Oleh:
Asep Saepudin
(Sekretaris PKG-P3A Vinus, Ketua PWPM Jawa Barat Bidang Dakwah & Kajian Keagamaan)
Menurut KBBI, Hoax mengandung makna berita bohong, berita tidak bersumber. Menurut Silverman (2015), hoaks merupakan sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, tetapi “dijual” sebagai kebenaran. Menurut Werme (2016), mendefiniskan Fake news sebagai berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu. Hoaks bukan sekadar misleading alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, tetapi disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta.
Sedangkan istilah radikalisme berasal dari Bahasa Latin radix yang berarti “akar”, yaitu istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung Gerakan Radikal. Dalam sejarah, gerakan yang dimulai di Britania Raya ini meminta reformasi sistem pemilihan secara radikal. Gerakan ini awalnya menyatakan dirinya sebagai partai kiri jauh yang menentang partai kanan jauh. Begitu “radikalisme” historis mulai terserap dalam perkembangan liberalisme politik, pada abad ke-19 makna istilah radikal di Britania Raya dan Eropa daratan berubah menjadi ideologi liberal yang progresif. (wikipedia ensiklopedia bebas)
Radikalisme adalah suatu ideologi, gagasan atau paham dengan cara ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan/ ekstrim.
Kelompok radikal umumnya menginginkan perubahan tersebut dalam tempo singkat dan secara drastis serta bertentangan dengan sistem sosial yang berlaku.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2007), radikalisme adalah (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik. Dalam Kamus Politik, yang dimaksud radikal adalah orang yang ingin membawa ide-ide politiknya ke akar-akarnya, dan mempertegas dengan cara yang sempurna doktrin-doktrin yang dihasilkan oleh usaha tersebut.
Radikalisme merupakan gejala umum yang bisa terjadi dalam suatu masyarakat dengan motif beragam, baik sosial, politik, budaya maupun agama, yang ditandai oleh tindakan-tindakan keras, ekstrim, dan anarkis sebagai wujud penolakan terhadap gejala yang dihadapi. Kini, istilah radikalisme bergeser ke pemahaman ajaran agama tertentu. Entah dari mana mulanya dan entah sejak kapan, istilah tersebut akhir-akhir ini sering diidentikan dengan perilaku menyimpang dan anarkis dari sebagian oknum orang yang mengaku beragama.
Pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menilai pemerintah perlu membuat definisi yang jelas tentang radikalisme terlebih dulu sebelum mengeksekusi. Menurutnya, memperjelas definisi itu perlu agar misi menangkal radikalisme tepat sasaran. Jika tidak ada definisi yang jelas tentang radikalisme, dia menganggap bakal berefek bias ke berbagai aspek. Terlebih, selama ini radikalisme kerap diidentikkan dengan agama tertentu. “Kalau enggak jelas jadi undefinitive itu bahaya, bisa bias ke mana-mana, ini termasuk terminologi yang sangat sensitive”, ujar Harits.[CNNIndonesia.com, Kamis (14/11)].
Dengan membuat definisi yang jelas soal radikalisme, maka pemerintah jadi bisa menemukan cara yang efektif untuk memberantasnya. Jika definisi radikalisme berkaitan dengan pemikiran, maka cara menanggulangi yang tepat yaitu dengan menghadirkan narasi atau pemikiran untuk menandinginya. Maka, perlu dihadirkan pemikiran yang bisa menandingi.
Pemikiran tandingan ini diinjeksikan ke masyarakat menjadi imunitas masyarakat, agar mereka punya imun yang kuat, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pemikiran yang dianggap radikal. Melawan radikalisme tidak bisa dilakukan dengan cara kekerasan. Kekerasan justru akan memunculkan dendam dan berpotensi menimbulkan aksi teror lainnya.
Hingga kini, virus radikalisme masih menjadi momok yang patut untuk diwaspadai karena keberadaannya terasa senyap bak gerakan bawah tanah yang cukup sulit terdeteksi. Namun bukti akan eksistensi radikalisme di Indonesia masih tetap ada bahkan sampai saat ini. Meski gerakannya senyap, namun berkembangya penggunaan media sosial juga telah dimanfaatkan oleh kelompok yang anti terhadap demokrasi untuk menghembuskan paham radikalisme. Saat ini penganut paham radikal juga semakin dimudahkan dalam menyebarkan virus-virusnya, sebab pengguna potensial sosial media semakin berkembang utamanya di kalangan anak muda.
Suhardi Alius selaku kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, mengimbau kepada pengguna sosial media agar berhati-hati dalam bersosial media. Hal tersebut didasari pada konten-konten yang berisi kekerasan yang berkembang pesat melalui jejaring sosial. Kelompok radikal tersebut menggunakan jaringan internet untuk bermacam hal, seperti provokasi, menyebarkan isu, menebarkan ketakutan, berita hoax hingga kebencian kepada pemerintah.
Dengan maraknya penggunaan sosial media, paham radikal tentu tidak pandang bulu dalam menyebarkan ideologinya, sehingga peningkatan kewaspadaan sangatlah perlu untuk digencarkan. Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Azyumardi Azra memaparkan, paham radikal yang menganggap pemahamannya paling benar juga telah menyusup ke sekolah menengah melalui tenaga pendidik.
Hasil survei dari lembaga kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof Dr Bambang Pranowo, yang juga merupakan Guru Besar Sosiologi Islam di UIN Jakarta pada 2010 lalu, menunjukkan bahwa hampir 50% pelajar setuju dengan tindakan radikal. Data tersebut juga menunjukkan 25% siswa dan 21 Guru menyatakan bahwa Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan syariat Islam di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa paham radikalisme di Indonesia terus menggelinding bak bola sajlu. Keberadaannya seakan terus menggerus rasa nasionalisme, persatuan dan kesatuan, serta menimbulkan keresahan di masyarakat.
Diperlukan upaya serius dan kontinu dari seluruh elemen masyarakat dalam membendungnya agar paham radikalisme tidak terus meluas. Karena tidak hanya masyarakat umum saja yang rawan terpapar radikalisme, justru tidak sedikit pengikut paham tersebut dari kalangan terdidik. Hal ini tentu harus menjadi perhatian tersendiri khususnya bagi kalangan pendidik agar senantiasa memberikan pemahaman tentang wawasan kebangsaan.
Salah satu upaya konkrit yang bisa dilakukan adalah dengan memahami nilai-nilai nasionalisme, jangan sampai rasa nasionalisme terkikis seiring dengan melesatnya perkembangan teknologi. Sebab, para generasi mudalah yang rentan terhadap paparan paham radikalisme tersebut.
Di sisi lain, penanganan akan paparan radikalisme bisa kita cegah dengan menumbuhkan nilai toleransi antar umat beragama dan memaknai Pancasila sebagai ideologi yang sah bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka, jika pendidikan dasar tentang ideologi bangsa telah dimiliki, bukan tidak mungkin masyarakat memiliki imun terhadap paparan paham radikal, sehingga meski paham radikal dihembuskan, masyarakat memiliki landasan untuk menolak paham tersebut.
Di sisi lain, Abdulah Mas’ud seorang aktifis NU CARE mencoba menilai radikalisme dari perspektif yang berbeda. Menurutnya, radikalisme bisa ditimbulkan dari berbagai macam faktor. Untuk itu, ia menawarkan dua hal dalam upaya menangkal radikalisme, yakni dakwah damai di lingkungan masyarakat serta pemberdayaan ekonomi.
Cara dakwah secara damai di masyarakat tentunya harus diperbanyak. Sehingga tidak ada ketakutan dan kekerasan yang disampaikan. Pendekatan sopan santun dan lembut juga haruslah dikedepankan. Selain itu penting juga mewujudkan gerakan ekonomi umat.
Sehingga kita perlu waspada jika ada pendakwah yang jauh dari kesan teduh dalam menyampaikan ceramahnya, tentu kita sepakat bahwa dakwah yang baik tidak akan menciptakan permusuhan antar sesama umat manusia. Dakwah memang sejatinya mesti disampaikan secara daman dan penuh kelembutan. Sebagaimana yang telah Allah firmankan, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. [an Nahl: 125]
Dengan adanya permasalahan ini, tentu kita semua memiliki peran penting dalam menjaga keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Paham radikal yang sering digembar-gemborkan terbukti dapat mengancam rasa persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia. (JawaPos.com, 11/1/20. Ahmad Pahlevi, Pengamat Sosial Politik)
Jangan-jangan, di antara kita pun dengan tanpa sadar terpapar virus radikalisme tersebut. Karena tidak sedikit yang begitu mudah meyebarluaskan pemberitaan yang belum jelas kebenaran dan sumbernya. Mudahnya terpropokasi dan tidak disadari turut mempropokasi juga kepada orang lain melalui peyebaran hoaks di medsos. Yang ujung pangkalnya mengarah pada mendiskreditkan bahkan menjatuhkan martabat pemerintah.
Bukankah sebagai muslim kita diperintahkan untuk berhati-hati dan tabayyun dalam menerima berita? Sebagaimana yang Allah firmankan, “Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian”. [al-Hujurât/49:6].
Karena memang kehidupan bermasyarakat tidak pernah lekang dari isu, gossip, berita hoaks sampai adu domba antar manusia. Dan memang tujuan akhirnya demikian, agar manusia berperang satu sama lain dan jauh dari kedamaian. Keadaan ini diperkeruh oleh adanya sekelompok masyarakat menjadikan berita hoax, gosip dan aib serta aurat (kehormatan) orang lain sebagai komoditas perdagangan untuk meraup keuntungan dunia. Bahkan untuk tujuan popularitas ada yang menjual gosip yang menyangkut diri dan keluarganya. Perilaku gosip yang telah menjadi penyakit masyarakat ini tidak disadari oleh kebanyakan pecandunya, bahwasanya menyebarluaskan gosip itu ibarat telah saling memakan daging bangkai saudaranya sendiri.
Allah Ta’ala menggambarkan demikian itu ketika melarang kaum beriman saling ghibah (menggunjing), sebagaimana tersebut dalam al-Quran, “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Jangan pula kalian memata-matai dan saling menggunjing. Apakah di antara kalian ada yang suka menyantap daging bangkai saudaranya sendiri? Sudah barang tentu kalian jijik padanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allaah Maha menerima taubat dan Maha Penyayang”. [al-Hujurat, 49:12].
Dari penyakit ini, syahwat akan meluas dan berkembang pada penyakit lain yang tidak kalah bahayanya, di antaranya kebiasaan berbohong, memutuskan silaturrahim, melakukan hajr (memboikot, mendiamkan), at-tahazzub (kekelompokan), al-wala dan al-bara (suka dan benci) yang tidak sesuai tempatnya, bahkan bisa sampai pada tahapan saling membunuh. Na’udzu billahi min dzalik. Penyakit ini tidak akan terobati selama Al-Quran hanya diperlakukan sebagai sekedar ilmu pengetahuan yang dibaca dan dikhutbahkan di medsos dan mimbar-mimbar lainnya, dan tidak menjadikannya sebagai terapi. Maka penanaman nilai agama, nilai Pancasila dan budi pekerti yang luhur sejak dini sangatlah penting. Hal ini dimaksudkan agar generasi muda penerus bangsa mempunyai pegangan dan pondasi yang kokoh. Sehingga tidak mudah goyah dan terpropokasi yang berpotensi pada perpecahan dan pelemahan kedaulatan negara.