visinews.net—Hai sobat muda, pernahkah kalian mendengar istilah Childfree? Ya, istilah ini muncul merujuk pada pilihan hidup seseorang atau pasangan untuk tidak memiliki anak, baik secara biologis maupun adopsi. Keputusan tersebut bisa didasarkan pada berbagai alasan, seperti kebebasan pribadi, pertimbangan finansial, kekhawatiran lingkungan, kondisi kesehatan, atau ketidaktertarikan terhadap peran sebagai orang tua.
Fenomena childfree semakin umum di berbagai negara, terutama di kalangan generasi muda yang memprioritaskan hidupnya pada karier, kebebasan, atau faktor lain yang dianggap lebih sesuai dengan gaya hidup mereka. Namun, keputusan ini juga sering menjadi bahan perdebatan, terutama dalam agama dan budaya yang menekankan pentingnya memiliki keturunan demi kelangsungan hidup manusia.
Dalam Islam, pernikahan dan memiliki keturunan merupakan hal yang sangat dianjurkan, karena pernikahan adalah sunnah Nabi Muhammad SAW dan keturunan dianggap sebagai karunia dan amanah dari Allah. Islam mendorong umatnya untuk memiliki anak dan mendidiknya dengan baik, agar menjadi generasi yang saleh dan bermanfaat bagi agama dan masyarakat. Walaupun sangat dianjurkan untuk memiliki keturunan, Islam juga memberi ruang bagi pasangan yang mungkin tidak memiliki anak, baik karena masalah kesehatan atau pilihan pribadi, selama keputusan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Namun, Islam tidak mengajarkan atau mendorong fenomena childfree sebagai norma, karena memiliki anak merupakan bagian dari tujuan hidup dalam keluarga. Islam melihat pernikahan sebagai salah satu cara untuk mempertahankan eksistensi umat manusia, menjaga kehormatan, dan membangun masyarakat yang sehat dan harmonis.
Dalam Islam, pernikahan bukan hanya sebuah ikatan sosial, tetapi juga sebagai sunnah Nabi Muhammad SAW dan bagian dari ibadah. Pernikahan dipandang sebagai sarana untuk menjaga kesucian diri, mencegah perbuatan dosa (seperti zina), dan menjaga keturunan manusia. Allah menyatakan dalam Surah Ar-Rum (30:21): “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang dan rasa belas kasihan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Ayat ini menunjukkan bahwa pernikahan adalah bagian dari sunnatullah yang membawa ketentraman, kasih sayang, dan belas kasih.
Islam menekankan pentingnya membangun keluarga yang kokoh dan penuh kasih sayang. Dimana kedua suami dan istri saling mendukung dan bekerja sama dalam mendidik anak-anak mereka.
Keluarga sebagai unit dasar dalam masyarakat Islam yang sangat dihargai, dan peran orang tua dalam membentuk karakter anak sangat penting. Alquran menyebutkan dalam Surah At-Tahrim (66:6): “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” Ini menunjukkan pentingnya mendidik keluarga dengan baik agar mereka dapat hidup sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Sehingga memiliki keturunan adalah karunia Allah yang sangat dihargai dalam Islam. Anak-anak dipandang sebagai amanah dari Allah yang harus dididik dengan baik agar menjadi individu yang bermanfaat bagi agama, keluarga, dan masyarakat.
Hal diatas dipertegas dengan firman Allah dalam Surah Al-Furqan (25:74) menyebutkan: “Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan-pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Keturunan dianggap sebagai sumber kebahagiaan dan kebanggaan, namun juga sebagai tanggung jawab besar yang harus dijaga dan dididik dengan baik sesuai dengan ajaran Islam. Anak-anak dalam Islam memiliki hak yang sangat penting. Salah satu hak utama anak adalah diberikan pendidikan yang baik dan mendalam dalam ajaran agama serta perlindungan terhadap hak-hak mereka secara fisik, emosional, dan psikologisnya.
Begitu juga dalam pandangan berbagai agama lainnya yang memiliki banyak kesamaan. Dalam Agama Kristen, khususnya dalam tradisi Katolik, pernikahan dianggap sebagai lembaga yang diberikan oleh Tuhan dengan tujuan untuk menciptakan keturunan. Kitab Kejadian (1:28) mengatakan, “Beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi,” yang dianggap sebagai perintah Tuhan kepada umat manusia. Agama Katolik secara tegas menentang praktik kontrasepsi permanen atau pemilihan untuk tidak memiliki anak dalam hidup pasangan. Gereja Katolik memandang memiliki anak sebagai bagian dari panggilan dan berkat dalam pernikahan. Namun, beberapa aliran Protestan memberikan ruang bagi pasangan untuk membuat keputusan tentang jumlah anak yang diinginkan, asalkan keputusan tersebut didasarkan pada pertimbangan moral dan sosial yang sesuai dengan ajaran Kristiani.
Dalam keyakinan Agama Hindu, pernikahan dan memiliki keturunan juga dianggap sebagai bagian penting dari kehidupan. Salah satu tujuan hidup dalam Hindu adalah untuk mencapai Dharma (kewajiban moral) dan Purushartha (tujuan hidup), yang mencakup prokreasi dan kelangsungan keturunan. Beberapa tradisi Hindu menganggap bahwa pernikahan tanpa keturunan tidak lengkap, karena memiliki anak adalah salah satu cara untuk memenuhi kewajiban terhadap leluhur (melalui pitr-rin). Namun, ada juga perspektif yang lebih fleksibel dalam beberapa aliran Hindu yang menekankan pilihan pribadi, meskipun tradisi yang lebih konservatif cenderung mendorong peran orang tua dalam melanjutkan keturunan. Dalam konteks ajaran Buddha, pernikahan bukanlah kewajiban religius, tetapi lebih merupakan bagian dari kehidupan sosial.
Oleh karena itu, fenomena childfree atau tidak memiliki anak dalam pandangan Buddhisme bisa diterima, karena tujuan utama dalam kehidupan seorang Buddha adalah mencapai pencerahan melalui pengendalian diri dan pemahaman spiritual. Beberapa biksu atau biarawan Buddha memilih untuk tidak menikah dan tidak memiliki anak, sebagai bentuk pengabdian mereka pada kehidupan monastik dan ajaran Buddha. Meski demikian, bagi umat Buddha yang hidup dalam masyarakat, memiliki anak dan menjalani kehidupan keluarga bisa dianggap sebagai cara untuk mengembangkan kualitas-kualitas moral seperti kasih sayang dan pengorbanan.
Lain halnya dalam pandangan Agama Yahudi, memiliki anak adalah suatu kewajiban dalam konteks pernikahan, sebagaimana disebutkan dalam ajaran Torah: “Beranak cuculah dan bertambah banyak” (Kejadian 1:28).
Anak dianggap sebagai berkat dan merupakan cara untuk melanjutkan warisan dan tradisi. Oleh karena itu, banyak orang Yahudi melihat memiliki anak sebagai bagian integral dari kehidupan pernikahan. Meskipun demikian, dalam konteks modern, ada beberapa pandangan yang lebih fleksibel yang mempertimbangkan pilihan pribadi, meskipun keputusan childfree dalam tradisi Yahudi lebih jarang diterima, mengingat penekanan pada pentingnya keturunan dalam komunitas.
Banyak faktor yang menjadi penyebab fenomena childfree ini semakin meningkat di era modern ini. Hal ini bisa dilihat baik dari sisi sosial, ekonomi, budaya, maupun teknologi. Biaya membesarkan anak semakin tinggi, termasuk pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan hidup lainnya yang dipandang sebagai alasan untuk tidak memiliki anak.
Adanya pergeseran nilai sosial juga turut mempengaruhi generasi muda yang lebih menekankan kebahagiaan pribadi, karier, dan pengalaman hidup dibandingkan “peran tradisional” sebagai orang tua. Di lain sisi, beberapa orang memiliki kondisi medis tertentu atau pengalaman traumatis yang membuat mereka enggan memiliki anak. Adanya fakta overpopulasi, perubahan iklim, dan eksploitasi sumber daya alam mendorong sebagian orang memilih tidak memiliki keturunan. Dan adanya teknologi kontrasepsi yang semakin canggih juga sangat memungkinkan terjadinya kontrol kelahiran yang lebih efektif bahkan bisa memutus angka kelahiran secara permanen. Kontrasepsi modern, sterilisasi, dan metode reproduksi berbantuan memberikan pilihan yang lebih luas bagi individu untuk mengontrol reproduksi mereka.
Kehidupan manusia yang lebih individual dengan meningkatnya kemajuan digital, AI, dan otomatisasi menciptakan kehidupan yang lebih mandiri, mengurangi kebutuhan akan keluarga besar untuk kelangsungan hidup. Ilmu psikologi modern semakin menyoroti pentingnya kesehatan mental dan kesiapan emosional sebelum memiliki anak. Sehingga hal tersebut menjadi pemicu bagi sebagian orang untuk memilih tidak memiliki keturunan. Belum lagi faktor pekerjaan dan karier yang ditunjang dengan perkembangan teknologi, banyak orang lebih memilih fokus pada karier dan pengembangan diri daripada membesarkan anak.
Berbagai faktor tersebut tentu akan terus mendorong bagi banyak orang generasi usia produktif yang tidak mau ribet dengan kehidupannya untuk memilih tidak menikah dan tidak memiliki keturunan. Sehingga tentu jika fenomena ini semakin meluas, akan berdampak negatif. Pertumbuhan penduduk yang melambat dalam jangka panjang dan tingkat kelahiran yang rendah dapat menyebabkan krisis demografi. Fakta ini sudah terjadi di beberapa negara maju seperti di Jepang dan Korea Selatan. Populasi yang menua akan merubah struktural masyarakat yang berpotensi mengurangi tenaga kerja produktif dan meningkatkan beban sosial bagi generasi muda.
Penurunan populasi manusia juga memungkinkan dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam, mengurangi polusi, dan memperlambat perubahan iklim dan juga akan berdampak pada pola konsumsi dan ekonomi industri yang semula berfokus pada pemenuhan kebutuhan keluarga dan anak, seperti pendidikan dan produk bayi, dapat mengalami pergeseran yang signifikan.
Fenomena childfree adalah cerminan dari perubahan global yang lebih luas, di mana individu memiliki lebih banyak kebebasan untuk menentukan jalan hidup mereka tanpa tekanan yang dianggap sebagai pola tradisional.
Beberapa orang publik pigur kini secara terbuka menyatakan pilihan hidupnya untuk tidak memiliki anak, di antaranya Gita Savitri, Ariel Tatum, Anya Dwinov, Cinta Laura, Chef Juna, Rina Nose, dan Leony Fitria “Trio Kwek-Kwek”. Ada juga yang mungkin memilih cara lain di luar proses pernikahan dan kehamilan natural untuk memiliki anak. Semua itu berpulang ke pribadi masing-masing yang mempunyai penilaian dan cara pandang tersendiri dalam hal anak dan keturunan. Setiap orang punya kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya selama tidak menabrak norma dan etika moral sesuai fitrah manusia. Bagaimana menurutmu, sob?