oleh: Asep Saepudin
(Ketua Bidang Dakwah dan Kajian Keagamaan Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat)

Permasalahan kekerasan terhadap anak tidak henti-hentinya mewarnai media pemberitaan, baik di media sosial, media cetak maupun televisi. Kekerasan ini tidak hanya dilakukan oleh orang di luar lingkungan anak, namun dilakukan juga oleh orang terdekat. Apa pun alasannya, hal tersebut tidak bisa dibenarkan. Di lingkungan keluarga misalnya, tidak sedikit orang tua yang menghukum anaknya dengan bentuk hukuman fisik yang disebabkan oleh masalah yang sepele. Begitupun di lingkungan pendidikan seperti sekolah, seorang guru sebenarnya tidak dibenarkan memberi hukuman fisik ketika siswanya melakukan sebuah kesalahan.

Kondisi semacam ini penting untuk mendapatkan perhatian secara serius, terutama bagi orang tua dan pendidik. Mengingat kedudukan orang tua dan pendidik merupakan pilar utama sekaligus mendasar dalam proses pembentukan pribadi dan karakter anak di masa mendatang. Maka, sudah semestinya orang tua dan pendidik memperhatikan metode dan pendekatan yang tepat bagi anak didiknya. Perbedaan tingkat intelegensi, persepsi, usia serta tingkat emosi anak menuntut perlakuan yang berbeda pula.

Ketika seorang anak berbuat kesalahan, penyimpangan, atau semisal gagal dalam mengerjakan tugas sekolah, tidak berarti hukuman menjadi satu-satunya opsi sang guru untuk merespon kesalahan anak. Karena hukuman seringkali tidak memberi dampak yang baik untuk psikologis anak. Namun, tidak juga kita permisif membiarkan anak terbiasa dalam kesalahan tanpa ada upaya melakukan pengarahan dan memberi pemahaman yang seharusnya.

Ada tipe anak yang sudah mampu menyadari kesalahannya hanya dengan melihat sebuah mimik wajah seperti tatapan tajam dari orang tua atau guru ketika sang anak berbuat kesalahan. Ada juga tipe anak yang mudah diarahkan dengan nasehat atau kata-kata bijak penuh makna. Namun ada juga anak yang memang tidak bisa secara cepat menyadari kesalahan yang dia lakukan kecuali ketika hukuman itu diberikan.

Lalu bagaimana pandangan agama akan hal ini? Dalam salah satu agama seperti Islam misalnya, Rasulullah Muhammad SAW menganjurkan kepada setiap muslim untuk selalu mengedepankan sikap lemah lembut, khususnya perlakuan kepada anak-anak. Dalam salah satu hadits, Rasulullah bersabda, “sesungguhnya tidaklah kelemahlembutan ada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya. Dan tidaklah kelemahlembutan tercabut dari sesuatu kecuali akan menodainya” (HR. Muslim).

Dalam sumber lain, Muslim meriwayatkan bahwa, “Aisyah menceritakan, Rasulullah tidak pernah memukul seorang pun, baik wanita maupun pelayan”.

Pendidikan yang bijak tidak bersandar kepada hukuman secara mutlak dalam upaya menyadarkan kesalahan anak, akan tetapi, pendidikan seharusnya bisa menempuh metode-metode sugestif, semacam pemberian hadiah atau nasehat yang mampu memotivasi dan menginspirasi anak untuk melakukan kebaikan. Karena secara psikologis, anak-anak lebih menyukai imbalan atau hadiah dibandingkan suatu hukuman. Boleh jadi kita semua sepakat, bahwa jangankan anak-anak, kita yang dewasa saja lebih menginginkan sebuah sanjungan, pujian dan apresiasi, alih-alih mendapat cemoohan atas kesalahan yang telah kita lakukan.

Hadiah atau nasehat yang dikemas dalam bentuk sanjungan bisa memberikan pengaruh positif kepada anak. Maka dalam satu kondisi misalnya, sekecil apa pun prestasi atau capaian anak dalam lingkungannya, orang tua diharapkan selalu antusias member apresiasi. Tidak menjadi pelit dengan pujian lantaran prestasi yang dianggap tidak signifikan.

Begitu pula ketika anak memiliki prestasi yang kurang memuaskan, jangan sampai membuatnya semakin terpukul karena luapan kekecewaan orang tua dengan kata atau keluhan yang secara langsung menghancurkan harapan anak untuk bangkit dan menunjukkan capaian yang lebih baik. Orang tua atau pendidik harus mampu menelaah secara mendalam untuk mencari sumber penyebab kurang maksimalnya prestasi yang diraih oleh anak atau siswanya.

Dalam beberapa kasus, kekecewaan orang tua atas prestasi yang mereka harapkan bisa diraih oleh sang anak, dilampiaskan secara keliru dengan bentuk hujatan dan umpatan yang sama sekali tidak pantas diterima oleh sang anak. Misalnya ungkapan seperti “dasar bodoh”, yang pada saat itu juga akan memberikan ledakan psikis pada anak yang seringkali sulit untuk bisa disembuhkan secara total.

Dalam benak orang tua dan pendidik seharusnya bisa ditanamkan bahwa sesungguhnya tidak ada anak yang bodoh atau anak yang nakal. Orang tua dan pendidik lah yang bertanggungjawab mengarahkan pertumbuhan dan pembangunan karakter sang anak.

Syaikh Jamil Zainu, seorang tokoh pendidik dan cendekiawan muslim memaparkan beberapa cara untuk memotivasi anak, diantaranya adalah dengan memberikan pujian yang indah dan doa yang baik bagi anak, memberi hadiah atau imbalan kepada anak, memberikan wasiat atau nasehat kepada orang tua atau wali murid untuk bisa melakukan pendekatan yang persuasive kepada anak-anak mereka.

Orang tua dan pendidik harus selalu ingat dengan tujuan dari adanya hukuman dalam mendidik anak. Terlebih hukuman fisik yang bisa mengakibatkan timbulnya cacat fisik pada anak. Membekasnya hukuman pada jiwa anak akan menimbulkan sebuah trauma psikis yang berkepanjangan. Lebih jauh, pengalaman tersebut akan berpotensi melahirkan dendam di kemudian hari.

Hilangnya sikap saling menghargai antara orang tua dan anak atau antara guru dan murid, akan menimbulkan dampak yang buruk dalam relasi sosial kedua belah pihak diantaranya adalah terhambatnya kemampuan anak dalam memahami pelajaran yang disebabkan kebencian terhadap sosok yang mengajarinya.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 pasal 54 ayat 1 disebutkan “ Anak-anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain”. Ini merupakan kesepakatan konstitusional yang wajib menjadi pedoman baik sebagai orang tua maupun sebagai pendidik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan dan kenyamanan kepada putra-putri kita.

Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan bahwa metodologi pendidikan di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekolah harus bersendikan nilai-nilai yang ramah anak dan memperhatikan norma-norma, baik nilai luhur tradisi, agama maupun norma hukum positif yang telah disepakati.

Pemerintah sudah menjamin aturan dan menyediakan payung hukum untuk kita jadikan pedoman bersama. Adalah peran aktif kita semua untuk bersama-sama mensosialisasikan dan mensinergikannya dengan semua pihak di semua lapisan masyarakat. Karena ini menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita semua sesuai dengan peran dan fungsi kita masing-masing sebagai manusia yang menjunjung nilai-nilai luhur berkeadaban.

Loading