Visinews.net – Fenomena Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 hanya diikuti oleh satu pasangan calon meningkat hampir 100 persen.

Pada Pilkada terakhir di tahun 2020 ada 25 kabupaten/kota yang Pilkadanya hanya satu pasangan calon. Naik drastis pada Pilkada 2024 ini, disinyalir ada 43 kabupaten/kota, dan 1 provinsi. Ada tiga alasan mengapa muncul pasangan calon tunggal.

Pertama, faktor natural. Dimana di sebuah daerah memang benar-benar tidak ada partai yang bisa diusung sebagai pasangan calon dalam Pemilihan Kepala Daerah. Andaipun ada misalnya dalam perjalanan mengalami halangan tetap, entah itu meninggal dunia atau terkena kasus hukum tetap. Sehingga mau tidak mau Pemilihan Kepala Daerah harus diikuti oleh satu pasangan calon.

Kedua, monopoli partai politik. Hasil penelitian saya sejak tahun 2015-2020 menyimpulkan, meningkatnya jumlah pasangan calon tunggal di Pilkada kabupaten/kota alasannya cuma satu saja, dimana memborong partai politik lebih murah dan lebih pasti dibandingkan harus mengikuti kontestasi. Jelas ini sebuah fenomena pragmatis dan transaksional. Sehingga siapapun yang memiliki uang bisa memborong seluruh partai politik.

Ketiga, intervensi oligarki politik kekuasaan. Kondisi ini terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024 ini. Dimana penolakan DPR terhadap putusan MK sebuah indikasi jelas bahwa fenomena calon tunggal sudah diskenariokan oleh oligarki politik kekuasaan. Meskipun ambang batas persyaratan minimal partai politik atau gabungan partai politik sudah turun seturun-turunya, namun fenomena pasangan calon tunggal tetap saja tinggi jumlahnya, hampir 10% dari jumlah kabupaten/kota yang mengikuti Pilkada serentak di seluruh Indonesia.

Bisa kita bayangkan jika ambang batas tersebut masih menggunakan undang-undang sebelum putusan MK, mungkin bisa 50 persen provinsi, kabupaten/kota yang mengalami fenomena Pilkada diikuti hanya satu pasangan calon.

Tapi apapun faktornya fenomena Pemilihan Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh satu psangan calon dengan grafik yang terus meningkat sejak tahun 2015-2024 menggambarkan tiga hal.

Pertama, kegagalan partai politik. Partai politik telah gagal membangun sistek indonesia dengan sistem kepartaian. Dengan terus meningkatnya fenomena pasangan calon tunggal, partai politik telah gagal dalam melakukan perkaderan politik.

Kedua, kembalinya oligarki kekuasaan. Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024, terlihat seakan-akan saja ada momentum pemilihan, padahal hakikatnya tidak ada pemilihan, terlebih hanya melawan kotak kosong. Kondisi ini diakibatkan dengan dipaksa atau disanderanya seluruh partai politik oleh oligarki kekuasaan untuk sama-sama mengusung satu pasangan calon. Tentu saja kondisi ini merupakan sebuah ancaman bagi demokrasi di indonesia.

Ketiga, degradasi demokrasi. Demokrasi formal prosedural dalam konteks Pemilu dan Pilkada substansinya tidak hanya memilih orang, namun memilih gagasan, memilih rekam jejak dan memilih karakter. Jika lawannya kotak kosong, gagasan apa yang mau dibandingkan? Rekam jejak apa yang perlu disandingkan? Serta karakter apa yang bisa dibedakan?

Jelas apapun alasannya, fenomena pasangan calon tunggal merupakan indikasi nyata degradasi demokrasi di Indonesia.

Lebih jauh dari hal yang saya ungkapkan di atas, fenomena pasangan calon tunggal yang terus meningkat merupakan pesan nyata semua kekuatan politik elit tidak menghendaki adanya pemilihan namun ingin mengembalikan Pemilu dan pemilihan kepada sistem tertutup, kembali ke jaman rezim orde baru.

Yusfitriadi (Pengamat Politik dan Kebijakan Publik)

Loading