Oleh : Ikhsan Harris Fadillah
Kasus KM 50 telah menjadi salah satu peristiwa paling kontroversial di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Peristiwa yang terjadi pada Desember 2020 ini melibatkan tewasnya enam anggota Front Pembela Islam (FPI) setelah bentrok dengan aparat kepolisian di Tol Jakarta-Cikampek. Hingga hari ini, banyak pertanyaan yang belum terjawab yang kemudian menimbulkan spekulasi dan perdebatan di kalangan masyarakat.
Sejak awal, kasus ini memunculkan banyak tanda Tanya. Versi resmi dari pihak kepolisian menyatakan bahwa anggota FPI tersebut menyerang petugas denga senjata api dan senjata tajam, sehingga polisi terpaksa mengambil tindakan tegas. Namun, banyak pihak termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), menganggap narasi ini. Komnas Ham dalam laporannya menyebut ada dugaan pelanggaran HAM dalam penanganan kasus ini dan meminta menyelidiki lebih lanjut.
Kepercayaan public terhadap lembaga penegak hukum sangat di permasalahkan dalam kasus ini. Transparasi dan akuntabilitas adalah kunci utama dalam menjaga kepercayaan tersebut. Sayangnya banyak yang merasa bahwa proses hukum dalam kasus KM 50 tidak cukup transparan. Berbagai fakta yang muncul di belakang termasuk rekaman video dan saksi mata, seringkali berbeda dengan narasi resmi yang diberikan oleh pihak wewenang.
Kasus KM 50 juga memicu polarisasi di masyarakat. Ada yang membela tindakan aparat sebagai upaya menjaga keamanan dan ketertiban, sementara yang lain melihatnya sebagai bentuk kekerasan negara terhadap warga sipil. Polarisasi ini semakin diperparah oleh berbagai informasi yang beredar di media social, yang sering sekali tidak terverifikasi dan cenderung memprovokasi.
Kasus ini tidak hanya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum, tetapi ini juga berdampak pada gerakan social dan politik di Indonesia. FPI, sebagai organisasi yang kerap berada digaris depan dalam berbagai isu social dan politic, kini menghadapi tantangan besar setelah peristiwa KM 50. Selain itu, kasus ini juga memunculkan kembli diskusi tentang peran dan keberadaan organisasi-organisasi berbasis agama dalam ranah politik dan social.
Dalam menghadapi kasus KM 50, penting bagi kita sebagai bangsa untuk mendorong transparasi dan keadilan. Setiap bentuk kekerasan, baik oleh negara maupun kelompok tertentu, harus diusut tuntas dan pelakunya diproses sesuai hukum yang berlaku. Hanya dengan cara ini, kita dapat membangun kepercayaan public terhadap lembaga penegak hukum dan menjaga persatuan bangsa.
Beberapa waktu yang lalu, pendiri FPI Dr. (H.) Habib Muhammad Rizieq Syihab (HRS) telah di nyatakan bebas murni oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) Jakarta pusat, Senin (10/6/2024). Setelah bebas, dia berjanji membuka kasus KM 50 yang menewaskan enam Laskar FPI.
“Dengan bebasnya saya saat ini, saya tentu akan lebih bebas melakukan penuntutan kepada semua pihak yang terlibat dalam pembantaian KM 50,” ujar Habib Rizieq kepada wartawan di Bapas Jakarta Pusat.
Habib Rizieq pun menegaskan akan mengejar siapa pun yang terlibat dalam kasus KM 50. “Saya bersumpah, demi Allah, saya akan kejar, siapa pun, pihak mana pun yang terlibat di pembantaian KM 50. Saya tidak peduli siapa orangnya. Saya akan kejar mereka dari dunia sampai akhirat,” tegasnya.
Habib Rizieq mengatakan, dia akan menempuh mekanisme hukum nasional ataupun internasional, Selain itu, dia juga akan mengajak para tokoh agama Islam untuk membantu mendoakan agar pihak yang terlibat dalam kasus KM 50 segera terungkap.
Di lain sisi, kuasa hukum keluarga enam anggota Laskar FPI, Aziz Yanuar, mengaku masih menunggu respons Mahkamah Internasional atau International Criminal Court (ICC) di Den Haag dan Committee Against Toture (CAT) yang harus terus bergerak. Saya selaku penulis artikel opini ini, sepakat dengan langkah dan tindakan yang di ambil oleh kuasa hukum korban KM 50 sekaligus menggaungkan kasus tersebut di mata dunia Internasional, dengan upaya itu seiring dengan upaya keluarga korban mencari keadilan agar bisa didapatkan.
Sebagai Masyarakat, kita juga harus lebih kritis dalam menerima informasi. Verivikasi data dan fakta sebelum menyebarkannya adalah langkah penting untuk menghindari penyebaran berita bohong yang dapat memecah belah bangsa. Dengan demikian, kita dapat berperan aktif dalam menciptakan iklim social dan politik yang lebih sehat dan konstruktif.
Kasus KM 50 adalah cerminan dari berbagai masalah yang masih harus kita hadapi sebagai bangsa. Namun, dengan komitmen untuk mengejar kebenaran dan keadian, kita dapat melewati masa-masa sulit ini dan membangun semaksimal mungkin masa depan yang lebih baik untuk Indonesia.