Oleh:
Firman Munandar, S.E.
Perlindungan terhadap hak anak merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konsitusi negara Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yaitu pada pasal 28b. Dalam hal ini anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 59 menyebutkan bahwa Pemerintah dan Lembaga Negara berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksplotasi secara ekonomi dan/ atau seksual serta anak yang diperdagangkan.
Menurut Undang-Undang RI Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriam, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan. Kemudian, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang terekploitasi. Pengertian eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindakan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan Atau mentransplantasi organ dan atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateril.
Anak-anak dan perempuan merupakan pihak yang rentan menjadi korban trafficking dan eksploitasi. Mereka yang menjadi korban sebagian besar berasal dari kelompok masyarakat yang rentan. Faktor-faktor yang melatarbelakangi Kasus Perdagangan Anak (Child Trafficking) antara lain:
Pertama, Kurangnya Kesadaran: Banyak anak dibawah umur yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di Indonesia ataupun di luar negeri tidak mengetahui adanya bahaya child trafiking dan tidak mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak mereka dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.
Kedua,Kemiskinan: Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencakanan strategi penopang kehidupan mereka termasuk memperkerjakan anak-anaknya karena jeratan hutang.
Ketiga, Keinginan Cepat Kaya: Keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup yang lebih tinggi memicu terjadinya migrasi dan membuat keluarga anak yang bermigrasi rentan terhadap child trafiking.
Keempat, faktor Budaya: Faktor-faktor budaya berikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya child traficking meliputi peran anak dalam keluarga,perkawinan dini,jeratan hutang,kurangnya pencatatan kelahiran,kurangnya pendidikan,korupsi dan lemahnya penegakan hukum
Maraknya kasus kekerasan terhadap anak dan perdagangan anak (child trafficking) karena belum optimalnya upaya perlindungan anak dilakukan. Fakta yang tidak bisa terbantah dalam kurun waktu Januari-Juni 2019, data kekerasan terhadap anak yang dilaporkan dan dikumpulkan Pusat data dan pengaduan Komnas Perlindungan Anak, dari 245 kasus pelanggaran terhadap anak di wilayah Bogor 52% didominasi oleh kejahatan seksual dan 42% selebihnya kasus-kasus penyelengaraan, eksploitasi ekonomi penculikan dan perdagangan anak serta kejahatan-kejahatan seksual bentuk lain.
Menurut saya perlindungan terhadap korban trafficking dan eksploitasi anak merupakan hal yang kompleks karena beirisan dengan berbagai aspek kehidupan, maka diperlukan kesadaran dan peran serta seluruh masyarakat, penyelenggara negara dan aparat penegak hukum. Selama ini masalah trafficking dan eksploitasi anak hanya berfokus pada masalah yang sudah terjadi dan penyelesaian terhadap penanganan kasus. Sementara upaya pencegahan dan pemenuhan terhadap hak anak kurang menjadi perhatian walaupu memang pemerintah sudah melakukan berbagai upaya misalnya Pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Anak (Kepres No. 88/2002). UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO),Pembentukkan Pusat Pelayanan Terpadu (PP No. 9 Tahun 2008 tentang tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu bagi saksi atau korban Tindak Pidana Perdagangan Orang). Pembentukkan Gugus Tugas PTPPO terdiri dari berbagai elemen pemerintah dan masyarakat (PERPRES No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO). Peraturan Menteri Negara pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Panduan Pembentukan dan Penguatan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Anak, Peraturan Menteri Negara pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2012 tentang Panduan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Berbasis Masyarakat dan Komunitas
Tetapi menurut saya Persoalannya adalah, ketersediaan regulasi tersebut belum diikuti dengan penegakkan hukum yang sesuai dengan Undang-Undang, Selama ini aparat penegak hukum lebih banyak menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk menjerat pelaku perdagangan manusia (trafficking) yang jaringannya semakin mengguritayang hukumannya sangat ringan dan tidak membuat efek jera bagi para pelaku.
Lemahnya Penegak Hukum terhadap para pelaku tindak pidana perdagangan orang diantaranya adalah melibatkan banyak pihak seperti pihak kepolisian di lokasi korban ditemukan, proses Berita Acara Pemeriksaannya (BAP) memerlukan waktu yang cukup panjang dan rata-rata korbannya berpendidikan rendah, sehingga dalam pemeriksaannya harus berulang-ulang dan banyaknya kasus trafficking yang belum tersentuh hukum karena keluarga korban tidak kooperatif dalam memberikan informasi mengenai pelaku, bahkan mereka cenderung melindungi pelaku.
Saya kira upaya nyata yang harus dilakukan dalam pencegahan kegiatan trafiking adalah : Pertama, Peran serta masyarakat sangat di butuhkan baik secara kelembagaan maupun perserorangan yang dapat di mulai dari orangtua, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, harus bahu membahu menyadarkan para pihak yang berpotensi terjadinya tindak pidanaperdagangan orang.
Kedua Pentingnya tugas Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mensejahterakan warganya, untuk bisa memperdayakan masyarakat dan menyediakan pekerjaan yang layak dengan penghasilan yang mencukupi dan Sosialisasi tentang trafficking harus di berikan secara intensif khususnya bagi masyarakat yang berpendidikan rendah dan masyarakat yang bertaraf ekonomi rendah untuk mengingatkan agar tidak mudah menerima bujuk rayu dan iming-iming kehidupan mudah mewah tanpa pekerjaan yang jelas karena seungguhnya hal tersebut akan menjerumuskan.
Ketiga, Memperbaiki kualitas pendidikan dan mendorong pendidikan gratis Wajib Belajar (wajar) 12 (dua belas) tahun.
Keempat, membuat payung hukum berupa Perda Pencegahan Trafficking di semua provinsi dan Kabiupaten-Kota.
Langkah terakhir adalah, perlunya pembentukan lembaga pengawas perlindungan anak di setiap provinsi dan Kabupaten-Kota .