Oleh : Dodi Partawijaya (Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Sumedang)

Keberkahan bagi pemimpin dan yang dipimpin punya dimensi kepuasan spiritual  yang tidak bisa diukur oleh keunggulan material. Kemimpinan yang amanah merupakan jangkar (anchor)  bagi perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.

Berani melawan arus untuk mekuruskan kemunkaran, kezaliman seperti yang dilakukan buya Hamka.

Sementara kesejahteraan  (prosperity) berbasis pada pemenuhan kepuasan material  degan segala ornamennya, sering membuat manusia terlena untuk memilikinya, sampai mengabaikan keadilan.

“Buya Hamka memiliki moto perjuangan yang patut diteladani pemimpin atau calon pemimpin. Pertama, niatkan apa yang dilakukan itu untuk Allah SWT

Kedua, menggunakan modal yang dimilikinya secara apa adanya, atau istilahnya meski hanya “nasi sebungkus”

“Ketiga, pantang mundur karena punya keyakinan yang benar. Buya Hamka berjuang secara tegas dan pantang mundur karena merasa apa yang dilakukannya benar. Itulah moto perjuangan yang selalu beliau tanamkan,”

Sementara itu, pengamat sosial-politik Fachry Ali yang juga pembicara menilai figur Buya Hamka sebagai sosok pemimpin yang romantik

“Buya Hamka ini pemimpin romantik. Beliau menggemari sastra.

Sama hal dengan kondisi kehidupan Agus Salim di luar dari apa yang dibayangkannya. Sebagai seorang tokoh berpengaruh, hidup berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain sudah jadi kebiasaan. Tak jarang ketika hujan datang atap rumah kontrakan bocor.

Bersama anak-anaknya, Agus Salim menampung air hujan dalam baskom yang kemudian digunakan untuk main kapal-kapalan. Kemelaratan diupayakan tetap dihiasi dengan kegembiraan. Begitulah cara bagi seorang Agus Salim mengajarkan arti kesederhanaan kepada anak-anaknya.

Kisah hidup Agus Salim tersebut terdengar begitu romantik dan nyaris utopis. Kisah Agus Salim tadi terdengar seperti seorang pertapa atau orang suci yang sudah selesai dengan perkara-perkara yang bersifat duniawi. Terdengar seperti kisah dongeng ataupun pewayangan. Namun sayangnya semua kisah tersebut benar adanya.

Mitologi terkait Kesatrio Piningit adalah salah satu kisah kepemimpinan yang dimitoskan Tentu saja imaji yang terbangun dalam angan-angan rakyat bisa saja berbeda-beda, tapi satu kesamaannya yang jelas: semuanya menggambarkan sosok yang sempurna dan hampir adimanusia.

Leiden is lijden!”. Memimpin adalah Menderita. Begitulah bunyi pepatah kuno Belanda yang dikutip oleh Mohammad Roem dalam karangannya berjudul “Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita” (Prisma No 8, Agustus 1977).

Alquran menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah teladan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal kepemimpinan.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS al-Ahzab [33]: 21).

Nabi Muhammad SAW merupakan sosok pemimpin yang paling berpengaruh sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. Hal ini diakui oleh Michael Hart seorang penulis Barat dalam bukunya “The 100, a Rangking of The Most Influential Persons in History”. Dengan sangat obyektif ia menempatkan Nabi SAW sebagai orang paling berpengaruh dalam sejarah.

Hal itu menunjukkan bahwa Nabi SAW memiliki kecerdasan manajerial yang tinggi dalam mengelola, mengatur, dan menempatkan anggota masyarakatnya dalam berbagai posisi sesuai kemampuannya, sehingga dapat mencapai tujuan utama, yaitu membangun masyarakat madani yang berlandaskan nilai-nilai Ilahi.

Dalam menjalankan kepemimpinannya, Nabi SAW selalu mengedepankan akhlak mulia. Hal ini diakui oleh Husain bin Ali sebagai cucu Nabi SAW. Bahwa Nabi adalah pribadi yang menyenangkan, santai dan terbuka, mudah berkomunikasi dengan siapa pun, lemah lembut dan sopan, tidak keras dan tidak terlalu lunak, tidak pernah mencela, tidak pernah menuntut dan menggerutu, tidak mengulur waktu dan tidak tergesa-gesa.

Orang-orang yang bersikap obyektif dari kalangan non-muslim pun mengakuinya.

Washington Irfing, seorang orientalis dan salah seorang penulis besar Amerika yang menjadi kebanggaan Amerika Serikat dan negara lain di abad sembilan belas Masehi, lahir tahun 1832 M di kota Washington dan meninggal tahun 1892 M.

Dia berkata, ”Muhammad adalah penutup para nabi, rasul paling agung yang diutus oleh Allah SWT untuk menyeru manusia kepada penyembahan kepada Allah.”

Nabi SAW memiliki rasa empati dalam memimpin. Nabi tidak pernah mencaci seseorang dan menegur karena kesalahannya, tidak mencari kesalahan orang lain, tidak berbicara kecuali yang bermanfaat.

Kalau Nabi berbicara, yang lain diam menunduk seperti ada burung di atas kepalanya, tidak pernah disela atau dipotong pembicaraannya, membiarkan orang menyelesaikan pembicaraannya, tertawa bersama mereka yang tertawa, heran bersama orang yang heran, rajin dan sabar menghadapi orang asing yang tidak sopan, segera memberi apa yang diperlukan orang yang tertimpa kesusahan, tidak menerima pujian kecuali dari yang pernah dipuji olehnya (HR Tirmidzi).

Nabi SAW mengedepankan keteladanan (uswah hasanah) dalam memimpin.

Dikisahkan dari Al Barra’ bin Adzib, ia berkata: “Kulihat beliau mengangkuti tanah galian parit, hingga banyak debu yang menempel di kulit perutnya. Sempat pula kudengar beliau bersabda,

“Ya Allah, andaikan bukan karena Engkau, tentu kami tidak akan mendapat petunjuk, tidak bershadaqah dan tidak shalat. Turunkanlah ketenteraman kepada kami dan kokohkanlah pendirian kami jika kami berperang. Sesungguhnya para kerabat banyak yang sewenang-wenang kepada kami. Jika mereka menghendaki cobaan, kami tidak menginginkannya.”

Nabi SAW adalah sosok pemimpin yang mengedepankan kebersamaan. Nabi mengusulkan sebuah ide win-win solution dalam penyelesaian masalah peletakkan hajar aswad.

Direntangkannya sebuah kain besar, kemudian hajar aswad diletakkan di bagian tengahnya, lalu beliau meminta kepada setiap pemimpin kabilah untuk memegang ujung kain tersebut. Setelah itu, hajar aswad disimpan ke tempat semula di Ka’bah.

Dengan cara seperti itu, tidak ada satupun kabilah yang merasa dirugikan, bahkan mereka sepakat untuk menggelari beliau sebagai al-Amin (orang yang terpercaya).

Jadi, kekuatan akhlak inilah yang menjadi pondasi dalam kepemimpinan Nabi SAW. Dan, Akhlak Nabi adalah Alquran.

Allah SWT menegaskan, ”Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS al-Qalam [68]: 4).

Ketika Aisyah RA ditanya tentang akhlak Nabi SAW, ia menjawab bahwa akhlak Nabi adalah Alquran (HR Muslim).

Wallahu’alam

Sumedang, 30 Oktober 2020
____________________________

 817 total views,  3 views today