleh seorang yang dikasihinya.
Manusia bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari kematian orang lain. Banyak hikmah dari perjalanan seseorang dalam melewati titik kritis sampai pada puncak ajal yang memisahkan antara ruh dengan jasadnya. Namun tidak sedikit yang menyia-nyiakannya dan berlalu begitu saja.
Setiap anak cucu Adam memiliki siklus yang sudah Allah gariskan, yaitu sejak Allah menetapkan takdirnya sejak zaman azali hingga tercipta Adam sampai anak cucunya lahir, kemudian menjalani kehidupan di alam dunia sampai tiba pada kematiannya. Tidak akan pernah ada yang hidup kekal, sebagaimana yang telah Allah firmankan, “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad)”. (Q.S. Al Anbiya:34).
Seorang mukmin seharusnya bergembira tatkala menghadapi waktu ajalnya tiba. Di samping karena sudah mempersiapkan perbekalan amal sholeh untuk menghadapi perjalanan yang pasti jauh lebih lama dan panjang lagi jika dibandingkan dengan perjalanan hidupnya ketika di dunia. Juga akan menjumpai amal sholehnya yang sudah dikumpulkan selama hidupnya tersebut, akan berjumpa dengan sanak saudara, kawan karib yang sholeh, para nabi dan rasul. Bahkan kebahagiaan yang paling tinggi bagi seorang mukmin adalah ketika berjumpa dengan Allah Ta’ala.
Kematian adalah fase pertama menuju siklus kehidupan berikutnya yang panjang yaitu tempat yang abadi yang tidak akan ada lagi kematian. Di sana hanya ada dua tempat, yaitu surga dan neraka. Ada yang akan kekal selama-lamanya di neraka, yaitu mereka yang ingkar kepada Allah dan rasul-Nya dan sampai ajal menjumpainya namun tidak sempat bertaubat kepada Allah, sehingga Allah pun tidak mengampuninya. Sedangkan bagi orang-orang yang beriman akan mendapatkan kebahagiaan yang kekal di surga.
Salah seorang sahabat Nabi yang mulia, yaitu Bilal bin Rabah melakukan iftirah jelang ajalnya tiba. Beliau radhiallahu’anhu mengatakan, “Aku sungguh bahagia karena tak lama lagi akan berjumpa dengan Rasulullah”. Begitulah ujar muazin dan sahabat terkasih Nabi itu dengan nada lirih, ketika suasana kritis. Dia tampak bahagia menyongsong kematiannya.
Seorang raja yang agung nan termashur akan kekuasaan dan kejayaannya di masa silam, yaitu Iskandar Dzukqarnain pernah berkata dan meminta kepada keluarga dan pembesar kerajaannya, agar suatu saat ketika beliau meninggal dunia, supaya jasadnya diarak di tengah-tengah rakyatnya. Beliau menginginkan agar kematiannya menjadi peringatan bagi rakyatnya. Bahwa Sang Kaisar yang gagah perkasa dengan segala kedigdayaannya pun menjumpai kematian dan meninggalkan alam dunia ini dengan tidak membawa kekuasaan dan perhiasan dunia sedikitpun.
Tentu bagi seorang mukmin, sangat menginginkan agar kehidupan ini penuh arti dan makna. Karena sejatinya kehidupan dunia ini hanya sekadar persinggahan sesaat, hidup sebentar lalu mati. Maka alangkah ruginya jika kehidupan yang sekejap ini diisi dengan kesia-siaan dan hanya sekedar menjadi jasad yang berjalan. “Banyak orang yang mati sebelum mati”, begitulah kata para ‘alim. Yaitu yang jasad dan tubuhnya sempurna, namun mati rasa, mati pikir bahkan mati nuraninya.
Dikisahkan pula seorang tabi’in, yang juga sebagai seorang raja yang agung, beliau adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang arif dan bijaksana di masa kejayaan Islam pada periode Dinasti Umayyah. Di masa-masa jelang kematiannya, dia sering tidak tidur malam dan menangis karena dia tidak menginginkan suatu saat nanti di akhirat, dia dituntut oleh rakyatnya atas amanat kepemimpinan yang tidak tertunaikan selama berkuasa. Padahal dia khalifah yang terkenal dengan kejujuran dan keadilannya, selalu menunaikan setiap amanahnya sebagaimana salah seorang khulafaur-rosyidin Amirul Mukninin Umar bin Khattab semasa kepemimpinannya yang penuh tanggung jawab dalam balutan keimanan dan tampilan kesederhanaannya.
Dengan demikian, seorang muslim harus mempersiapkan bekal untuk kehidupan berikutnya pasca kematiannya di dunia. Karena sejatinya kematian bukan akhir dari segala permasalahan kehidupan di dunia. Maka, suatu hal yang teramat konyol jika seseorang yang terlilit permasalahan hidup yang sulit dihadapinya, lantas berputus asa dan kemudian mengakhiri kehidupannya dengan bunuh diri. Karena itu bukan solusi, tapi justru itu awal petaka permasalahan yang tidak akan berkesudahan, karena di sanalah akan diperlihatkan segala apa yang sudah diperbuat selama hidup dan di sana pula akan diberikan balasannya. Kematian adalah fase awal sebagai gerbang menuju alam keabadian. Umat Islam mengenalnya sebagai alam kubur atau alam barzakh kemudian fase-fase lainnya (barzakh, hari berbangkit, padang mahsyar, yaumul mizan, yaumul hisab, shirot, surga dan neraka) sebagai rangkaian dari alam akhirat yaitu tempat untuk mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya. Maka manjadi hal yang keliru pula jika kematian diartikan sebagai peristirahatan terakhir, tempat ketenangan atau kedamaian terakhir dari fase kehidupan seorang anak Adam. Padahal kematian adalah awal perjalanan panjang nan melelahkan, yang di sana tidak ada lagi kesempatan untuk beristirahat dan memperbaiki amal.
Muslim yang cerdas adalah yang selalu mengingat kematian, sehingga setiap saat kehidupannya diisi dengan hal-hal yang bermanfaat untuk dunia dan terlebih untuk perbendaharaannya di akhirat kelak. Nabi sholallahu’alaihi wasallam bersabda, “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan (kematian)”. (H.R. An Nasa’i no. 1824, Tirmidzi no. 2307, Ibnu Majah no. 4258 dan Ahmad 2:292. Hasan Shohih menurut Al Albani).
Wahai diri, yang selalu lalai akan kematian yang semakin mendekat, ingatlah faedah mengingat kematian. Mengingat kematian adalah termasuk ibadah tersendiri yang disyariatkan. Mengingat kematian akan membantu diri untuk semakin khusuk dalam sholat dan ibadah-ibadah lainnya. Mengingat kematian menjadikan kita semakin mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Allah. Mengingat kematian menjadikan hidup lebih bermakna, karena selalu berhati-hati dalam berbuat dan menghindari kemaksiatan. Mengingat kematian menjadikan manusia terhindar dari berbuat dzolim dan kesia-siaan.
Di tengah mewabahnya penyebaran Covid-19, setiap saat kita disuguhi berita tentang kematian. Sehingga setiap orang merasakan bahwa betapa kematian itu teramat dekat, yang setiap saat mengikuti kita. Banyak orang yang merasa cemas, karena dibayang-bayangi hantu kematian. Sekali lagi penulis tegaskan, bagi seorang mukmin tidak perlu takut mati, karena itu sebuah kepastian. Justru yang wajib diwaspadai adalah bilamana seseorang takut mati karena lebih mencintai kehidupan dunia yang pana. Inilah yang dikatakan oleh Nabi sebagai penyakit “al Wahn”, maka para sahabat beliau bertanya “Apa itu al wahn?” Kemudian dijelaskan olah Nabi, “al wahn adalah seseorang yang lebih mencintai kehidupan dunia dan takut kepada kematian”.
Di alam barzakh sana, setiap saat akan diperlihatkan segala amal perbuatannya semasa di dunia, baik amal sholeh maupun amal salahnya. Seseorang dihibur dengan kebaikannya dan ditakuti bahkan disiksa akibat kemaksiatannya. Semuanya terus berlangsung tanpa berkesudahan sampai kiamat tiba, bahkan samapai selesai masa pertanggung jawabannya. Yaitu tatkala seorang mukmin menginjakkan kakinya di surga atas rahmat Allah. Di surgalah peristirahatan yang sesungguhnya, yang kekal nan abadi. Yang tidak dapat dibayangkan bagaimana nikmat dan indahnya keadaan surga tersebut, kecuali atas apa yang telah Allah kabarkan melalui ayat-ayat cinta-Nya. Wallahu a’lam.