Oleh :
Ahmad Soleh
(Sekbid. RPK DPP IMM periode 2018-2020)
Sudah seminggu sejak kelahiran anak kami, suamiku Mirjan tak juga balik rumah. Suamiku memang selalu pergi untuk menyalurkan hobinya ngadu burung. Jika sudah bicara soal burung, lupalah dia dengan istrinya ini. Padahal sudah kuwanti-wanti agar jangan dulu ngadu burung jauh-jauh.
“Sudahlah Mas, aku sudah hamil tua begini, kamu masih saja sibuk ngurus burung srikantilmu itu,” kataku pada suatu pagi dengan sedikit merajuk. Mas Mirjan pun cuma ngangguk-angguk sambil mengerek kandang burung kesayangannya di tiang depan rumah. Padahal, aku berharap betul dia mau sedikit bersimpati kepadaku.
“Aku ini bukan enggak perhatian padamu, Marni. Cuma saja kau tahu sendiri, kalau bukan dari ngadu burung, dari mana aku bisa dapat biaya buat kamu belanja dan bersalin nanti,” jawab Mas Mirjan dengan nada datar.
Sebagai istri yang tahu seluk beluk kehidupan dan karakter Mas Mirjan, aku bisa mengerti. Tapi, gumamku, kali ini kondisinya berbeda, waktu itu aku sedang hamil dan butuh perhatian lebih darinya.
Kini, anak kami telah lahir. Alhamdulillah, selamat. Mereka kembar dan sehat. Bayi kembarku, satu laki-laki dan satu perempuan. Meski setengah mati aku saat melahirkan, melihat keduanya sehat dan selamat ke dunia ini rasanya aku sangat bahagia tak terkira.
“Mas Mirjan di mana ya? Kok belum pulang juga,” tanyaku kepada ibu mertua yang sedari kemarin menemaniku di rumah.
Ibu mertuaku pun tak bisa memberi jawaban pasti. Dia cuma mengingatkanku untuk mendoakan Mas Mirjan. “Doakan saja, dia segera pulang dan selamat ya Mar,” ucapnya sambil mengusap kepalaku.
Aku masih lemas betul. Tenagaku terkuras, badan serasa ringsek. Jika diibaratkan mungkin seperti habis tertimpa buldoser. Tulangku rasanya patah-patah semua. Tapi, kata ibu mertuaku, memang melahirkan begitu rasanya. Semua perempuan mengalami hal yang sama ketika melahirkan.
Lebih-lebih ini bayi kembar. Dan, aku lahiran hanya dibantu oleh dukun beranak. Namanya Mbok Tijah. Ya, wajar saja, di kampung pedalaman begini, jangankan dokter atau bidan, puskesmas saja jauhnya bukan kepalang. Aku bermimpi suatu saat di sini ada fasilitas kesehatan yang mudah dijangkau. Jadi, ketika sakit kami tak perlu lagi berjalan jauh atau bahkan pergi ke pinggiran kota untuk sekadar ke puskesmas.
Dua hari berlalu. Mas Mirjan belum juga ada tanda-tandanya bakal pulang. Aku makin galau. Sementara si kembar ini belum diberi nama. Aku tahu, kata Pak Ustad Hamdani, pemuka agama di kampung ini, yang wajib memberi nama kepada anak adalah bapaknya.
Suatu ketika aku nyeletuk, “Kalo bapaknya enggak ada gimana, Ustad?” Enggak ada yang kumaksud adalah ada tapi tidak ada atau ada tapi tak tahu masih ada atau tidak. Duh, maksudnya sudah meninggal atau belum, belum jelas kabarnya gitu.
Pak Ustad Hamadani memberiku nasihat agar menunggu bapaknya dulu. “Kalo bapaknya meninggal, ya ibunya juga boleh member nama. Tapi kalo belum jelas, bapaknya pergi lebih baik ditunggu sampai seminggu,” begitu katanya.
Entah apa dasarnya dia bilang begitu. Tapi, namanya juga tokoh agama yang bicara, ya aku percaya saja. Sekarang sudah dua hari berlalu. Berarti masih ada waktu lima hari lagi untuk menunggu Mas Mirjan pulang. Biasanya memang Mas Mirjan pergi ngadu burung ke kampung di pinggiran kota sana selama seminggu. Tak pernah lebih dari seminggu. Aku sedikit lega, berarti si kembar bisa diberi nama oleh bapaknya.
Burung sore mulai menjerit-jerit. Langit menggelap. Si kembar sejak kemarin anteng saja. Mereka cuma nangis saat lapar. Bagaimanapun doaku tak berhenti untuk Mas Mirjan. “Segera pulang Mas,” jerit hatiku.
Seminggu kemudian, di suatu sore menjelang maghrib, Mas Mirjan belum juga pulang. Aku makin deg-dengan. “Bagaimana jika suamiku tak pulang, ya Allah, aku cuma bisa pasrah saja,” hatiku menjerit lagi.
Meski di sini ada ibu mertua yang bantu ngurus si kembar, aku masih membutuhkan Mas Mirjan. Bagaimanapun dia gila ngadu burung, tapi dia masih mikirin keluarganya. Setidaknya, dia mikir bagaimana dapat duit dari hobinya itu.
“Ndok, kamu makan dulu sini. Mirjan sebentar lagi pulang, tenang saja. Yang penting kamu makan yang banyak terus dandan yang cantik. Suamimu perlu disambut tho,” kata ibu mertuaku dari dalam rumah.
“Iya bu. Aku ke belakang dulu. Kalo Mas Mirjan pulang, kasih tahu aku ya,” jawabku.
Tak berapa lama, terdengar suara srikantilnya Mas Mirjan. Tapi aku tak yakin itu dia. Karena kali ini suaranya agak berbeda, lebih ramai dari biasanya. Aku hafal betul suara burungnya Mas Mirjan. Srikantil yang dia banggakan karena sering menang kontes. Hampir semua kontes yang diikutinya, srikantil Mas Mirjan selalu dapat juara. Lumayan, hasilnya buat menyambung hidup kami.
“Assalamualaikum,” suara suamiku terdengar, aku pun semringah sambil berlari ke depan dan menyambutnya.
“Waalaikumussalam, Alhamdulillah ya Allah, suamiku pulang dengan selamat dan sehat,” kataku yang sedang kegirangan melihat Mas Mirjan pulang.
Aku memberitahu Mas Mirjan bahwa anak kami sudah lahir dan kembar. Tapi ternyata dia sudah tahu dari warga yang ditemuinya di jalan.
“Ya, tadi banyak yang ngucap selamat. Mana Sri dan Kun?” katanya.
“Lho, Sri dan Kun siapa Mas?” tanyaku.
“Aku langsung beri nama mereka Srikintil dan Srukuntul. Lihat, aku juga bawa dua burung srikantil baru untuk menandakan kebahagiaanku,” jawabnya.
Astaga, aku kaget betul. Mas Mirjan memberi nama si kembar dengan nama Srikintil dan Srukuntul, mirip burungnya, srikantil. Lagi-lagi aku ingat kata Pak Ustad, “Yang berkewajiban memberi nama adalah bapaknya.” Ya sudahlah, aku bisa apa kalau yang bicara tokoh agama. Meskipun namanya aneh bagiku.
“Dasar tukang ngadu burung!” grundelku dalam hati.