Bogor, Visinews.net – Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Bogor mengadakan kajian online dengan tema “Melihat Spirit Peruangan Tokoh Revolusioner Bangsa” pada hari sabtu tanggal 06 juni 2020 M /14 Syawal 1441 H via aplikasi zoom. Kajian ini diikuti oleh kawan-kawan aktivis organisasi mahasiswa eksternal maupun internal se-Indonesia. Di tengah-tengah himbauan pemerintah untuk tetap di rumah aja, menjadikan kekhawatiran tersendiri bagi para pemuda untuk tidak berkarya. Karena telah kehilangan semangat untuk terus berkarya dan melakukan hal-hal produktif.
Kajian kali ini dibuka oleh Ketua Umum IMM Bogor, Arfiano. Pemantik pada kajian ini adalah Ketua Bidang Keilmuan IMM Bogor, Didik Apriliyanto.
Pada kajian online kali ini pemantik kita mengangkat beberapa tokoh revolusioner yang bisa kita teladani dalam membangun Indonesia ini, di antaranya ada Raden Ajeng Kartini atau yang lebih di kenal sebagai raden ayu kartini, Tirto Adhi Soerjo, Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto atau yang lebih di kenal dengan nama Hos Cokroaminoto, dan yang terakhir ada Tan Malaka.
Tokoh Revolusioner perempuan yang sampai saat ini selalu diperingati pada tanggal 21 April sebagai hari kartini karena telah menjadi pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Kartini berasal dari seorang priayi ( kelas bangsawan jawa) putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir. Garis keturunan kyai haji hamengkubuwono VI. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Belajar Bahasa belanda, Setelah usia 12 tahun kartini sudah dipingit. Kartini selalu belajar membaca dan menulis dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa.
Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Buku-buku yang dibaca kartini dengan menggunakan bahasa belanda seperti MAX HAVELAAR, surat–surat cinta karya MULTATULI, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek, roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Dan karya beliau yang sangat terkenal adalah “Habis gelap terbitlah terang”.
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Tokoh Revolusioner kedua yang diangkat pada kajian ini adalah Tirto Adhi Soerjo beliau adalah seorang jurnalis sekaligus orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Tirto juga mendirikan Sarikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905. Dia berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara) Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula. Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional, Pada tanggal 3 November 2006 Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006.
Gelar yang diberikan oleh belanda De Ongekroonde van Java atau “Raja Jawa Tanpa Mahkota” atau sebagai guru para pemimpin-pemimpin di Indonesia yang bernama lengkap Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto Berasal dari keturunan bangsawan bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo. Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah “Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.”
Tokoh terakhir yang diangkat dalam kajian ini adalah Tan Malaka atau yang bernama lengkap Ibrahim gelar Datuk Sutan Malaka. Semasa kecilnya, Tan Malaka senang mempelajari ilmu agama serta mampu menghafal al-quran di usia muda, selain itu berlatih pencak silat juga menjadi kesenangannya. Pada tahun 1908, ia didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock. Menurut GH Horensma, salah satu guru di sekolahnya itu, Tan Malaka adalah murid yang cerdas, Di sekolah ini, ia menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi seorang guru di sekolah Belanda. Setelah lulus dari sekolah itu pada tahun 1913, ia ditawari gelar datuk dan seorang gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, ia hanya menerima gelar datuk.
Dari beberapa pahlawan nasional yang dibahas dalam kajian ini, ada juga beberapa Pandangan yang disampaikan oleh tokoh-tokoh di atas, seperti RA Kartini mengatakan “Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik.
“Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat,agar disediakan pelajaran dan pendidikan karena inilah yang akan membawa bahagia baginya. Marena atas jasa perempuanlah kita bisa terlahir dunia ini,” pungkas Didik saat menjelaskan materi melalui zoom.
Penutup kajian ini pemateri meyampaikan bahwa “setiap pejuang bisa kalah dan terus-menerus kalah tanpa kemenangan, dan kekalahan itulah gurunya yang terlalu mahal dibayarnya. Tetapi biarpun kalah, selama seseorang itu bisa dinamai pejuang dia tidak akan menyerah. Bahasa Indonesia cukup kaya untuk membedakan kalah daripada menyerah.” (NG/Visinews.net)