Ilustrasi Pilkada di cekam pandemi. Foto: Repro hulondalo.id
BOGOR, VISINEWS.NET – Pilkada di tengah pandemi memang sebuah dilema. Sebagai seorang warga negara yang taat hukum, tentu harus taat dengan ketetapan dari pemangku jabatan, dalam hal ini pemerintah. Begitu pun para penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, kedudukan mereka sebagai pelaksana undang-undang tentu tidak bisa membantah, mereka harus taat sebagai konsekuensi atas sumpah jabatan yang diemban.
Di sisi lain juga sebagai individu tentu ada rasa kekhawatiran yang sangat mencekam akan bahaya paparan virus tersebut. Karena hingga saat ini tidak ada jaminan konkrit dari pemerintah bila ternyata di kemudian hari ternyata malah menjadi klaster baru pasca Pilkada. Juga kaitannya dengan pelanggaran protokol kesehatan saat kampanye dan pungut hitung. Belum ada aturan bahwa jika paslon melanggar aturan protokol kesehatan dikenai sanksi diskualifikasi. Sehingga akan banyak celah potensi pelanggaran pasa Pilkada tersebut.
Sebagaimana saya sampaikan di atas. Ini dilema untuk kita semua, bukan hanya bagi kaum millenial saja, termasuk untuk pemerintah sendiri. Kondisi ini sangat menguras energi, baik secara pinansial maupun mental negeri ini. Di sisi lain juga, pemerintah harus membangun sikap tegas dan optimistis, bahwa pemerintah dengan didukung segenap elemen masyarakat mampu melewati pandemi ini denan berbagai kemungkinan resikonya, termasuk sikap berani dari pemerintah untuk tidak menunda pilkada. Sehingga menimbulkan reaksi pro dan kontra yang terjadi di tengah-tengah bangsa ini.
Reaksi dengan opini logis yang dibangun dan dihembuskan sebagian kelompok masyarakat banyak menuai dukungan, yaitu berupa masukan/rekomendasi untuk menunda Pilkada, walau pada akhirnya keputusan berada ditangan yang empunya wewenang.
Wajar juga bila timbul stigma negatif terutama dari kalangan anak muda yang menyuarakan penolakannya dan menimbulkan rasa pesimis, bahwa Pilkada di tengah pandemi berpotensi menghasilkan para Kepala Daerah yang kurang refresentatif pilihan rakyat, karena memungkinkan sebagian masyarakat enggan menyuarakan hak pilihnya di TPS dengan alasan takut terpapar Covid-19.
Dilema dengan menunda pilkada berpotensi besar akan lebih banyak menguras anggaran negara, sementara di sisi lain, pemerintah harus menjaga agar negara tidak kolef. Karena jika negara sampai bangkrut, bagaimana mungkin bisa menangani pandemi, yang membutuhkan anggaran yang besar juga.
Jadi sikap pemerintah dengan tetap menjalankan pilkada juga bagian dari upaya penyelamatan ekonomi negara. Sekalipun terkesan lebih mengutamakan ekonomi daripada nyawa anak bangsa. Padahal tidak demìkian.
Saya pikir, upaya pemerintah sudah cukup maksimal dalam mensosialisasikan hal ini. Cuma karena opini yang berhembus tentang bahaya Covid-19 lebih besar daripada pemahaman tentang karakteristik Covid-19 itu sendiri. Sehinga besarnya ketakutan tapi tidak didasari pemahanan tentang seperti apa virus corona itu sebenarnya. Juga tingginya prasangka buruk terhadap pemerintah.
Menyelamatkan negara dari bahaya resesi sangat penting sebagai upaya menyelamatkan masa depan anak bangsa dan negwri ini. Maka menjadi kewajiban kita untuk mensupport pemerintah dengan membantu semampu kita turut mensosialisasikan dan memberikan pemahaman positif kepada masyarakat juga mengerahkan segenap kemampuan kita sesuai kapasitas kita masing-masing dengan menaati protokol kesehatan.
Saya fikir, pemerintah kita masih beritikad baik, tidak mungkin mengorbankan rakyatnya demi sebuah kekuasaan sesaat.
Tetap optimis!
Oleh : Asep Saepudin S.pd.I